" Luka dari Sebuah Kata " , inilah sudut pandangnya
Luka dari Sebuah Kata
Langit masih pekat ketika ayam jantan berkokok panjang, membangunkan seorang gadis manis dari tidurnya. Matanya berat, tapi begitu pandangannya jatuh pada jam dinding yang menunjuk pukul empat, ia segera bangkit. Air wudu membasuh wajahnya, menyingkirkan sisa kantuk. Dengan langkah pelan namun pasti, ia menuju masjid, menyatu dengan lantunan doa Subuh berjamaah.
Pagi itu, hatinya terasa damai. Angin sejuk berembus lembut, seolah memberi pertanda hari akan berjalan indah. Ia tak pernah tahu, beberapa jam lagi, kedamaian itu akan berubah menjadi luka yang membekas.
Pukul 06.50, ia melangkah ke sekolah bersama teman-temannya. Suasana riuh penuh canda tawa. Senyum merekah di wajahnya. Begitu bel berbunyi, murajaah dimulai. Tikar digelar, ratusan siswa duduk rapi di lapangan. Matahari perlahan merangkak naik, menyinari barisan anak-anak dengan cahaya hangat.
Namun ketenangan itu runtuh saat guru yang terkenal tegas sekaligus penyayang menegur. Beberapa tikar terlihat jatuh dan berantakan. Dengan wajah serius, guru memanggil petugas piket dari OSIM. Ketua OSIM maju, mencoba menjelaskan dengan tenang.
Tetapi gadis manis yang berdiri di barisan belakang mulai merasa geram. Pertanyaan sang guru terasa berbelit-belit, menguji kesabaran. Tanpa sadar, ia menyahut dari kejauhan dengan nada meninggi. Saat itu, ia pikir tak masalah. Tapi sesungguhnya, ia baru saja menyalakan api kecil yang siap membakar dirinya sendiri.
Lalu, tiba-tiba---
"Baruak gadang! Amak sia tu?"
Kata-kata kasar itu meluncur dari mulut seorang teman. Semua siswa terkejut, sebagian menahan tawa, sebagian lain terdiam. Gadis manis membeku, namun emosi yang menguasainya membuat lidahnya tergelincir. Ia ikut menirukan kata itu. Dan seakan berantai, beberapa siswa lain turut menyahut.
Dalam sekejap, lapangan sekolah yang semula hening berubah ricuh. Kata-kata kasar bersahut-sahutan, merobek adab yang seharusnya dijaga.
Apel berakhir dengan wajah guru yang masam. Gadis manis mencoba menenangkan hati. Ia melangkah ke kelas, berpura-pura semuanya baik-baik saja. Namun, kegelisahan diam-diam menggerogoti dadanya.
Menjelang pulang, nama gadis manis dipanggil. Wali kelas menunggunya dengan wajah serius, sorot matanya menusuk.
"Ibuk mau kamu jujur. Ada kamu berkata sesuatu tadi pagi?"