Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Biasa yang setia pada proses.

Lahir di Grobogan, 13 Mei 1973

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ini yang Mesti Dilakukan Pemerintah Dalam Dunia Film (Bagian #2)

16 September 2017   17:46 Diperbarui: 16 September 2017   18:30 2497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.theodysseyonline.com dimodifikasi

Mari kita lanjutkan ngobrol kita tentang hal yang semestinya dilakukan Pemerintah dalam dunia film. 

Beberapa point yang penting saya bahas di tulisan Pertama (#1) adalah 1). SDM (Sumber Daya Manusia) dan 2). Permodalan. Sekarang menginjak point ke-3. 

3. Marketing Film

Memang sepertinya aneh di dunia film ada istilah marketing. Tapi jika kita lihat dari sisi bisnis sah-sah saja menerapkan istilah ini dalam dunia industri film. Film sebagai produk kreatif dan media transformasi pengetahuan sangat fleksibel masuk ke dalam segala bidang dan lini usaha, bahkan personal. Segala jenis perusahaan, institusi, ataupun personal sangat bisa menggunakan produk film.

Praktisnya dalam bentuk jasa pembuatan film. Di sini film tidak hanya sebagai media hiburan saja, misalnya dalam bentuk Company Profile, Iklan, Film pendek, Video Presentasi, Video Clip, Film Dokumenter, dan lain sebagainya. Turunan produk film seperti di atas sebenarnya mempunyai potensi yang cukup luas. Seperti saya tulis dalam bab lain di blog kompasiana ini, yaitu bab "Usaha Perfilman, Banyak Peluang dalam Event Pameran". 

Jika kita bandingkan dengan produk lain seperti komputer, furniture, agrikultur atau grafika misalnya, usaha perfilman belum pernah diselenggarakan sebuah event pameran secara khusus. Event di mana perusahaan-perusahaan film menampilkan produknya. Pengunjungnya pun dari segala macam sektor, perusahaan, yayasan, NGO, LSM, Grup Band, Calon Legislatif, Calon Kepala Daerah, dan banyak bidang dan profesi lain.

Jika film bisa disamakan dengan komoditas lain, maka perlakuannya bisa mengadopsi produk-produk lain tersebut, meski tidak semuanya. Misalnya dengan label : "Indonesia Film Exhibition" atau apalah... Kemudian event ini dijadikan satu paket dalam FFI atau AFI misalnya. Tentu peran pemerintah yang diharapkan bisa menjadi 'host'-nya.

Satu hal lagi yang patut diberikan perhatian oleh pemerintah adalah mengenai keikutsertaan sineas film indie dalam ajang festival di luar negeri. Karena masih banyak teman-teman yang tampil dalam festival di luar negeri atas inisiatif dan biaya sendiri. Kesadaran pemerintah akan bangun ketika film Indonesia mendapatkan penghargaan di tingkat internasional.

Maka perlu dibangun komunikasi yang cukup intens antara pemerintah dengan teman-teman film maker indie. Di samping itu pemerintah perlu membukakan akses bagi komunitas film maker untuk investor baik di dalam maupun luar negeri untuk produksi film yang dinilai qualified. Misalnya bertemakan pendidikan, mendorong pariwisata, atau konten-konten positif lainnya.

Peran pemerintah dalam hal dukungan terhadap penyelenggaraan festival film memang perlu diteliti lebih detail. Karena kita tidak bisa hanya mengandalkan dua festival (FFI & AFI) saja untuk menggerakkan dunia film secara massive. Bagi saya, dunia film Indonesia akan tumbuh secara baik dan merata jika setiap kota di Indonesia mempunyai event Festival Film yang diadakan setiap tahunnya, meski dengan scoop kecil. Minimal ini yang bisa menjadi salah satu barometer perkembangan film di Indonesia.

Kampanye "Ayo Nonton Film Indonesia!" yang diprogramkan oleh Pusbang Film cukup kita apresiasi. Jika ini diharapkan untuk menggerakkan masyarakat untuk menonton film Indonesia tapi dengan infrastruktur yang kurang, bagaimana bisa berhasil dengan baik? Cukupkah dengan Bantuan Peralatan Nonton Film Bareng untuk Daerah Tertinggal dan Perbatasan? Perlu penelitian lebih lanjut sebagai bahan evaluasi dan kontrol sosial dari masyarakat.

Film indie, termasuk film animasi hasil garapan sineas Indonesia jarang sekali atau bahkan jarang yang ditayangkan oleh televisi nasional. Di sini pemerintah bisa berperan untuk mendorong lembaga penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, swasta maupun berlangganan, untuk mengakomodasi film-film yang dibuat oleh sineas-sineas kita sendiri. Saya yakin jika ini dilakukan oleh pemerintah, SDM kreatif sineas kita, termasuk animator-animator kita akan lebih produktif untuk memberikan konten-konten kreatif di layar kaca kita. Bukannya malah mendukung industri film negeri orang.

4. Infrastruktur & Teknologi Perfilman

Membangun dunia perfilman memang harus komprehensif, mencakup seluas-luasnya bidang yang terkait dengan industri yang potensial ini. Tak terkecuali infrastruktur dan teknologi.

Kebutuhan dasar fisik dunia perfilman bisa menyangkut gedung penayangan film, dan peralatan pendukung sebuah produk film di produksi, termasuk alat restorasi dan arsip film.

Untuk peralatan produksi film (Kamera, Lampu, Komputer Editor, properti dan alat pendukung lainnya) mungkin sebagian bisa dimiliki oleh sineas atau rumah produksi; atau bisa disewa di tempat persewaan yang ada, meskipun tidak semua kota di Indonesia mempunyai itu. Maka perlu diprogramkan juga dari pemerintah untuk pengadaan fasilitas peralatan film untuk digunakan oleh para sineas/film maker, khususnya di daerah-daerah yang belum tersentuh oleh fasilitas alat produksi film.

Bantuan peralatan produksi film dari Pusbang Film kepada sekolah-sekolah patut kita apresiasi sebagai upaya untuk menggerakkan SDM dan dukungan peralatan kepada masyarakat. Bahkan jika perlu dibuat fasilitas studio editing dengan teknologi terbaru sampai pada grading colour dengan teknologi CGI (Computer Generated Imagery) untuk penggarapan film yang berkualitas, sehingga tidak perlu harus ke Thailand atau negara lainnya. Tentu alat ini sangat bermanfaat untuk mendongkrak kualitas visual film-film kita.

Infrastruktur selanjutnya adalah gedung bioskop atau tempat penayangan film yang layak. Ini sangat dibutuhkan di banyak kota atau daerah di Indonesia. Maka perlu inisiatif pemerintah untuk membangun gedung bioskop yang layak untuk mengatasi keterbatasan akses penonton dari masyarakat yang belum dapat menikmati film-film Indonesia, khususnya di daerah-daerah pinggiran di Indonesia. Di samping itu supaya pola yang mengarah pada monopoli bisnis bioskop tidak terfokus pada perusahaan-perusahaan 'mainstream' yang ada. Agar persaingan terjadi secara sehat dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan untuk pengelolaannya bisa dengan model join antara Pemerintah Daerah dengan pihak swasta setempat.

Luasnya wilayah Indonesia dengan 34 provinsi dan ribuan pulau memang membutuhkan dana yang cukup besar untuk membangun infrastruktur gedung film. Masih banyak daerah yang belum tersentuh oleh layar bioskop dan fasilitas penayangan film. Pusbang Film melakukan penambahan layar film melalui penyediaan kesempatan menonoton film Indonesia di seluruh pelosok tanah air, pengembangan studio mini di sekolah-sekolah, pemanfaatan mobil film keliling, storage film pendidikan melalui online patut diapresiasi juga, karena merupakan upaya membantu pemasyarakatan film Indonesia melalui ketersediaan layar. Seperti kita ketahui, bahwa dunia film Indonesia pada saat ini diindikasi memiliki jumlah bioskop yang terbatas, sehingga penambahan layar menjadi hal yang penting. Semoga program ini selalu ditingkatkan seiring berkembangnya dunia perfilman di Indonesia.

Program selanjutnya adalah Digitalisasi dan Restorasi film Indonesia untuk memudahkan pengarsipan dan mengapresiasi film-film Indonesia yang telah diproduksi sejak awal kemerdekaan. Mengapa proses digitalisasi dan restorasi film sangat penting? Karena film adalah perjalanan sejarah sebuah bangsa, dan film akan menggambarkan sebuah literasi yang cukup lengkap dibanding sebuah goresan prasasti atau tulisan buku. Film dengan visualisasi dan narasinya akan bercerita banyak tentang perjalanan sebuah sejarah budaya bangsa.

Sejak tahun 1950-an, Sinematek, Museum Film Indonesia telah menyimpan sekitar 2700 film. Tahun 2013 dikabarkan akan direstorasi oleh pemerintah HANYA 29 film. Sekali lagi HANYA 29 film! Itupun tidak ada gaungnya sampai sekarang? Kemudian bagaimana nasib film-film nasional yang lain? Mau menunggu di makan ngengat?

Digitalisasi dan restorasi film di Indonesia masih terhitung sangat minim.  Jika --katakanlah---baru 50 film yang telah direstorasi, baru berapa persen dari 2700 film yang ada? Sekali lagi, di bidang restorasi film, pemerintah layak untuk dikatakan kurang perhatian. Padahal dalam UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, pemerintah diwajibkan mendirikan pusat pengarsipan film Indonesia.

Kita sangat membutuhkan peralatan dan infrastruktur digitalisasi dan restorasi film yang baik. Pengalaman restorasi film "Tiga Dara" yang dilakukan di Bologna Italia mestinya cukup menginspirasi kita untuk menyediakan infrastruktur digitalisasi dan restorasi film kita sendiri. Sebagai negara dengan segudang manusia kreatif, semestinya pula tidak ada hambatan untuk membangun infrastruktur tersebut.

Itulah beberapa catatan saya dalam mencermati undang-undang tentang Perfilman dan beberapa implementasi yang dilakukan oleh pemerintah, sekaligus catatan beberapa program yang mestinya mendapat perhatian bahkan sangat dibutuhkan oleh pemerintah untuk dilakukan. 

Komunikasi antar pemangku kepentingan perfilman di Indonesia (Bekraf, Lembaga Sensor Film, BPI (Badan Perfilman Indonesia), Dinas-dinas Pemerintah Daerah terkait, masyarakat perfilman maupun asosiasi perfilman) perlu dilakukan terus menerus, mengingat dunia perfilman sangat dinamis. 

Selain itu Pusbang Film, BPI, Bekraf, dan Pemerintah Daerah harus solid untuk bersama-sama merangkul masyarakat dan stakeholder perfilman yang lain, baik asosiasi, pengusaha maupun masyarakat perfilman yang lain. Tidak perlu ada gesekan yang berarti, apalagi hanya dengan masalah kurang koordinasi. Sebaliknya, mereka harus saling koordinasi, jangan sampai ada program yang overlap antara satu dan lainnya. Jika terjadi saling tindih program, tentu akan membuat masyarakat/insan perfilman menjadi bingung, kemana harus bertanya/mengadu? Ya, kan?

Mungkin butuh banyak referensi untuk membedah point demi pointtentang peran pemerintah dalam dunia perfilman. Dalam tulisan yang sederhana ini terus terang hanya merujuk beberapa referensi saja. Karena untuk membedah secara baik, menurutku butuh sebuah penelitian seperti yang dilakukan oleh Muhammad Bayu Widagdo, mahasiswa pasca sarjana Komunikasi Undip dalam tesisnya tentang Peran Pemerintah dalam pembuatan kebijakan perfilman. Tapi saya sangat terbuka untuk berdiskusi, jika teman-teman ada referensi tentang implementasi undang-undang ini oleh pemerintah, saya sangat senang untuk mendiskusikannya dengan asyik, apalagi tambah ngopi bareng. Pasti asyik.

Wallahu a'lam

Semoga bermanfaat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun