"Separuh ya mas?" Tanya penjualnya, sambil menerima mangkuk yang aku sodorkan.
"Penuh Mbak, kayaknya dua mangkuk lagi masih kuat,"
Penjualnya hanya memandangku sekilas dan ada senyum di sana, mungkin dalam batinnya mengatakan, doyan makan juga, atau malah mikir setelah makan banyak terus tidak bisa bayar. Tetapi aku mencoba menepis prasangkaku sendiri, ada senyum tipis manisnya di sana yang sempat aku lirik. Penjual soto ini kalau di kota besar sudah dilirik untuk dijadikan endors produk, karena sungguh kelewat cantik.
Matahari yang beranjak ke barat meninggalkan bayang sepanjang benda. Tetanaman di hutan di deretan pegunungan gamping utara saling berpeluk. Siang yang sejuk karena mendung seperti payung besar di langit. Seolah siap mengantarkan hari ke rengkuhan hari yang mistis. Sore yang sudah membuka tangannya seolah mengantarkan ke segala keluh. Dan malam pun tidak akan membedakan segala duka, segala bahagia, semuanya akan dihantarkan ke peristirahatan dan menjaganya pada mimpi.
Dua mangkuk soto kemiri khas Pati sudah kandas di perut, dan ini penyakit yang tidak pernah hilang. setelah perut kenyang, yaitu ngantuk. Semilir angin gunung mengelus tubuh yang dikipaskan dari berjenis-jenis pohon dari pohon jati yang besar tinggi menjulang. Pohon serut kokoh menancap di bumi membuat gelap sekelilingnya, tanaman liar yang tumbuh menambah angkuhnya tanaman yang biasa dijaikan bonsai itu. Sedangkan beringin menyendiri dengan rimbunnya seakan tidak mau diganggu pepohonan lainnya.
"Boleh duduk di sini Mas?" Terdengar suara yang datang dengan tiba-tiba. Suaranya lirih sedikit klemak-klemek, pelan hampir seperti suara perempuan. Agil hanya memandangnya, agak heran karena lelaki itu memakai baju berlengan panjang model pesilat berwarna hitam komprang dan celana juga hitam, rambut yang panjang disembunyikan di dalam kain udeng. Dan alas kaki yang aneh seperti yang dipakai pendekar Wiro Sableng.
"Silakan-silakan mas," Akupun bergeser ke pinggir dipan bambu untuk memberi lelaki itu tempat.
"Sendirian ya Mas?" Tanyanya memulai percakapan, sebenarnya aku malas membalas sapanya yang basa-basi. Karena kantuk sudah demikian berat menyerang mata, sehingga kepala sangat berat untuk ditegakkan.
"Ya Mas, sendiri" Jawabku singkat. Ingin aku balas dengan pertanyaan yang serupa. Tetapi ketika aku melihat ada sepuluhan orang yang ada berada di sampingnya dan memakai baju sama dengan lelaki yang duduk di sebelahku tetapi berlengan pendek. dan terlihat menjaga jarak serta selalu siap meloncat kemudian menyerang maka pertanyaan itu aku telan kembali.
"Nama saya Agil," Jawabku sambil mengulurkan tangan untuk berjabat. Mencoba mengakrabkan diri. Sebenarnya rasa sungkan untuk berakrab ada terlebih ketika melihat sepuluhan lelaki dengan wajah seramnya seolah tidak pernah lepas dari setiap gerik-gerikku. Lelaki itu tidak mengulurkan tangannya, hanya memandangku seolah tidak mengerti maksudku dengan meyorongkan tangan ke depan. Bahkan kawannya entah pengawalnya segera bergerak ke arahku. Namun lelaki klemak-klemek yang ingin aku sodori tangan itu segera melihat dan melarangnya. Lelaki klemak-klemak itu pun mengulurkan tangannya juga. Pegangan tangan yang kuat meskipun tangannya tidak begitu besar sebesar tangan juara bina raga.
Sepi pun segera kembali menyergap hanya suara hewan hutan yang tiba-tiba terdengar sangat jelas. Ada auman macan, jerit monyet. Padahal sebelumnya hanya terdengar burung prenjak, emprit, sesekali suara burung tekukur. Sesekali burung sriti tampak berterbangan saling kejar seolah ingin menunjukkan kegesitan. Terbang tinggi kemudian menukik tajam ke bawah terus manuver yang tiba-tiba ke arah kanan kemudian menikung kekiri.
Rasa heran Agil belum juga hilang dengan suara aneka satwa hutan yang tertangkap telinga. Gemericik suara air yang berada di bawahnya menyadarkannya jika dirinya sedari tadi berada di atas pinggir sungai yang bening. Tetiba lelaki yang klemak-klemek itu meminta dari lelaki yang berwajah dingin di sampingnya mungkin sebentuk tombak kecil. Selanjutnya tidak dikiranya lelaki yang klemak-klemak itu melemparkannya. Plass... desingannya seperti anak panah yang dilesatkan dari busurnya.
Agil dibuat lebih melongo karena tombak kecil itu menghujam tepat di kepala seekor ular yang sedang bergelantungan di pohon serut di pinggir sungai yang berada di samping dipan bambu yang sedang didudukinya. Ular itu langsung lemas dan sedikit demi sedikit melorot ke aliran air sungai yang menjadi merah darah.
Lelaki klemak-klemek itupun tanpa sungkan menarik tangan Agil menuju ke arah ular yang mati itu dan Agil pun seperti dalam cerita Joko Tarub, dirinya berada di pingir sendang kemudian mengamati gadis-gadis yang sedang mandi. Di pinggir sungai ada gadia-gadis yang sedang mandi dan sekarang tidak ubahnya maniken polos karena tidak sempat membetulkan kainnya. Namun jelas semuanya penuh ketakutan.
Agil segera merogoh tasnya, sebentuk hanphonenya ingin mengabadikan momen yang sangat langka ini. "Semprul, low batt. Mengapa selalu pada momen yang penting hp ini tidak mau diajak kerjasama."
Agil hanya meringis, melihat hpnya yang tidak bisa diapa-apakan kecuali dibawa-bawa. Dalam batinnya jika hp tidak bisa dipegang apa bedanya membawa batu. Ingin dibuangnya namun dipikir-pikir lagi cicilinnya baru saja selesai, dan yang lebih penting lagi di situ ada foto gadis yang baru saja jadian.
Di antara rasa ketakutan yang masih menyelimuti kesadaran para gadis itu masih ada. Ketika melihat salah seorang yang memakai baju hitam berlengan panjang salah seorang di ataranya memandangnya, namun tidak berani untuk menatap lama. Mereka semua langsung duduk di atas batu pinggir kali. Agil tidak tahu mengapa mereka tiba-tiba duduk.