Ojo dumeh, yang kurang lebih bermakna "jangan mentang-mentang", adalah salah satu ajaran filosofi Jawa yang menarik bagi saya yang bukan orang Jawa atau penutur jati bahasa Jawa.
Dahulu sekali, saat saya masih di Sekolah Dasar (SD), ujaran bijak tersebut kerap saya dengar saat Presiden Soeharto di era Orde Baru (Orba) berbincang-bincang dengan warga masyarakat dalam acara temu wicara Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pemirsa) di TVRI atau dalam pidato-pidato kenegaraan beliau.
Dalam kehidupan pribadi saya, ada beberapa pengalaman hidup yang mengamini kebenaran filosofi ojo dumeh tersebut, salah satunya saat mengikuti Tes Sertifikasi Nasional Himpunan Penerjemah Indonesia (TSN-HPI) pada 2014.
Vini, Vidi, Vici
Saat itu saya mendaftar TSN-HPI Penerjemah untuk pasangan bahasa Inggris-Indonesia (Hukum) dengan biaya sebesar Rp1,5 juta per pasangan bahasa. Dua tahun sebelumnya, pada 2012, saya berhasil lulus TSN-HPI Penerjemah untuk pasangan bahasa Inggris-Indonesia (Umum), yang pengerjaannya masih dengan tulisan tangan manual, alih-alih menggunakan komputer. Biayanya satu juta Rupiah.
Itu nominal jumlah yang cukup besar bagi saya, yang harus menyisihkan gaji bulanan untuk tabungan biaya TSN 2012. Demikian juga yang saya lakukan jelang TSN 2014. Alhamdulillah, kelulusan pada 2012 dan pelantikan pada 2013 membayar lunas segala pengorbanan dan menyingkirkan segala inferioritas saya.
Alhasil, sebagai "pemenang" TSN 2012, saya datang ke lokasi TSN 2014 saat itu dengan semangat Vini, Vidi, Vici yang digelorakan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Kaisar Julius Caesar. Saya datang, saya lihat, saya menang. Namun apakah demikian hasil akhirnya?
Ternyata tidak, Kawan.
Kendati saya bergadang pada malam tes hingga pukul 1 pagi untuk suatu tenggat (deadline) penerjemahan dokumen hukum, saya masih yakin betul bisa tetap prima dan bisa lulus tes. Lha wong, terjemahan dokumen hukum kan makanan saya sehari-hari, pikir saya.