Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Chairil Anwar dan Orang Latah

4 April 2021   18:11 Diperbarui: 4 April 2021   21:08 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi puisi Chairil Anwar/Foto: youtube.com

Sedari kecil hingga sebelum menikah, aku tinggal di perkampungan yang didominasi etnis Betawi di pinggiran Jakarta Selatan. Dan dulu aku punya tetangga yang biasa dipanggil Mpok Manik. Orangnya sudah tua keriput namun selalu ceria. Ia pengidap latah.

Latah adalah sebuah gangguan psikologis yang disinyalir oleh Sigmund Freud sebagai manifestasi dari pikiran bawah sadar kita yang terpendam. Orang latah biasanya akan merespons secara lisan atau gerakan dengan tidak terkendali atas apa pun yang didengarnya.

Jika Mpok Manik latah atau dilatahi orang rasanya aku tak tega. Karena ia sama sekali tak punya kendali diri atas ucapan atau apa yang dilakukannya. 

Misalnya, ketika ada pengamen topeng monyet beraksi, ia bisa dalam waktu lama berjoget mengikuti irama tabuhan gendang. Bersaing dengan si monyet yang jadi bintang utama pertunjukan.

Atau, contoh lain, ketika ia dikagetkan seseorang ketika hendak pergi ke warung.

"Mpok Manik!" ujar seseorang sambil menepuk bahunya.

"Eh, iye, kenape lo, Gendut!" jawabnya spontan. 

Kontan yang mendengar tak kuat menahan tawa. Tinggal Mpok Manik yang kemudian meminta maaf pada sang penyapa yang kebetulan seorang ibu yang memang berbadan subur.

Yang lebih memalukan jika ia latah dengan menyebut-nyebut alat kelamin laki-laki.

"Eh, eh...k***** (maaf, disensor)!"

Konon, menurut cerita Mpok Manik, ia mulai terkena latah setelah bermimpi melihat puluhan alat kelamin laki-laki merubungi dirinya hingga ia menjerit-jerit ketakutan. Beberapa perempuan penderita latah yang aku kenal juga konon bermimpi hal yang sama. 

Entahlah bagaimana sang pakar psiko-analisa Sigmund Freud menafsirkannya, jika ia berumur panjang.

Nah, di lain waktu, ada perayaan tujuh belasan di lingkunganku. 

Perayaan yang meriah sampai jalan utama kampung ditutup sementara dan disulap jadi arena perlombaan. 

Warga berduyun-duyun keluar rumah dan berkumpul menikmati kegembiraan sehari dalam ultah kemerdekaan republik ini. Termasuk juga Mpok Manik. 

Saat itu Mpok Manik berdiri di samping MC (Master of Ceremony) yang memandu acara perlombaan. 

Sang MC, Eda namanya. Aida Mustafa, nama lengkapnya. Konon bapak tetanggaku ini dulu tergila-gila dengan sang aktris cantik Aida Mustafa yang populer di era 1970-an.

"Sekarang kita istirahat dulu," ujar Eda. "Sebelum memulai lomba berikutnya, kami persilakan panitia bersiap-siap. Dan diselingi dengan pembacaan puisi."

Wah, nyastra juga, pikirku sebagai penonton. 

Saat itu cukuplah aku jadi penonton. 

Toh, dulu semasa kecil aku sempat menikmati menjadi juara lomba membawa kelereng dalam sendok dan juara lari maraton dalam perayaan tujuh belasan.

Kemudian Eda yang juga merangkap menjadi pembaca puisi bersiap-siap membacakan puisi. 

Suasana hening. Wajahnya tampak serius menatapi selembar kertas di tangan. Ia menarik nafas sejenak.

"Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar..." 

Suaranya lantang khas orang berdeklamasi.

"Tulang-tulang berserakan...."

"Pungutin aje!" Tak kalah lantang suara lain menyahut.

Orang-orang terkesiap, lantas bom tawa meledak hebat. 

Siapa sih yang menambahkan ungkapan yang sama sekali tidak nyastra itu? 

Ya, Mpok Manik!

Rupanya ia kaget dengan lantangnya suara Eda yang berdeklamasi di sebelahnya.

Pembacaan puisi pun ambyar, tidak berlanjut. 

Orang-orang terus terpingkal-pingkal dan malah asyik melatahi Mpok Manik dengan potongan puisi bersejarah itu. Mpok Manik sendiri tersipu-sipu malu.

Moga-moga saja waktu itu mendiang Chairil Anwar tidak marah.

Jakarta, jelang Ramadhan

Baca Juga: Patah Hati Itu Biasa, "Move On" Itu Luar Biasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun