Bagaimana Aksen Daerah Mempengaruhi Cara Otak Kita Berbahasa?
Pernah nggak sih kamu ngobrol sama teman dari daerah lain, lalu kamu langsung bisa menebak asalnya dari logat bicaranya? Misalnya, teman dari Makassar yang sering pakai akhiran "...ko", atau dari Banyumas yang berbicara dengan logat Ngapak yang ceplas-ceplos. Setiap logat terdengar khas, unik dan penuh warna.
Tapi tahukah kamu, bahwa logat itu bukan sekadar gaya bicara? Dalam kajian psikolinguistik, logat dianggap sebagai bagian penting dari proses mental manusia dalam berbahasa. Bahkan ia bisa memengaruhi cara kita memahami kata, merespons lawan bicara, hingga mengekspresikan emosi.
Psikolinguistik: Bahasa dalam Pikiran
Psikolinguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari bagaimana bahasa diproses dalam pikiran manusia baik saat berbicara, mendengar, membaca, maupun memahami makna (Field, 2003; Akhadiah, 2007). Bahasa yang dipelajari sejak kecil termasuk logat atau dialek, akan terekam kuat dalam otak dan memengaruhi sistem berbahasa kita seumur hidup (Lenneberg, 1967; Saville-Troike, 2006).
Dalam hal ini, logat bukan hanya sekedar bunyi, tapi logat juga bagian dari memori jangka panjang otak yang terhubung dengan budaya, emosi bahkan identitas seseorang (Simons & Fennig, 2018).
Sejumlah penelitian di Indonesia mendukung bahwa logat punya pengaruh besar dalam proses psikolinguistik. Berikut tiga temuan penting:
- Logat dan Gangguan Bicara
Penelitian oleh Wardani & Arum (2025) meneliti seorang anak yang mengalami disartria (gangguan sistem bicara) dan menggunakan logat Ngapak. Hasilnya, anak tersebut mengalami perubahan pelafalan: bunyi “ng” atau “r” menjadi tidak jelas, bahkan hilang. Hal ini membuktikan bahwa logat terhubung langsung dengan sistem neuromotorik otak dan bukan hanya sekadar kebiasaan lidah. - Interferensi Bahasa dari Logat Asli
Azzahrah & Fiddienika (2024) menemukan bahwa penutur asli Makassar dalam podcast berbahasa Indonesia cenderung mencampur logatnya, seperti “kenapako”, “iyak”, atau “tida”. Dalam psikolinguistik, ini disebut dengan interferensi fonologis dan morfologis yaitu ketika sistem bunyi dari bahasa pertama terbawa ke bahasa kedua karena tertanam dalam memori bahasa otak. - Logat dan Respons Emosional
Dalam penelitian oleh Mulyati dkk. (2024), ditemukan bahwa siswa lebih nyaman, terbuka, dan percaya diri saat berbicara menggunakan bahasa ibu mereka yang tentu saja mencakup logatnya. Penjelasan guru yang menggunakan logat familiar juga lebih mudah dipahami. Artinya, logat juga berkaitan dengan respons emosional dan efektivitas komunikasi.
Sebagai pendukung, Dewaele dan Pavlenko (2002) juga menyebutkan bahwa bahasa ibu menyalurkan emosi lebih dalam dibandingkan bahasa kedua, karena berakar dalam pengalaman emosional dan sosial masa kecil.
Simpulan
Dari pembahasan tadi, dapat kita lihat bahwa Logat memengaruhi:
- Pelafalan dan artikulasi (terutama dalam kondisi gangguan bicara)
- Kemungkinan terjadinya interferensi dalam bahasa kedua
- Kenyamanan emosional dan kepercayaan diri dalam komunikasi
Jadi dapat disimpulkan bahwa logat bukanlah bagian kecil yang bisa dianggap sepele dalam kajian bahasa. Ia adalah bagian dari memori jangka panjang otak, dari emosi yang tertanam sejak kecil dan dari cara kita merasa terhubung dengan orang lain. Maka, dari sudut pandang psikolinguistik, logat bukan sekadar aksen saja. namun dia adalah pintu masuk untuk memahami cara otak dan jiwa manusia bekerja saat berbahasa.
SUMBER:
Akhadiah, S. (2007). Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Azzahrah, S. F., & Fiddienika, A. (2024). Interferensi Fonologi dan Morfologi Bahasa Makassar terhadap Bahasa Indonesia dalam Podcast Warung Kopi. Stilistika: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, 17(2), 331–344. https://doi.org/10.30651/st.v17i2.22456