Mohon tunggu...
nurulazizah
nurulazizah Mohon Tunggu... SLTP

membaca novel dan mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Luka dari Sebuah Kata

21 September 2025   06:57 Diperbarui: 21 September 2025   06:57 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dunia seakan berhenti berputar. Gadis manis terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia berusaha menyangkal, tapi tatapan tajam itu membuatnya menyerah. Dengan suara bergetar, ia mengaku.

Wali kelas hanya menghela napas panjang, lalu membawanya ke ruang wakil kepala sekolah.

Di sana, pertanyaan datang silih berganti.
"Kenapa kamu bisa berucap seperti itu?"
"Menurutmu, pantaskah kata-kata itu keluar dari mulut seorang siswa?"

Gadis manis tak mampu menjawab. Kepalanya tertunduk, matanya berkaca-kaca. Ia mencoba menjelaskan bahwa bukan hanya dirinya yang berkata demikian, namun teman-temannya tidak mendapat sorotan seberat dirinya. Bahkan sang guru sempat menyindir, "Ini pasti karena kamu suka dengan ketua OSIM, ya?"

Hatinyahancur. Ia merasa terpojok, dipermalukan, dan disalahpahami.

Keesokan paginya, apel kembali digelar. Semua siswa berdiri rapi, kecuali satu siswi yang gemetar ketika namanya dipanggil. Gadis manis maju ke depan, langkahnya terasa berat seakan bumi menolaknya. Seratus pasang mata menatapnya tanpa berkedip.

Suara pak waka menggema, menanyakan ulang perbuatannya. Gadis manis mencoba menjawab, tapi suaranya pecah. Air mata mengalir deras, membasahi wajahnya di hadapan semua orang. Tangis itu bukan hanya tangis ketakutan, melainkan penyesalan yang menghantam jiwanya.

Hari-hari berikutnya penuh tekanan. Ia dan teman-temannya bolak-balik ke ruang waka, mendengarkan nasihat yang menusuk hati. Hingga akhirnya, mereka diminta menulis surat permohonan maaf kepada Allah.

Malam itu, gadis manis duduk di meja belajarnya. Sepotong kertas kosong menunggu tinta. Tangannya gemetar, air mata menetes membasahi kertas. Ia menuliskan kata demi kata, dengan suara hati yang bergetar:

"Ya Allah, aku khilaf. Lidah ini terlalu tajam. Aku biarkan amarah menguasai, hingga kata-kata kotor meluncur tanpa kuasa. Ampuni aku, Rabb-ku. Aku berjanji akan menjaga lisanku, agar tak lagi ada hati yang tergores karenaku."

Surat itu ia serahkan dengan hati bergetar. Namun ia tahu, yang terpenting bukanlah kertas itu, melainkan janji yang tertanam di dalam jiwanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun