Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Roti Buaya dan Stereotip Etnis di Indonesia

28 Februari 2021   10:38 Diperbarui: 28 Februari 2021   11:01 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Roti Buaya/Foto: fimela.com

"Someone is not a stranger. He/she is only another person we don't know." (Anonymous)

Roti Buaya, ya, roti yang dibentuk serupa hewan buaya, merupakan hantaran wajib dalam pernikahan adat etnis Betawi. Umumnya dibuat sepasang, buaya jantan dan buaya betina.

Untuk buaya betina, di punggungnya dibuatkan seekor buaya kecil yang dimaksudkan sebagai anaknya.

Sepasang Roti Buaya/Foto: bisnis.com
Sepasang Roti Buaya/Foto: bisnis.com

Dengan ukuran beragam, mulai dari 1 meter yang barangkali merupakan ukuran asli hewan buaya asli hingga ukuran yang sekadar sebagai pemantas, sepasang buaya tersebut diarak rombongan mempelai pria bersama dengan 40 keranjang (konon, ini ukuran umum secara konsensus agar "layak" secara sosial dan adat) hantaran lainnya ke tempat mempelai wanita pada hari pernikahan.

Dilengkapi dengan tradisi Palang Pintu (semacam tradisi penyambutan pengantin berupa berbalas pantun, adu silat dan adu baca Al-Qur'an), Roti Buaya jadi menu wajib kendati dahulu bahan roti pembuatnya terlalu keras dan tidak begitu enak untuk disantap.

Ya, dahulu Roti Buaya lebih cocok sebagai roti hiasan alih-alih sebagai penganan.

Namun sekarang, seiring zaman, sudah banyak dibuat Roti Buaya yang lezat disantap. Bahkan dengan beragam topping. Malah pernah saya dapati penjual roti buaya keliling sebagai jajanan. Yah, untuk hal ini, rasanya agak gimana gitu ya. Sungguh terasa mengurangi nilai kesakralannya.

Seorang kawan yang bukan orang Betawi bertanya-tanya heran kepada saya,"Kenapa orang Betawi pakai simbol buaya? Itu kan hewan simbol playboy dan petualang cinta?"

Saya masih ingat saat itu saya hanya tersenyum seraya mengurut dada.

Stereotip memang kejam dan lebih kejam daripada sebuah fitnah. Ia adalah pembunuhan karakter. Buaya salah satu korbannya.

Dalam kenyataannya, buaya adalah hewan monogamis. Ia hanya akan kawin (bukan "nikah") dengan seekor buaya lainnya selama sang pasangan belum tutup usia.

Buaya juga membangun rumah tangga dengan menempati kedung (sebutan untuk sarang buaya yang terletak di dasar sungai) bersama sang pasangan. Kehidupan monogami tersebut berlangsung hingga salah satu mati. Jika takdir menentukan salah satu tutup usia dulu, barulah yang lain cari pasangan baru.

Ya, kesetiaan. Itulah pesan khusus sekaligus filosofi dari kehadiran "buaya" dalam perhelatan pernikahan adat Betawi.

Sebagai etnis asli Jakarta yang gerak kebudayaannya berbasis di sekitar Kali Ciliwung, metafora hewan buaya yang merupakan penghuni sungai terbesar di ibu kota negara tersebut cukup dapat dimaklumi keberadaannya dalam khazanah budaya etnis Betawi.

Bukankah seseorang atau suatu kaum akan mengambil permisalan atau metafora yang dekat dengan kesehariannya, dengan lingkungannya?

Sayangnya filosofi mulia tersebut ditenggelamkan oleh stereotip tidak berdasar.

Stereotip sudah kadung salah kaprah mengambinghitamkan buaya sebagai simbol playboy dan petualang cinta. Malangnya, stereotip tersebut juga tak luput dialamatkan kepada etnis Betawi yang katanya tukang kawin. Duh, sedihnya!

Tapi kadang, dalam kehidupan nyata, kebenaran tidaklah penting. Yang dianggap penting belakangan ini adalah citra (image). Tak heran para politisi dan pemimpin negeri ini sekuat tenaga membangun citra semasa mereka menjabat. Konon dengan citralah, stereotip terbangun dan mengakar.

Kadang dengan itulah kita akan dikenang dalam banyak memori orang. Tak peduli sebenarnya seberapa banyak kita berbuat. Mungkin benar seperti kata sebagian penulis bahwa "Hidup itu tidak adil."

Setidaknya tidak adil buat sang hewan buaya. Namanya kadung dilekatkan dengan sang playboy dan para penjahat cinta.

Mungkin para buaya asli menitikkan airmata jika tahu namanya ditahbiskan sebagai simbol kejahatan cinta. Salah satunya oleh duo Ratu yang beranggotakan Maia Estianti dan Mulan Kwok (sekarang Mulan Jameela) dengan lagu hits berjudul Lelaki Buaya Darat (2006).

Apalah daya, aku hanyalah buaya, mungkin demikian para buaya berkeluh-kesah. Tinggal saja mereka harus menunggu nasib ada lembaga advokasi hak-hak kebuayaan.

Jangankan nasib buaya yang memang aspek perikehewanan belum lazim di negeri ini.

Kaum manusia saja yang aspek perikemanusiaan sudah termaktub dalam konstitusi negeri ini juga belum sepenuhnya diayomi. Kaum manusia, tidak hanya etnis Betawi, banyak menjadi korban akibat stereotip sosial.

"Si Iko jangan dikasih turun di simpangan. Nanti dia bikin rumah makan Padang lho!"

Atau sebuah tebak-tebakan iseng: "Kenapa orang Batak tidak cocok jadi pilot pesawat terbang?"

Ketika hadirin tak bisa menjawab, si pemilik tebakan langsung buka suara,"Karena bisa gawat. Nanti di tengah jalan dia buka pintu dan teriak-teriak,"Ya, Semarang, Semarang. Masih kosong!" ujarnya seraya menirukan teriakan kondektur angkotan kota di Jakarta yang memang mayoritas etnis Batak.

Poster film MASMIA 2007/Foto: wikipedia.org
Poster film MASMIA 2007/Foto: wikipedia.org

Kontroversi film MASMIA

Soal stereotip salah satu etnis besar di pulau Sumatra ini juga pernah mencuat dalam kasus film Maaf, Saya Menghamili Istri Anda (MASMIA) arahan Monty Tiwa (2007).

Keluarga besar marga Simamora dari Sumatra Utara memprotes pemakaian nama marga mereka untuk tokoh preman bajingan dalam film yang diproduseri Rudy Soedjarwo tersebut.

Bahkan film tersebut sempat terancam didemo besar-besaran sebelum beredar di bioskop. Namun, setelah melalui prosedur minta maaf secara adat Batak dan sedikit sensor, akhirnya film itu bertengger dengan aman di jaringan bioskop 21.

Sebetulnya, setelah saya menonton sendiri film itu, bukan hanya soal penyebutan marga Simamora saja yang kontroversial.

Film itu berkisah mengenai seorang aktor nanggung yang diperankan Agus Ringgo yang "terjebak" menebar sperma di mana-mana (menghamili istri sang preman Lamhot Simamora dan juga meniduri adik sang preman Batak tersebut) dan mengangkat latar kehidupan etnis Batak urban di Jakarta, dan menggelar banyak nama marga Batak seperti Sidabutar, Sitanggang atau Panjaitan. Bahkan alat kelamin pria pun dicandai sebagai "Si Poltak".

Yang lebih substansial adalah berbagai stereotip tentang etnis Batak yang bertebaran di film komedi tersebut. Mulai dari perilaku suka makan anjing; senang berdebat dan menyelesaikan persoalan dengan suara keras dan kekerasan; sikap wanitanya yang "agresif" hingga stereotip orang Batak sebagai kaum preman dan mafia perparkiran di Jakarta.

Entahlah kenapa tuntutan sebagian etnis Batak tersebut terhenti hanya sebatas sensor pada penyebutan marga Simamora dalam dialog salah satu karakter.

Sensor yang dilakukan pun sejatinya secara teknis tidak cantik karena kentara betul jeda kosong beberapa detik dalam ucapan si karakter tentang nama sang preman gondrong yang terlibat perebutan lahan parkir dengan kelompok preman asal Timor-Timur.

Keberagaman etnis adalah jembatan penghubung, bukan pagar pembatas

Dengan luasnya wilayah Indonesia yang melebihi luas Amerika Serikat dan termasuk salah satu negara terluas wilayahnya di muka bumi, keberagaman etnis adalah keniscayaan.

Dengan keberagaman etnis dan budaya tak ayal pergesekan sering terjadi. Tidak jarang fenomena alamiah ini berjalin berkelindan dengan intrik politik dan konspirasi ideologis. 

Hanya atas berkah Allah saja negeri tercinta ini tidak pecah berkeping-keping seperti Yugoslavia atau Uni Soviet, misalnya.

Namun entah sampai kapan hal itu bertahan jika kita tidak membangun sikap saling mengerti dan memahami?

Karena keberagaman sebenarnya bukan pagar pembatas, ia lebih merupakan jembatan penghubung.

Sama seperti kita mempersepsi lautan di antara banyak kepulauan Indonesia yang selayaknya tidak disebut sebagai pembatas tapi sebuah jembatan penghubung di antara banyak pulau.

Kemalasan kita untuk menaklukkannya saja yang membuat kita berprinsip seperti serigala yang gagal menjangkau buah anggur dalam dongeng The Sour Grape.

Ya, kita menyebut anggur yang manis itu sebagai masam rasanya hanya karena kita tak mampu menjangkaunya.

Tidak adanya perseteruan terbuka bukan pertanda adanya kedamaian, ulas Mahathir Mohammad dalam Malay Dilemma, salah satu bukunya yang populer di era 70-an.

Bisa jadi konflik yang sebenarnya hanya terpendam dan menunggu hulu ledaknya terpantik. Inilah yang kita pernah alami di Maluku, Poso, atau Sambas atau Sampang. Ini sekadar menyebut beberapa daerah yang ditimpa konflik etnis yang berjalin dengan ideologi dan politik.

Memang damai itu indah, seperti slogan yang pernah dipopulerkan kalangan TNI di awal Reformasi '98.

Tetapi rasanya lebih indah jika kedamaian itu tercipta karena keadilan. Kedamaian yang bersumber dari keadilan niscaya lebih langgeng ketimbang kedamaian yang hanya sekedar bersifat kosmetika. Hanya pemanis. Ia luntur bila bedak basa-basi terguyur realitas hidup yang keras.

"Panggillah saudaramu dengan panggilan yang disukainya," demikian pesan Al-Qur'an. Itulah sebuah pesan universal.

Kadang entah bercanda atau tidak kita kerap menjuluki rekan berbeda etnis dengan sebutan sukunya. Misalnya, Si Padang, Si Jawa Koek, dan sebutan pejoratif lainnya.

Yang substansial adalah sejauh mana kita mendefinisikan "saudara" dan "orang asing" dalam kehidupan kita.

"Someone is not a stranger. He/she is only another person we don't know."

Seseorang bukanlah orang asing, ia hanyalah orang lain yang belum kita kenal.

Kutipan indah dan bermakna itu pernah saya dapati tertera di sebuah kaus. Entah produk mana dan siapa kreatornya, itulah pesan anonim yang indah dan mendalam sekaligus inspiratif dan bernas.

Pesannya jelas, yuk, saling mengenal dan bersilaturahmi. Karena dengan silaturahmi, mengenal dan memahami maka akan terciptalah kesepahaman di antara kita demi menetralisasi menyuburnya benih-benih konflik antaretnis dan lintas golongan yang rajin ditabur di mana-mana.

Jakarta, jelang Ramadhan

Baca Juga:

1. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/6039b5ca8ede485c4a718413/kisah-nyata-korban-banjir-jakarta

2. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/60347b3ad541df3ef60cde34/sudahkah-tulisanmu-mempunyai-ruh

3. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/602df5c68ede485aa22fb422/gadis-manis-di-kereta-waktu

4. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/6028710d8ede484f14656be2/jika-kegagalan-adalah-guru-apakah-ia-guru-yang-baik

5. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/602a348ed541df1966074712/bekerja-tidaklah-selalu-soal-uang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun