Tawuran Pelajar Ambon: Mencabut Akar, Bukan Memangkas Ranting
Fenomena tawuran antar pelajar di Kota Ambon belakangan ini kembali mencuat ke permukaan. Peristiwa yang melibatkan siswa SMK tersebut tidak hanya menimbulkan keresahan masyarakat, tetapi juga memakan korban jiwa dan kerugian harta benda.Â
Tragedi semacam ini seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua bahwa ada sesuatu yang salah dalam proses pendidikan anak. Namun sayangnya, ketika tawuran terjadi, yang kerap disalahkan justru guru dan sekolah.Â
Padahal, permasalahan ini tidak bisa diatasi hanya dengan menebang ranting, melainkan harus diberantas hingga ke akarnya.
Akar dari persoalan tawuran sebenarnya terletak pada keluarga. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak. Dari rumah, anak belajar tentang nilai moral, etika, empati, serta cara mengelola emosi.
 Sayangnya, tidak sedikit orang tua yang menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan kepada sekolah. Mereka beranggapan bahwa guru adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas perilaku anak. Padahal, guru hanya memiliki waktu terbatas bersama siswa, hanya beberapa jam dalam sehari, dan itupun tidak setiap hari.
Jika kita jujur, porsi waktu anak di rumah jauh lebih besar dibanding di sekolah. Ketika anak pulang, bertemu dengan orang tua, berinteraksi dengan lingkungan sekitar rumah, di situlah sebagian besar pembentukan karakter berlangsung.
Jika dalam keluarga anak tidak mendapatkan teladan yang baik, perhatian, maupun arahan moral, maka guru akan sangat kesulitan untuk memperbaikinya hanya dalam beberapa jam pertemuan. Dengan kata lain, akar pendidikan karakter tetaplah ada pada orang tua.
Kecenderungan masyarakat yang mudah menyalahkan guru setiap kali ada tawuran perlu diluruskanÂ