Mohon tunggu...
Nurtiyas
Nurtiyas Mohon Tunggu... Konsultan dan Kuasa Hukum Perpajakan

Pengalaman Profesional dibidang akuntansi dan pajak sudah saya kerjakan sejak tahun 2015 hingga saat ini. Memberikan pendampingan kepada wajib pajak untuk memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya seperti: menjalankan kepatuhan pajak, administrasi perpajakan, perencanaan pajak, manajemen pajak, menyusun laporan keuangan, pendampingan sengketa pajak, dan lain sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Redefinisi Pajak Agar Lebih Substansial dan Realistis

9 Juni 2025   19:14 Diperbarui: 9 Juni 2025   19:18 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika kita berbicara tentang pajak, seringkali yang muncul adalah wacana tentang kewajiban dan paksaan. Namun, apakah definisi pajak yang ada saat ini sudah cukup mencerminkan realitas hubungan hukum yang sebenarnya antara wajib pajak dan negara? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika kita melihat berbagai permasalahan dalam implementasi sistem perpajakan di Indonesia.

Definisi pajak dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa "Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Sekilas, definisi ini tampak komprehensif dan aspiratif. Namun, jika kita telaah lebih dalam, terdapat beberapa kelemahan fundamental yang perlu dipertimbangkan.

Masalah pertama terletak pada frasa "bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Meskipun terdengar mulia dan sesuai dengan cita-cita negara, frasa ini mengandung ambiguitas yang berpotensi menimbulkan masalah. Apa parameter objektif untuk mengukur "kemakmuran rakyat"? Bagaimana kita menilai apakah pajak yang dipungut benar-benar telah digunakan untuk kemakmuran tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab karena kemakmuran adalah konsep yang sangat relatif dan subjektif.

Lebih dari itu, mencantumkan "kemakmuran rakyat" dalam definisi pajak sebenarnya redundan. Mengapa? Karena mensejahterakan rakyat sudah menjadi kewajiban konstitusional negara. Dengan demikian, semua fungsi negara, termasuk pemungutan pajak, secara inheren sudah ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Mencantumkannya kembali dalam definisi pajak justru menciptakan redundansi yang tidak perlu.

Kelemahan kedua ada pada frasa "dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung." Kalimat ini menciptakan persepsi bahwa wajib pajak memberikan sesuatu kepada negara tanpa mendapat sesuatu yang berarti. Persepsi ini kontraproduktif dalam membangun kesadaran kepatuhan membayar pajak. Dalam kenyataannya, wajib pajak mendapat berbagai "imbalan" berupa layanan publik, infrastruktur, perlindungan hukum, dan berbagai fasilitas lainnya yang disediakan negara sekalipun belum pernah berkontribusi membayar pajak. Menekankan kata "tidak mendapat imbalan" justru memperkuat stereotype negatif tentang pajak.

Masalah ketiga adalah penggunaan frasa "bersifat memaksa." Dalam sistem hukum modern, semua kewajiban hukum pada dasarnya bersifat mengikat berdasarkan undang-undang. Menekankan aspek "memaksa" dalam definisi pajak memberikan konotasi negatif yang tidak perlu dan dapat mengurangi legitimasi moral sistem perpajakan.

Melihat berbagai kelemahan tersebut, Nurtiyas yang merupakan seorang praktisi dan akademisi perpajakan, mengusulkan redefinisi pajak yang lebih substansial dan realistis. Menurut Nurtiyas, "Pajak adalah kontribusi wajib berdasarkan undang-undang yang terutang oleh wajib pajak, yang pelaksanaannya diwujudkan dengan kepastian hukum dan keadilan."

Redefinisi ini fokus pada esensi hukum pajak tanpa embel-embel yang tidak operasional. Pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib berdasarkan undang-undang yang terutang oleh wajib pajak. Tiga elemen ini—sifat kontributif, basis legalitas, dan subjek hukum.

Definisi ini juga menciptakan hubungan timbal balik yang realistis dan dapat dipertanggungjawabkan. Frasa "yang pelaksanaannya diwujudkan dengan kepastian hukum dan keadilan" memberikan perlindungan yang konkret bagi wajib pajak. Kepastian hukum di sini mencakup prediktabilitas peraturan, konsistensi penerapan, transparansi prosedur, dan jaminan hak prosedural. Sementara itu, keadilan mencakup proporsionalitas beban pajak, equality before the law, due process dalam penagihan, dan non-diskriminasi dalam pelayanan.

Yang menarik dari redefinisi ini adalah penggunaan kata "diwujudkan." Kata ini mengimplikasikan bahwa kepastian hukum dan keadilan bukan sekadar tujuan atau janji, tetapi sesuatu yang harus secara aktif direalisasikan dalam setiap proses perpajakan. Ini menciptakan akuntabilitas yang lebih kuat bagi otoritas pajak untuk benar-benar memastikan bahwa setiap aspek perpajakan dilaksanakan dengan kepastian hukum dan keadilan.

Berbeda dengan "kemakmuran rakyat" yang abstrak dan sulit diukur, kepastian hukum dan keadilan dapat dievaluasi melalui berbagai indikator yang objektif. Misalnya, tingkat konsistensi dalam penerapan peraturan, waktu penyelesaian proses administrasi, kualitas pelayanan kepada wajib pajak, dan efektivitas mekanisme pengaduan. Dengan demikian, redefinisi ini tidak hanya memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi wajib pajak, tetapi juga menciptakan parameter yang jelas untuk mengevaluasi kinerja sistem perpajakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun