Mohon tunggu...
dodo si pahing
dodo si pahing Mohon Tunggu... Buruh - semoga rindumu masih untukku.

Keinginan manusia pasti tidak terbatas, hanya diri sendiri yang bisa mengatur bukan membatasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjalanan Mistis Agil

15 April 2021   16:09 Diperbarui: 15 April 2021   16:16 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : Ceritaa-misteri.blogspot.com

"Tambah lagi Mbak sotonya," kataku sambil menyodorkan mangkuk kecil yang telah ludes isinya.

"Separuh ya mas?" Tanya penjualnya, sambil menerima mangkuk yang aku sodorkan.

"Penuh Mbak, kayaknya dua mangkuk lagi masih kuat,"

Penjualnya hanya memandangku sekilas dan ada senyum di sana, mungkin dalam batinnya mengatakan, doyan makan juga, atau malah mikir setelah makan banyak terus tidak bisa bayar. Tetapi aku mencoba menepis prasangkaku sendiri, ada senyum tipis manisnya di sana  yang sempat aku lirik. Penjual soto ini kalau di kota besar sudah dilirik untuk dijadikan endors  produk, karena sungguh kelewat cantik.

Matahari yang beranjak ke barat meninggalkan bayang sepanjang benda. Tetanaman di hutan di deretan pegunungan gamping utara saling berpeluk. Siang yang sejuk karena mendung seperti payung besar di langit. Seolah siap mengantarkan hari ke rengkuhan hari yang mistis. Sore yang sudah membuka tangannya seolah mengantarkan ke segala keluh. Dan malam pun tidak akan membedakan segala duka, segala bahagia, semuanya akan dihantarkan ke peristirahatan dan menjaganya pada mimpi.

Dua mangkuk soto kemiri khas Pati sudah kandas di perut, dan ini penyakit yang tidak pernah hilang. setelah perut kenyang, yaitu ngantuk. Semilir angin gunung  mengelus  tubuh yang dikipaskan dari berjenis-jenis pohon dari pohon jati yang besar tinggi  menjulang. Pohon serut kokoh menancap di bumi membuat gelap sekelilingnya,  tanaman liar yang tumbuh menambah angkuhnya tanaman yang biasa dijaikan bonsai itu. Sedangkan beringin menyendiri dengan rimbunnya seakan tidak mau diganggu pepohonan lainnya.

"Boleh duduk di sini Mas?" Terdengar suara yang datang dengan tiba-tiba. Suaranya lirih sedikit klemak-klemek, pelan hampir seperti suara perempuan. Agil hanya memandangnya, agak heran karena lelaki itu memakai baju berlengan panjang model pesilat berwarna  hitam komprang dan celana juga hitam, rambut yang panjang disembunyikan di dalam kain udeng. Dan alas kaki yang aneh  seperti yang dipakai pendekar Wiro Sableng.  

"Silakan-silakan mas," Akupun bergeser  ke pinggir dipan bambu untuk memberi lelaki itu tempat.  

"Sendirian ya Mas?" Tanyanya memulai percakapan, sebenarnya aku malas membalas  sapanya yang basa-basi. Karena kantuk sudah demikian berat menyerang mata, sehingga kepala sangat berat untuk ditegakkan.

"Ya Mas, sendiri" Jawabku singkat. Ingin aku balas dengan pertanyaan yang serupa. Tetapi ketika aku melihat ada sepuluhan  orang yang ada berada di  sampingnya dan memakai baju sama dengan lelaki yang duduk di sebelahku tetapi berlengan pendek. dan terlihat menjaga jarak serta selalu siap meloncat kemudian menyerang maka pertanyaan itu aku telan kembali.

"Nama saya Agil," Jawabku sambil  mengulurkan tangan untuk berjabat. Mencoba mengakrabkan diri.  Sebenarnya rasa sungkan untuk berakrab ada terlebih ketika melihat sepuluhan   lelaki  dengan wajah seramnya seolah tidak pernah lepas dari setiap gerik-gerikku. Lelaki itu tidak mengulurkan tangannya, hanya memandangku seolah tidak mengerti maksudku dengan meyorongkan tangan ke depan.   Bahkan kawannya entah pengawalnya segera bergerak ke arahku. Namun lelaki klemak-klemek  yang ingin aku sodori tangan itu segera melihat dan melarangnya. Lelaki klemak-klemak itu pun mengulurkan tangannya juga. Pegangan tangan yang kuat meskipun tangannya tidak begitu besar sebesar tangan juara bina raga.  

Sepi pun segera kembali menyergap hanya suara hewan hutan yang tiba-tiba terdengar sangat jelas.  Ada auman macan, jerit monyet. Padahal sebelumnya hanya terdengar burung prenjak, emprit, sesekali suara burung tekukur. Sesekali  burung sriti tampak berterbangan saling kejar seolah ingin menunjukkan kegesitan. Terbang tinggi kemudian menukik tajam ke bawah terus manuver yang tiba-tiba ke arah kanan kemudian menikung kekiri.

Rasa heran Agil belum juga hilang dengan suara aneka satwa hutan yang tertangkap telinga. Gemericik suara air yang berada di bawahnya menyadarkannya jika dirinya sedari tadi berada di atas pinggir sungai  yang bening. Tetiba lelaki yang klemak-klemek itu meminta dari lelaki yang berwajah dingin di sampingnya mungkin  sebentuk tombak  kecil. Selanjutnya tidak dikiranya lelaki yang klemak-klemak itu melemparkannya. Plass... desingannya seperti anak panah yang dilesatkan dari busurnya.

Agil dibuat lebih melongo karena tombak kecil itu menghujam tepat di kepala seekor ular yang sedang bergelantungan di pohon serut di pinggir sungai yang berada di samping dipan bambu yang sedang didudukinya. Ular itu langsung lemas dan sedikit demi sedikit melorot ke aliran air sungai yang menjadi merah darah.

Lelaki klemak-klemek itupun tanpa sungkan menarik tangan Agil menuju ke arah ular yang mati itu dan Agil pun seperti dalam cerita Joko Tarub, dirinya berada di pingir sendang kemudian mengamati gadis-gadis yang sedang mandi. Di pinggir sungai ada gadia-gadis yang sedang mandi dan sekarang tidak ubahnya maniken  polos karena tidak sempat membetulkan kainnya. Namun jelas semuanya penuh ketakutan.

Agil segera merogoh  tasnya, sebentuk hanphonenya ingin mengabadikan momen yang sangat langka ini. "Semprul, low batt. Mengapa selalu pada momen yang penting hp ini tidak mau diajak kerjasama."

Agil hanya meringis, melihat hpnya yang tidak bisa diapa-apakan kecuali dibawa-bawa. Dalam batinnya jika hp tidak bisa dipegang apa bedanya membawa batu. Ingin dibuangnya namun dipikir-pikir lagi cicilinnya baru saja selesai, dan yang lebih penting lagi di situ ada foto gadis yang baru saja jadian.

Di antara rasa ketakutan yang masih menyelimuti kesadaran para gadis itu masih ada. Ketika melihat salah seorang yang memakai baju hitam berlengan panjang salah seorang di ataranya memandangnya, namun tidak berani untuk menatap lama. Mereka semua langsung duduk di atas batu pinggir kali.  Agil tidak tahu mengapa mereka tiba-tiba duduk. 

Prasangka Agil para wanita itu duduk karena shock atas kejadian baru saja yang dialaminya. Lelaki klemak-klemek itu tiba-tiba menampilkan wajah yang sangat cerah ketika melihat di antara gadis itu ada sesok yang pernah ditemuinya beberapa waktu lalu.

Kala itu dirinya sedang berjalan-jalan menyusuri tepi hutan, dan ketika ingin  mengambil air untuk minum itulah dirinya saat itu sedang tanpa sengaja dirinya melihat seorang gadis yang sedang mencuci beras di sendang ia melihat gadis itu.  Gadis itu sangat bersahaja, ia hanya mengenakan kemben menutupi sebagian tubuhnya. 

Kulitnya sawo matang sebagaimana gadis desa umumnya, rambutnya yang hitam panjang bergelombang menutupi hampir seluruh dadanya. Rupanya gadis itu melihat kedatangannya segera saja ia menoleh dan bergegas pergi. Dirinya masih sempat melihat tatapannya dan senyuman kecil di ujung bibirnya.

Agil ingin berkenalan juga dengan gadis yang berkain kemben itu, kapan lagi bisa bertemu dengan  perempuan yang exotic khas pedalaman. Meskipun pacarnya yang baru saja jadian itu cantik tetapi belum pernah melihatnya mengenakan kemben seperti ini.  

Rupanya jeritan si gadis itu membuat lelaki di kampung yang tidak jauh dari kali itu berdatangan dan ingin memastikan apa yang terjadi. Mereka berdatangan dengan senjata pedang, tombak, dan bahkan ada yang hanya membawa sabit. Mereka mengepung Agil, dan lelaki klemak-klemek itu. Agil yang tidak pernah mengalami kejadian dikeroyok orang desa degan senjata tajam yang siap dihujamkan ke tubuhnya hanya bisa mematung kakinya bergetar hebat.

Sebelum orang-orang desa yang hampir kalap itu bertindak lebih teman-teman lelaki klemak-klemak segera meloncat di tengah-tengah antara orang-orang dan dirinya. Orang-orang yang semula beringas menjadi kecut karena bahkan ada yang segera menjatuhkan senjatanya karena mereka segera sadar siapa yang ada di depannya.

"Maafkan kami pangeran Jasari," Salah seorang di antaranyaa mengatakan kalimat yang hanya sering Agil dengar di waktu ada pertunjukkan ketoprak di desanya. Namun anehnya semua orang yang ingin mengeroyoknya segera mengatakan kalimat yang sama dengan orang sebelumnya. Dan otak Agil segera menghubungkan memorinya dengan nama Jasari. Kemudian ditemukan nama seorang Jasari, nama seorang putra dari adipati  di Kadipaten Parang Garuda, cikal bakala kadipaten Pati. Namun dirinya tidak tahu apakah yang di depannya nyata ingin tidak percaya tetapi dirinya memang ada di situ.  

"Maafkan kelancangan kami jika membuat  Pangeran tidak berkenan, karena memang di daerah ini sering ada suara jeritan. Namun ketika kami datangi ke asal suara kemudian yang kami temui hanya bekas-bekasnya. Baru kali ini kami menyadari jika ada ular yang besar ini, dan sekarang telah menjadi bangkai." Salah seorang dari penduduk mencoba menerangkan sebab mereka datang membawa senjata.

"Nduk kamu tidak apa-apa kan?" Tetiba ada yang ada datang menyeruak dari para lelaki yang mengerubungi gadis itu, kemudian memeluknya dan mencoba menenangkannya.  Gadis yang sejak awal selalu diperhatikan Pangeran Jasari  sangat menghujam deras ke simpul-simpul hatinya.

Dan Agil hanya melihat Jasari terpaku melihat gadis yang dipeluk bapaknya mungkin sedang membayangkan jika yang memeluknya adalah dirinya.  Pandangan gadis itu lembut, dan cukup bagi seorang lelaki mengartikannya, jikalau dia juga menaruh setitik embun di hatinya.

"Jadi Anda itu Jasari, putra dari Yudhapati?" Agil ingin tahu lebih banyak, namun  lelaki yang klemak-klemek itu tidak menjawabnya malah mengajaknya duduk di batu besar di pinggir kali.

"Sedulur tidak perlu berlebihan menanggapi  semua  ini, aku memang ingin mengajakmu melihat kenyataan jika hubungan asmara adalah rasa yang tidak bisa dipermainkan," Kata lelaki  klemak-klemak yang ternyata Jasari itu. Kata-kata yang diucapkannya seperti menyindirnya karena ia memang suka dengan penjual soto di pinggir jalan Sukolilo yang sering dikunjunginya kala ia bepergian ke Solo, atau memang meniatkan hati untuk beli soto.

"Ya aku setuju denganmu, cinta adalah tentang perasaan yang tidak untuk dimain-mainkan,"

"Lur,  perempuan yang berambut ikal itu, padanya telah aku jatuhkan perasaanku. Terlepas dia menyukaiku atau tidak." Kata Jasari pelan, seolah menegaskan jika dirinya jangan mengganggu perempuan yang sebelumnya juga aku lirik. Dalam pikirku, lelaki klemak-klemak ini tahu saja isi hatiku. "Nanti kamu akan aku ajak ke tempatku, agar tahu betapa tanggapan selama ini padaku adalah salah dan tanggapan yang berebihan untuk mengaburkan kebenaran kadipaten Parang garuda" lanjut kata Jasari.

Selanjutnya  Jasari segera pergi karena tidak menginginkan kejadian itu berubah menjadi kekacauan. Sebelum naik ke kudanya sang Pangeran melirik ke gadis itu dan rupanya tidak bertepuk sebelah tangan si gadis pun memandanganya dengan senyum semanis tebu. Dalam hati pangeran sangat masgul mengapa hanya sekian waktu dia bertemu dengan gadis itu.

"Ayolah naik kuda itu," Jesari menunjuk satu kuda yang dipegangi pengawal. Agil tidak habis pikir darimana tiba-tiba ada kuda-kuda yang besar itu.

"Ya, y... y... ya...," Kata Agil gagap. Tidak tahu apakah ia berani menaiki kuda sebesar itu.

"Kamu bisa naik kuda, kan?"

"Ya... y.. y... bisa," kata Agil masih gagap. Ia beranikan diri naik kuda yang lebih besar dari kuda yang pernah dinaikinya kala berkeliling di sekitar tempat wisata Grojogan Sewu Tawangmangu.

Jesari segera menepuk punggung kudanya, dan melesatlah kudanya. Sedangkan Agil masih duduk di atas punggung kudanya antara takut dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Suara suit seperti burung terdengar jelas, dan kuda yang dinaikinya seperti mengerti, tanpa ditepuk sudah meloncat dan lari. Agil yang tidak menyiapkan dirinya hampir saja tersentak ke belakang. Tangan yang memegang tali kekang sejak naik kuda bisa menyelamatkannya.

Kuda yang dinaiki Jasari melesat cepat meninggalkan debu sore, sementara Agil hanya bisa teriak mengikuti hentakan kaki dari punggung kudanya.
"Aku tidak mau mau mati muda, aku belum kawin... hentikan...hentikan," Kuda yang dinaiki Agil tambah kencang larinya mungkin dikira sedang mengajaknya untuk lebih cepat. Dan pengawal Jasari yang ada di belakangnya hanya tertawa kecil.

Ketika Agil memasuki suatu kawasan yang luas dan tertata rapi dengan bangunan kayu jati yang berbentuk joglo, seperti ada lapangannya juga. Dan rumah-rumah kecil kecil berderet sangat rapi. Kuda yang dinaiki Agil seperti sudah tahu jalan karena sejak dia naik tidak haus menghelanya. Setelah memasuki tanah luas yang seperti alun-alun dan ada pendapanya dia langsung diajak ke kandang rupanya. 

Begitu banyak kuda yang seukuran dengan yang dinaikinya, ada yang masih di luar dan dilatih untuk menjadi jinak, namun lebih banyak yang ada di kandang, mungkin ratusan. Agil hanya bisa bergumam, hanya orang kaya raya yang bisa memelihara kuda sekian banyak.

Setelah turun dari kuda dengan tubuh yang gemetaran dan sedikit terhuyung-huyung Agil dihampiri oleh Jasari, "Inilah tempatku Parang Garuda,  kadipaten yang ada di lereng gunung kendeng."

"Bangunannya dari kayu jati semuanya ya Sedulur," Kata Agil mencoba menggunakan kata Sedulur untuk memanngil Jesari. Karena dalam perasaannya lebih bersahabat daripada memangil nama Jasari yang jelas anak seorang Adipati. Sementara dirinya hanya seorang yang masih kuliah. Dan Jasari hanya memandangnya dan mengangguk.

"Kamu tahu sendiri dari tempat kita bertemu tadi  tiap jangkal tanah hampir ditumbuhi kayu jati, jadi ya hal biasa manakala seluruh rumah di kawasan kadipaten Parang Garuda banyak penduduknya yang membuat rumah dari kayu jati," Kata Jasari sambil berjaln menuju satu rumah yang sangat besar.  

Tiba-tiba Agil menjadi termangu bukankah dirinya hidup pada zaman mobil listrik, sementara sekarang dirasakan adalah seperti hidup di zaman kuda yang jadi alat berkendaraan. Antara batas kesadaran masa lalu yang masih samar dan kenyataan yang dihadapi membuatnya hanya memandang dengan tatapan nanar. Dan langkah mereka berhenti ketika ada seseorang yang memanggilnya.

"Pangeran... Pangeran Jasari, ini saya Yuyu Rumpung." Dirinya mencoba lebih dekat lagi dengan Pangeran Jasari agar kata-katanya bisa di dengarnya. Dan usahanya berhasil, Pangeran Jasari menolehkan pandangannya ke arahnya.

"Ya Wo,.. . " Kata Pangeran Jasari singkat, sambil membalikkan tubuhnya. Jesari sering memanggil petinggi ini dengna sebutan Wo alias Siwo untuk menggantikan paman.  Dan itu panggilan Yuyu rumpung  yang selalu dipakainya sejak Jasari kecil.

Dan Agil melihat jika Jasari  mengambil nafas panjang kemudian melanjutkan keresahannya, "Paman sebagai lelaki aku sebenarnya harus menolak pernikahan ini. Karena dari awalnya aku sudah tahu kalau Rayung Wulan sudah berniat menolakku."

"Mengapa Pangeran bisa berkata begitu?" Kata Yuyu Rumpung sambil mendekati tempat berdirinya dengan Jesari.

"Cobalah Wo Yuyu Rumpung pikir, syarat yang dipakai agar terkabulnya perjodohanku adalah mendatangkan pusaka  andalan Mojosemi. Padahal tidaklah mungkin itu terjadi tanpa peperangan paling tidak pertumpahan darah. Dan memang terbukti bukan ada pertumapahan darah? Paman Condong Majeruk harus menghembuskan nafas untuk mendapatkan pusaka Kuluk Kanigoro dan Keris Rambut pinutung. Dan Wo... ada hal lain lagi yang membuat aku yakin ini adalah penolakan secara halus.  Bagiamana mungkin mungkin mendatangkan seperangkat gamelan yang bisa datang sendiri?" Kata Jasari sambil melihat kunang-kunang yang mulai tampak satu dua menimbulkan cahaya kelap-kelip seperti bintang

"Namun Pangeran, Ayahanda adalah seorang Adipati yang menguasai wilayah luas dari ujung tapal batas pajajaran hingga ujung timur Juwana. Apakah harus menolak suatu permintaan dari calon besan. Saya rasa beliau sangat bijaksana dengan menjodohkan Pangeran dengan Putri Rayung Wulan daripada mengajak perang yang pasti akan jatuh korban." Suasana hening sesaat sebelum Yuyu Rumpung melanjutkan kata-katanya "Mari Pangeran, saya hantar menghadap ke Ayahanda"

"Ya Wo, nanti setelah bebersih tubuh saya akan menghadap ,"

Agil melihat kemurungan yang ada pada wajah Jasari. Mungkin dirinya akan  mempunyai pendapat sama, tidaklah pantas seorang dijodohkan dengan orang lain. Namun dirinya juga bimbang jika menjadi seorang anak pejabat yang harus dijadikan tumbal. Mungkin tujuan kepentingan lebih menjadi pertimbangan orang tua Jesari.  

"Lur, orang itu  tadi yang namanya Yuyu Rumpung?" Tanyaku hanya ingin minta penjelasan.

"Ya lur,  nanti kamu akan saya ajak ke Balairung menemui Romoku, dan pembesar-pembesar Parang Garuda, dan boleh kamu memakai baju yang aku miliki."

"Apakah  Yuyu Rumpung  yang mempunyai rencana menjodohkan dirimu, atau orang tuamu?" Tanyaku, namun tidak disangka dengan pertanyaanku itu Jesari menjadi  gusar.

"Apakah begitu tega Siwo Yuyu Rumpung melakukan niatnya padaku?"

"Bisa saja Lur karena dengan menyatunya Parang Garuda dan Carang Soka akan semakin besar pula  kekuasaan Yuyu Rumpung sebagai orang yang punya gagasan ini."

Lolongan anjing hutan terdengar untuk  pertama kalinya kala Agil  memasuki kediaman Jasari. Ia tunggui saja di luar karena pengawal yang bermuka dingin sedingin e situ tidak mengizinkan dirinya masuk. Ada satu dipan yang diperuntukkan dirinya dan rupanya di atas dipan itu sudah ada baju dan celana bahkan ada juga semcama kain yang digunakan untuk apa Agil tidak tahu. Ia hanya tahu badannya sudah capek.

Agil merebahkan dirinya di pojok kediaman Jasari yang megah dan besar. Pandangannya menatap langit langit atap yang juga terbuat dari kayu jati. Sesekali pandangannya ke  Balairung yang sudah mulai samar-samar bercahaya.  Kini lolongan anjing hutan sudah mulai sering terdengar. Burung-burung malam pun seolah tidak berhenti mengamini lolongan si pemburu malam. Dan serangga serangga malam pun bersuara jika mereka pun masih ada.

Dalam balairung nanti Agil hanya berharap Jasari bisa menyuarakan suara hatinya. Jika dilubuk hati Jasari yang terdalam telah terpikat dengan seorang gadis desa yang pernah di temuinya namun belum sempat bercakap-cakap hanya pandangan penuh mantra cinta. Kemudian besok pagi tidak ada lagi ada rombongan yang pergi ke Carang Soka untuk mengantarkan temanten mungkin juga tidak terjadi peperangan antara Parang Garuda dan Carang Soka.

Dalam kelelahan agil tidak sadar jika dirinya sudah ditunggu oleh Jasari untuk bertemu dengan orang tuanya yang juga Adipati Parang Garuda. Karena dibangunkan tidak bisa, akhirnya Jasari hanya membiarkan Agil yang tampak kelelahan dalam tidurnya.  Ditinggalkan begitu saja dan baju yang tidak jadi dipakai hanya dilihat saja oleh Jasari.

"Sebenarnya pas ukuran baju ini untuk kamu Lur."  Kemudian bergegas Jasari menuju balairung yang pelan-pelan terdengar suara gending yang dilantunkan oleh pengrawit kadipaten yang diiringi gamelan. Pelan-pelan berubah menjadi lantunan suara lain sama sekali yang didengar oleh Agil.

Agil merasa itu bukan suara gamelan dan pesinden tetapi suara orang mengaji. Agil paham betul jika itu adalah suara orang-orang yang sedang membaca Al-quran. Di fokuskan pendengarannya dan nyata sekalai itu adalah suara orang yang sedang membaca ayat suci dan Agil paham sekali yang sedang dibaca adalah surat Yaasin. Karena sering dibacanya kala malam jumat. 

Segera saja agil buka mata, kemudia yang ia lihat adalah Ibunya dan ayahnya ada disampingnya kemudian ia tolehkan kepalanya saudara-saudaranya yang lama tidak bertemu juga ada disampinya. Agil Mencoba bangun, tapi begitu susah namun dicobanya juga akhirnya ia bisa duduk. Namun Agil jadi heran orang-orang yang ada di sekitarnya malah berhamburan lari.

"Agil Hidup... Mayat hidup..." Jelas sekali ia mendengar suara itu. Namun di antaranya ada yang juga sadar dan tahu apa yang dilakukan. Ada yang segera melepaskan tali pada tubuhnya. Agil pun bergidik juga ternyata dirinya sudah ditali pocong.

"Alhamdulilah kamu masih diberi umur panjang Gil," kata seseorang yang ia tahu adalah ustad masjid.

"Gil.. Agil..kamu hidup lagi le," Seseorang memanggil dirinya  dan langsung memeluknya.

Agil hanya diam dan entah senang atau sedih, karena sebenarnya dia akan mengantarkan Jasari yang akan menghadap Adipati Yuda Pati dan akan mengatakan betapa kuat hatinya untuk tidak melamar Rayung Wulan  putri Adipati Puspa Andung Jaya.  Kalau benar terjadi Yuda Pati tidak jadi melamar dan pertunjukkan wayang tidak terjadi maka sejarah pun akan berkata lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun