Mohon tunggu...
Nurul Annisa
Nurul Annisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesia Belum Bergabung Dengan BRICS, Apakah Pilihan yang Tepat?

5 Desember 2023   13:31 Diperbarui: 6 Desember 2023   10:54 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: brics2023.gov.za

Doktrin bebas aktif, sebagai pilar utama dalam kebijakan politik luar negeri Indonesia, memainkan peran sentral dalam mengarahkan negara ini melalui dinamika hubungan internasional. Fokus utama dari doktrin ini, terutama ketika dipertimbangkan dalam konteks aspirasi bergabung dengan BRICS, mencerminkan semangat kebebasan dan kemandirian dalam pengambilan keputusan di kancah dunia.

Sejak tahun 2011, Indonesia telah dianggap sebagai kandidat potensial untuk menjadi anggota BRICS (Brazil, Russia, India, China, and South Africa). BRICS sendiri adalah kelompok yang terdiri dari lima negara berkembang besar, yaitu Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Agenda utama mereka adalah mempromosikan kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan, politik, dan pembangunan sosial. Indonesia baru-baru ini menjadi perbincangan hangat di kancah internasional, tepatnya setelah Presiden Joko Widodo "Jokowi"  menghadiri KTT BRICS ke-15 di Johannesburg, Afrika Selatan pada 24 Agustus 2023 lalu.

Menjelang KTT tersebut, BRICS mengumumkan akan menerima enam negara anggota baru, yaitu Argentina, Ethiopia, Mesir, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab akan menjadi anggota mulai Januari tahun 2024. Sebelumnya, banyak spekulasi yang menyebutkan Indonesia akan mengikuti jejak mereka.

Bahkan, ada 67 negara yang diundang menghadiri KTT tersebut, dengan 40 negara, termasuk Indonesia, menyatakan minat bergabung dengan BRICS. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, sejumlah ahli berpendapat bahwa Indonesia seharusnya bergabung dengan kelompok ini.

Namun, Jokowi menyatakan bahwa Indonesia masih perlu mempertimbangkan posisinya. Nilai potensial Indonesia bagi BRICS sangat jelas. Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, dengan ekonomi yang berkembang pesat dan berpotensi menjadi salah satu dari lima ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2045, serta merupakan kekuatan utama di Asia Tenggara, sebuah wilayah strategis yang penting di mana Amerika Serikat dan Tiongkok saling berebut pengaruh.


Politik luar negeri era Joko Widodo ini yang berfokus pada diplomasi untuk kepentingan nasional dan pembangunan nasional maupun internasional, bahwa tidak bergabung dengan BRICS, setidaknya untuk saat ini, adalah keputusan yang tepat bagi Indonesia.

Alasan Indonesia Tidak Bergabung dengan BRICS:

  • Menghindari Sentimen Anti-Barat

Salah satu tujuan BRICS adalah untuk mengimbangi kekuatan ekonomi negara-negara maju yang tergabung dalam G7 (Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat). Namun, dalam perkembangannya, baik BRICS maupun G7 tidak bisa menahan diri untuk memperluas agenda mereka ke isu-isu politik dan keamanan global yang lebih luas.

Hal ini terlihat jelas dalam perang Rusia-Ukraina, dimana kedua blok menunjukkan sikap yang sangat berlawanan. BRICS, misalnya, menyerukan gencatan senjata segera, sementara G7 menjatuhkan sanksi yang lebih berat kepada Rusia.

Situasi ini bisa membuat Indonesia terjebak dalam posisi yang sulit. Bergabung dengan BRICS bisa dipandang sebagai sinyal dukungan terhadap Rusia dan China, sehingga berpotensi merusak hubungan diplomatik Indonesia dengan AS dan negara-negara Barat lainnya.

Indonesia merupakan salah satu negara pendiri Gerakan Non-Blok dan selalu memegang prinsip tidak campur tangan dalam rivalitas kekuatan besar, hanya fokus pada pencapaian perdamaian dunia dan keadilan sosial. Indonesia mencoba menjadi penengah perdamaian antara Rusia dan Ukraina selama kepemimpinan G20 tahun 2022. Oleh karena itu, bergabung dengan BRICS hanya akan menjadikan Indonesia dalam situasi yang rumit. Selain itu, jika Indonesia bergabung dengan BRICS, Barat kemungkinan besar akan melihatnya sebagai isyarat dukungan terhadap Rusia dan Cina, yang dapat memengaruhi hubungan diplomatik Indonesia dengan AS dan negara-negara Barat lainnya.

  • Menjaga Kebijakan Luar Negeri yang Bebas Aktif

Sejak awal, Indonesia selalu menjunjung tinggi prinsip non-blok dan bebas aktif. Artinya, Indonesia tidak memihak kekuatan besar mana pun dan tidak terikat pada pakta militer apa pun. Indonesia juga merupakan salah satu negara pelopor Gerakan Non-Blok yang selalu mengupayakan perdamaian dunia dan keadilan sosial.

Bergabung dengan BRICS yang semakin dipandang sebagai alat geopolitik China dan Rusia, bisa bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.

  • Keraguan terhadap Manfaat Ekonomi

Pemerintah Indonesia sendiri masih belum yakin dengan keuntungan ekonomi yang bisa diperoleh dari keanggotaan BRICS. Indonesia sudah memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan China, mitra dagang terbesar dan investor utama.

Ekonom Indonesia juga tidak menganggap New Development Bank milik BRICS sebagai pilihan yang menarik untuk membiayai kebutuhan investasi Indonesia. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi disebut-sebut menentang keanggotaan BRICS dan mungkin lebih percaya pada lembaga keuangan yang didominasi Barat.

  • Tidak Menghambat Keinginan Indonesia Menjadi Anggota The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)

Indonesia saat ini bercita-cita menjadi anggota ketiga OECD dari Asia. Meskipun prosesnya panjang dan perkembangan Indonesia masih jauh tertinggal dari Korea Selatan saat diterima, tidak bergabung dengan BRICS bisa digunakan sebagai leverage untuk mempercepat keanggotaan OECD.

Keputusan Indonesia untuk tidak bergabung dengan BRICS menunjukkan bahwa negara ini memilih jalur yang praktis dalam hubungan luar negerinya, sesuai dengan ide dasar doktrin bebas aktif yang dicanangkan oleh pendiri bangsa, Mohammad Hatta. Dengan kata lain, Indonesia ingin tetap fleksibel dan mandiri dalam menjalani hubungan dengan negara-negara lain di tengah ketidakpastian politik global. Keputusan ini diambil untuk menjaga keseimbangan dan kemampuan adaptasi Indonesia di kancah internasional.

Bebas aktif, sebagai pedoman kebijakan luar negeri Indonesia, menekankan pentingnya mandiri dalam membuat keputusan dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan di dunia internasional. Keputusan ini juga mencerminkan pertimbangan terhadap hubungan bilateral dengan negara-negara di luar kelompok BRICS. Dalam menghadapi ketidakpastian global, Indonesia memilih untuk tetap setia pada prinsip-prinsip yang telah terbukti efektif dalam menjaga kepentingan nasionalnya. Dengan demikian, keputusan untuk tidak bergabung dengan BRICS menguatkan posisi Indonesia sebagai negara yang cerdas dan fokus pada kepentingan nasional di kancah dunia.

Daftar pustaka

Rueland, J., & Rueland, J. (2023, October 25). Why Indonesia chose autonomy over BRICS membership | East Asia Forum. East Asia Forum. https://www.eastasiaforum.org/2023/10/25/why-indonesia-chose-autonomy-over-brics-membership/

Rachman, A. A. (2023, September 2). Commentary: Jokowi is right not to join BRICS for now - but the alliance is still important for Indonesia. CNA. https://www.channelnewsasia.com/commentary/indonesia-brics-alliance-expand-diplomatic-relations-us-china-russia-3739771

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun