Beberapa hari terakhir, aparat kepolisian kembali membuat heboh dengan razia dan penyitaan buku-buku yang mereka anggap berbahaya. Di Jawa Timur, polisi menyita 11 buku dari seorang tersangka demonstrasi. Judul-judulnya mulai dari karya Karl Marx yang ditulis Franz Magnis-Suseno, tulisan Emma Goldman, hingga Strategi Perang Gerilya Che Guevara. Di Jawa Barat, lebih mengejutkan lagi, 38 buku ikut disapu, termasuk karya besar Pramoedya Ananta Toer Tetralogi Pulau Buru---sebuah novel yang justru menjadi kebanggaan sastra Indonesia.
Langkah aparat ini menimbulkan kontroversi luas. Istana buru-buru mengatakan, "membaca buku tidak dilarang." Namun, fakta di lapangan jelas: buku-buku tetap disita, diperlakukan seperti barang bukti kejahatan. Kalau memang membaca tidak dilarang, mengapa buku-buku itu diseret ke kantor polisi?
Pertanyaan yang lebih dalam pun muncul: apakah rakyat tidak boleh pintar? Apakah rakyat harus dibiarkan bodoh, tutup mata, dan menerima apa saja yang disodorkan penguasa?
Polisi beralasan bahwa buku-buku ini terkait dengan aksi anarkis. Tapi logika semacam ini berbahaya. Membaca buku bukanlah kejahatan, apalagi bukti kriminal. Membaca adalah proses belajar, menimbang, menyaring. Jika semua yang membaca Marx, Goldman, atau Pram otomatis dicurigai kriminal, maka itu sama saja meremehkan kemampuan rakyat untuk berpikir.
Yang lebih problematis, sweeping buku tanpa putusan pengadilan sudah jelas bertentangan dengan konstitusi. Mahkamah Konstitusi pernah menegaskan bahwa razia semacam ini melanggar prinsip due process of law. Artinya, aparat sebenarnya melangkahi hukum yang mereka sendiri wajib tegakkan.
Ironisnya, pemerintah di satu sisi rajin mengampanyekan "budaya literasi" dan "gemar membaca." Namun di sisi lain, ketika rakyat benar-benar membaca buku serius---yang mungkin berisi kritik sosial, ide kiri, atau sekadar narasi alternatif---buku itu tiba-tiba berubah jadi barang berbahaya. Jadi sebenarnya rakyat diminta membaca apa? Buku motivasi ringan yang tak menyinggung kekuasaan?
Razia buku ini memperlihatkan wajah lama kekuasaan: takut pada rakyat yang melek pengetahuan. Karena buku membuka pikiran, dan pikiran yang kritis sering kali menjadi momok bagi rezim yang ingin rakyat tetap jinak.
Tapi sejarah sudah membuktikan, ide tidak bisa dibunuh dengan razia. Membakar, menyita, atau melarang buku hanya menambah penasaran dan memperluas gaungnya. Pertanyaan mendasarnya kini: apakah kita ingin melanjutkan tradisi otoritarian yang gemar membungkam pengetahuan, atau kita berani percaya bahwa rakyat cukup dewasa untuk membaca dan berpikir sendiri?
Kalau demokrasi sungguh dijalankan, jawabannya seharusnya jelas: biarkan rakyat membaca apa saja. Karena menutup mata rakyat sama saja dengan menutup masa depan bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI