Mohon tunggu...
Cerpen

Labirin Cinta Semu

19 Mei 2018   22:10 Diperbarui: 19 Mei 2018   22:19 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kala itu aku bertemu denganmu pertama kali di bawah amukan hujan. Aku yang hanya bocah SMP menunggu bus di halte saat akan berangkat sekolah. Aku sendiri dalam balutan pagi yang sunyi nan dingin. Lalu kau datang tanpa diduga. Kau diam. Aku pun diam. Kita sama-sama memandangi daun-daun pohon kersen melayang-layang terhempas angin dan benalu-benalu yang melekatinya seolah terasa ngilu disepuh dingin hujan.

Sepuluh menit jarum jam tanganku berputar baru kudengar bunyi dari pita suaramu. Kita pun berkenalan. Seketika suaramu menelusup dan menggetarkan membran timpaniku. Begitu lembut kau sapa ragaku. Aku tahu namamu. Kau tahu namaku.

Lima menit bergulir kulihat tanganmu merogoh sesuatu dari dalam tas birumu. Rupanya sebuah sapu tangan yang hendak kau ambil. Lantas sapu tangan biru bergaris-garis itu kau sodorkan kepadaku.

"Ini ambillah. Usaplah percikan air hujan di wajahmu itu," cecarmu sambil tersenyum.

"Terimakasih," ucapku lirih malu-malu.

Kuakui aku memanglah lelaki pemalu. Aku lebih suka diam daripada banyak bicara. Banyak yang menyebutku pendiam. Memang beginilah diriku. Tapi karena diamku itu aku justru bingung harus memulai darimana agar bisa mengobrol denganmu. Jujur baru kali ini aku terpesona dengan keelokan seorang gadis seperti dirimu. Namun sepertinya kau mengerti diriku. Kau cairkan suasana keteganganku. Kau mengajakku mengobrol panjang lebar.

Akhirnya bus yang kutunggu telah sampai. Aku terpaksa meninggalkanmu di halte sendiri dalam sunyi hujan pagi. Aku terus menatapmu. Berharap akan dapat bertemu lagi denganmu entah itu kapan.

"Hati-hati Juna," serumu padaku.

"Kakak juga harus hati-hati" sambungku.

***

Kini pagi yang dingin telah digantikan siang yang menghangat. Seperti biasa usai pulang sekolah aku langsung belajar mengasah jiwa seniku di sanggar seni milik kakekku. Ya, kakekku memang seniman serba bisa. Dan dalam darahku mengalir jiwa seni yang beliau miliki. Sejak umur enam tahun aku sudah terjun dalam dunia seni lukis dan drama. Umur delapan tahun aku mulai menggeluti seni sastra. Aku mulai menulis sajak dan prosa. Dan demi bisa belajar seni lebih dalam di sanggar seni milik kakek aku rela tinggal jauh dari orang tuaku. Hingga akhirnya sampai sekarang aku aktif di sanggar seni milik kakek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun