Tuan rumah memberikan balasan berupa uang atau barang (kenang-kenangan). Sampai sekarang  budaya ini masih berlaku.
Saya dan cowok gantengku menikah hampir setengah abad lalu (1974), saya tidak mau menjalankan prosesi "nyalang" ini. Dan menolaknya sampai menangis. Â
Harus bagaimana lagi. Kalau tidak dilaksanakan,  orangtua  pengantin perempuan digunjing orang sekampung.  Dikatakan pelit, tak tahu adat, tak tahu malu. Mempelainya dikasih trademark sombong, terlampau pintar, sok modern dan segala yang berbau negatif.
Tiga bulan sebelum saya menikah, masyarakat kampung saya punya  sejarah kelam. Seorang mempelai wanita meninggal di tempat gara-garanya kepalanya ditimpa buah kelapa jatuh dari pohon. Peristiwa tersebut terjadi saat sang pengantin dan rombongan pergi "nyalang".
Inilah sekelumit gambaran adat pernikahan di kampung saya (Inderapura) yang pernah saya saksi dan jalani pada zamannya.
Sekarang alam telah berubah, ilmu pengatahuan dan tekhnologi terus berkembang, sosial ekonomi masyarakat telah membaik. Tradisi pun ber-evolusi mengikuti fitrahnya tanpa mengabaikan subtansinya. "Adat lamo pusako usang." Adat lama tak boleh ditingalkan. Palingan diserasikan dengan sedikit sentuhan modernisasi. Semoga bermanfaat.
****