Mohon tunggu...
Nurul Rahmawati
Nurul Rahmawati Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger bukanbocahbiasa.com | IG @bundasidqi | Twitter @nurulrahma

Halo! Saya Ibu dengan anak remaja, sering menulis tentang parenting for teens. Selain itu, sebagai Google Local Guides, saya juga kerap mengulas aneka destinasi dan kuliner maknyus! Utamanya di Surabaya, Jawa Timur. Yuk, main ke blog pribadi saya di www.bukanbocahbiasa.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tak Perlu Denial, Bersucilah Secara Personal

10 Mei 2021   05:02 Diperbarui: 10 Mei 2021   05:03 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok.BukanBocahBiasa.com

Aku buru-buru menutup novel yang kubaca semalam suntuk. Sudah jam 3 pagi. Waktunya tahajud. Godaan untuk bermalas-malasan, dan menarik selimut yang terpampang di depan mata, tentu terus menghampiri. 

Tapi, aku segera kudu ambil sikap! Semalaman, aku kuat menghabiskan novel, masak ini 'Cuma' sholat tahajud aja, daku beralasan ngantuk bin capek? HAH.

Setengah malas, aku menuju toilet. Lalu ambil wudhu dan bersuci. Bismillah. 

Tahajud di sepertiga malam terakhir di sepuluh terakhir Ramadan. Tahajud ini menjadi momen sakral buatku dan (harusnya) untuk semua orang. Momen yang istimewa, semua masih gulita. Sepi. Dan kita bisa berkomunikasi secara intens dengan Sang Maha. 

Aku kenakan mukena, sembari mengingat-ingat rasa hopeless, sad, hurt yang mendera belakangan ini. Sebuah emosi yang janggal. Karena selama ini, orang mengenalku sebagai sosok yang cheerful, penuh semangat, bahkan cenderung meledak-ledak ala mercon bantingan :-P 

Tapi, kali ini, aku tersungkur. Dalam sujud yang panjang. Dengan isak tangis yang seolah tak kenal jeda.

Well, Everyone is Damaged. Perhaps.

***

Sejujurnya, aku tuh pengin 'ngilang' sebentar. Ghosting, kalo kata anak jaman now. Aku mau sembunyi di dalam goa (yang kuciptakan sendiri) plus meminimalisir kontak dengan dunia luar. Aku ingin mengumpulkan kepingan hati yang patah, satu demi satu. Perlahan, dengan sepenuh jiwa.... Kurasa dengan menjaga jarak seperti inilah, pelan tapi pasti, hatiku tak lagi rapuh, dan ia akan sembuh.

Menjaga jarak sekaligus denial. Mencoba meyakinkan diri sendiri, bahwa ini bukan apa-apa dan semua akan berakhir, entah dengan baik-baik saja, atau sebaliknya.

Yap, the first thing that popped up in my head was denial. I thought by denying everything should help.

Right? No, I was wrong.

Dok: www.BukanBocahBiasa.com
Dok: www.BukanBocahBiasa.com

***

Hari ini, aku memutuskan untuk tidak ke kampus. Badan lelah, terkuras emosi karena menangis semalaman. Kubuka whatsapp, pesan dari Tammy. "Heiii! Kamu di mana? Untung deh, kagak ke kampus. Soalnya dosen kita, Pak Yayan mau ngajar online aja. Ntar join zoom sekitar jam 11 yak."

Fiyuuhhh, lega.

"Tapi, abis gitu ada tugas bikin essay minimal 10 halaman, wkwkwkwk. Get ready, yak!"

Yah. Gak jadi lega deh.

Begitulah kuliah, mirip-mirip ama drama kehidupan. Sesaat, rasanya daku udah melihat ada titik terang, ketika berjalan di labirin yang super memusingkan. Namun... tatkala rasa "VOILA!! Nemu jalan keluar!" itu mulai mengemuka, eh, ternyata daku disodorin ribuan tantangan/musibah/petaka yang seolah tak ada juntrungannya.

Dok. BukanBocahBiasa.com
Dok. BukanBocahBiasa.com

***

"Boleh Kakak tanya, tapi ini juga jadi reminder buat kita semua sih. Mmm, gimana ibadah sunnah yang kita jalani selama ini? Konsisten dilakukan kah?" Kak Sandra, senior ekstra Rohis (Kerohanian Islam) di kampus, bertanya dengan lembut.

"Iya, Kak. Saya jarang puasa sunnah. Sholat sunnah rawatib juga sering bolong. Ngaji, juga kalo pas ada pengajian di kampus doang."

Aku menunduk malu. Parah.

"Oke," Kak Sandra mengangguk pelan, "Kalau ibadah wajibnya? Sholat tepat waktu, ya? Hubungan dengan orang tua dan saudara, gimana? Baik-baik aja kan?"

Aku menyeringai. "Iya Kak. Diusahakan."

Kak Sandra menyentuh tanganku perlahan. "Ridho ALLAH ada pada ridho orang tua. Murka ALLAH juga ada pada murka orang tua kita."

JLEB!

***

Sudah lama aku tidak mendengar suara itu. Lebaran tahun lalu, sepertinya kami masih berbincang. Dengan amat kaku. Segala teori ia jejalkan, tapi masuk dan keluar seketika dari kupingku.

"Selesai kuliah, kamu mau jadi apa? Sudahlah, nggak usah kuliah ketinggian, nanti malah susah cari jodoh!"

"Ya ampuuun, kenapa jaman kayak gini, pemikiran masih kolot siihh?"

Kami bersitegang. Aku kehilangan kendali, dan memutuskan untuk menuntaskan mudik lebih cepat dari biasanya. Di dalam bus menuju Semarang, aku terus-menerus merutuki nasib, kenapa aku dikelilingi oleh orang-orang yang konservatif-orthodoks-kolot? Duh.

Aku memutuskan untuk belajar ekstra keras. Aktif di berbagai kegiatan kampus. Melupakan kalimat-kalimat pedas, yang seolah menjadi batu ganjalan untuk perjalananku menggapai masa depan gemilang.

Aku berkarya sekuat tenaga..... lalu rapuh, dan jatuh.

Saat itulah aku sadar. Rupanya, inilah puncak dosaku pada makhluk yang kupanggil "Ibu......"

Ramadan tahun ini, aku tak mau salah strategi. Sudah waktunya aku bersuci secara personal. Meleburkan ego dan jumawa yang sempat singgah dalam dada. Akan aku ajukan permintaan maaf nan tulus, untuk sosok yang kian keriput dimakan usia. Ibu, maaf. Maaf. Maaf. (*)

Follow my twitter: @nurulrahma

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun