Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Roti Buaya dan Stereotip Etnis di Indonesia

28 Februari 2021   10:38 Diperbarui: 28 Februari 2021   11:01 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Roti Buaya/Foto: fimela.com

Stereotip memang kejam dan lebih kejam daripada sebuah fitnah. Ia adalah pembunuhan karakter. Buaya salah satu korbannya.

Dalam kenyataannya, buaya adalah hewan monogamis. Ia hanya akan kawin (bukan "nikah") dengan seekor buaya lainnya selama sang pasangan belum tutup usia.

Buaya juga membangun rumah tangga dengan menempati kedung (sebutan untuk sarang buaya yang terletak di dasar sungai) bersama sang pasangan. Kehidupan monogami tersebut berlangsung hingga salah satu mati. Jika takdir menentukan salah satu tutup usia dulu, barulah yang lain cari pasangan baru.

Ya, kesetiaan. Itulah pesan khusus sekaligus filosofi dari kehadiran "buaya" dalam perhelatan pernikahan adat Betawi.

Sebagai etnis asli Jakarta yang gerak kebudayaannya berbasis di sekitar Kali Ciliwung, metafora hewan buaya yang merupakan penghuni sungai terbesar di ibu kota negara tersebut cukup dapat dimaklumi keberadaannya dalam khazanah budaya etnis Betawi.

Bukankah seseorang atau suatu kaum akan mengambil permisalan atau metafora yang dekat dengan kesehariannya, dengan lingkungannya?

Sayangnya filosofi mulia tersebut ditenggelamkan oleh stereotip tidak berdasar.

Stereotip sudah kadung salah kaprah mengambinghitamkan buaya sebagai simbol playboy dan petualang cinta. Malangnya, stereotip tersebut juga tak luput dialamatkan kepada etnis Betawi yang katanya tukang kawin. Duh, sedihnya!

Tapi kadang, dalam kehidupan nyata, kebenaran tidaklah penting. Yang dianggap penting belakangan ini adalah citra (image). Tak heran para politisi dan pemimpin negeri ini sekuat tenaga membangun citra semasa mereka menjabat. Konon dengan citralah, stereotip terbangun dan mengakar.

Kadang dengan itulah kita akan dikenang dalam banyak memori orang. Tak peduli sebenarnya seberapa banyak kita berbuat. Mungkin benar seperti kata sebagian penulis bahwa "Hidup itu tidak adil."

Setidaknya tidak adil buat sang hewan buaya. Namanya kadung dilekatkan dengan sang playboy dan para penjahat cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun