Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Menjelajahi Antariksa dengan Kelompok Penerbang Roket

4 Agustus 2021   13:12 Diperbarui: 5 Agustus 2021   10:00 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelompok Penerbang Roket (KPR) dalam sesi foto di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah, Jakarta, Selasa (3/10/2017). KPR dijadwalkan akan mengisi gelaran Synchronize Fest 2017. (FotoKOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES)

Pada 2015 silam, Kelompok Penerbang Roket, sebuah band beranggotakan 3 pria berambisi tinggi mengadu nasibnya dengan membawa kenangan-kenangan hard rock dan psikedelik di era yang bukan zamannya. 

Mereka tak peduli musik-musik mereka tenggelam dalam wabah musik mellow tentang hujan, puisi, dan semacamnya yang tengah menjamur di tahun itu dengan merilis sebuah album bertajuk "Teriakan Bocah". 

Dengan strategi yang terbilang unik dengan mengadakan peluncuran album  di Lapas Kelas II Cipinang, mereka sukses menarik banyak perhatian. 

Tak dapat dikatakan bahwa yang mereka lakukan adalah suatu kegiatan mencari sensasi, pasalnya musik-musik mereka tercipta dengan sangat serius. 

Meski dirilis di era musik yang salah, nyatanya tak membuat orang-orang merasa bodo amat dengan kedatangan mereka. Justru cukup menghebohkan.

Dengan hanya terdiri dari 3 orang, Kelompok Penerbang Roket berhasil meramaikan lagu-lagunya dengan distorsi-distorsi gitar yang kasar, gebukan drum yang garing, serta melodi bass yang sangat asik dan padat. 

Berhasilnya album "Teriakan Bocah", nyatanya tak membuat mereka berpuas hati. Justru bertambah semangat untuk semakin memperdalam jiwa musikal mereka.

Terlebih, mengingat para pendengar menaruh ekspektasi tinggi dalam album-album selanjutnya. Dan harapan itu terbalaskan tiga tahun setelahnya. 

Mereka meluncurkan roket tak bersayapnya melalui mini album bertajuk "Galaksi Palapa", sebuah petualangan luar angkasa yang memesona sekaligus menyeramkan. 

Masih seputar psikedelik, hard rock, dan distorsi-distorsi yang bikin ngilu tampaknya telah menjadi identitas mereka. Jujur saja, penyebutan mahakarya oleh Viki, drummer mereka, tak bisa saya protes.

"Galaksi Palapa" berisi lima lagu dengan total durasi 31 menit, membawakan psikedelik yang jauh lebih kental daripada album 2015-nya. 

"Ekspedisi 69" berdiri gagah sebagai pintu yang akan membuka telinga para pendengar menuju kehitaman serta kemewahan luar angkasa. 

Terdengar sekilas seperti The Doors tanpa Ray Manzarek dan Jim Morrison, sebab lagu ini hanyalah sebuah instrumental yang saya pribadi mengaku cukup terpesona meskipun tanpa suara gahar vokalis mereka, John Paul Patton. 

Permainan gitar Rey Marshall di single ini harus saya apresiasi sekali. Permainannya mirip-mirip Jimi Hendrix . Sejauh ini, saya merasa permainan gitarnya dalam "Ekspedisi 69" adalah yang terbaik. 

Riff yang susah untuk saya jelaskan keindahannya telah berhasil membuat saya merinding acap kali mendengarnya. Dan masih sampai sekarang, membuat lagu ini menjadi lagu favorit saya di album ini.

Dalam "Dusta", permainan bass John Paul Patton sangat "Neraka Jahanam" sekali, dan gitar Rey Marshall sangat "War Pigs", hingga saya merasa mereka seperti memadukan Duo Kribo dan Black Sabbath dalam kemasan yang lebih modern. 

Cover album Galaksi Palapa. Sumber: instagram.com/deepmksr
Cover album Galaksi Palapa. Sumber: instagram.com/deepmksr

Formula permainan musik mereka yang tidak monoton membuat setiap lagu dalam album ini seperti mempunyai jiwanya tersendiri. Terlebih dalam "Berita Angkasa", mereka seperti tidak melupakan keliaran yang pernah mereka hadirkan di "Teriakan Bocah".

Saya merasa ada keangkuhan yang elegan dalam "Berita Angkasa", penggalan lirik berita di angkasa, berita gembira, semua terkesima, menyimak berita gembira.

Itu seakan-akan mengatakan kepada para penanti mereka bahwa mereka telah kembali, bagai seorang mahaguru yang bepergian jauh membawa pulang sebuah pesan yang membahagiakan manusia. 

Sebuah lagu yang tampak seperti penghentian bensin sebelum menyambut "Ironi", lagu "Alfa Omega" tercipta dengan psikedelik yang kental. Meskipun tanpa tabuhan drum, lagu ini terasa yang paling kaya. 

Pink Floyd serasa hadir di sini, terlebih suara sang vokalis terdengar seperti Cholil (Efek Rumah Kaca) yang selalu berhasil menenangkan telinga, di antara kelembutan-kelembutan instrumen organ dan gitar yang mengisi sepanjang lima menit. 

Selain pandai bermusik, mereka juga cukup sensitif terhadap sekeliling mereka. Keironisan yang mereka rasakan tertuang dalam "Ironi". Single yang nyaris berdurasi 8 menit itu terdengar seperti sebuah nasihat bagi anak-anak muda dan mereka yang idealis. 

Sebuah lagu yang memprovokasi untuk meruntuhkan kekuasaan dan tahta tanpa mahkota yang didapat dengan uang tercipta dengan perpaduan musik yang sangat terstruktur. 

Dibuka dengan tabuhan drum monoton yang terbilang cukup rapi, disambut oleh petikan bass yang oke. Chorus yang groove dan membangkitkan semangat, namun terasa dipatahkan oleh verse-verse yang datar menjadi kekurangan single "Ironi".

Sangat disayangkan, album "Galaksi Palapa" tidak terlalu menghadirkan kebrutalan, punk, dan tidak seliar "Teriakan Bocah". Tetapi dari segi komposisi musik saya akui, "Galaksi Palapa" lebih baik dari itu. 

Secara keseluruhan album ini, Kelompok Penerbang Roket tak kehilangan ambisi mereka, dan album ini adalah jawaban yang pantas dari hasil penantian sedari 2015.

Mengenai jiwanya Kelompok Penerbang Roket, saya yakin mereka sendiri juga sulit untuk mendefinisikan jiwa mereka, pasalnya sedari "Teriakan Bocah" musik yang ditawarkan bukanlah sesuatu yang segar, melainkan bagai upaya mereinkarnasi musik-musik 70-an di era sekarang. 

Sebuah variasi dari yang sudah-sudah ada. Seandainya saja mereka berada di zaman keemasan musik rock itu, perhatian yang mereka dapatkan tentu lebih banyak daripada yang mereka terima sekarang. 

Kasusnya serupa Greta van Fleet, band yang banyak dianggap sangat mencontohi 'Led Zeppelin', tapi sebenarnya sangat memukau. 

Saya sendiri tidak merasa hal itu menjadi masalah. Di era-era sekarang ini tampaknya memang sudah tak ada lagi musik-musik yang murni. 

Melainkan percampuran dan bagai sebuah ajang adu kreatifitas dari yang sudah ada, kecuali suatu hari nanti tercipta alat musik baru dan mungkin hal itu akan menciptakanjenis yang baru pula, sama seperti bagaimana lahirnya musik EDM.

Harapan saya kepada Kelompok Penerbang Roket adalah, rajin-rajin merilis album. Saya tak ingin mereka menjadi band-band Indonesia kebanyakan, yang rilis album dengan rentang waktu yang cukup panjang. 

Tetapi tak bisa dipungkiri, penghargaan atas musik di Indonesia sangat kurang. Bukan tidak banyak penikmat musik, melainkan tak banyak orang Indonesia yang membeli CD apalagi vinyl band-band lokal karena keterbatasan ekonomi. Sehingga fokus utama para musisi ya, panggungan, festival. 

Tetapi saya harap, para musisi Indonesia punya banyak cara agar dapat terus menghasilkan karya. Terlebih di masa pandemi ini, jadwal manggung yang tidak ada menuntut kepala mereka bekerja ekstra untuk menghasilkan uang. 

Saya bersyukur, pemuda Kelompok Penerbang Roket di masa pandemi masih aktif berkarya, pada 2020 lalu mereka merilis dua single "Roda Gila" dan "Dikejar Setan", yang tampaknya akan terangkum dalam sebuah album yang membawa memori-memori di masa lalu yang bertemakan Indonesia.

Dan harus saya ulas suatu hari nanti ketika mereka merilis albumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun