Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Madrasah Itu Bernama Ibu

6 Desember 2020   23:38 Diperbarui: 6 Desember 2020   23:55 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibuku (Ulya binti Sayuti) nomor dua dari kanan (berkerudung dan berkebaya) dan aku no. 5 dari kanan (berbaju merah)/Foto: Dokpri

Bukan hanya pelajaran agama an sich, tetapi juga ilmu duniawi, seperti matematika, fisika, bahasa atau bahkan komputer. Termasuk pelajaran life skill dan tentang kehidupan dan makna hidup.

Ini juga dikuatkan dengan salah satu hadis Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa belajar itu sejatinya pembelajaran seumur hidup, "minal mahdi ilal lahdi", dari ayunan hingga liang lahat (baca: kuburan). Atau dalam istilah modern saat ini, life-long education.

Alhasil, dalam konteks itu haruskah sang ibu berpendidikan tinggi agar dapat berperan sebagai madrasah bagi anak-anaknya?

Tidak juga.

Sebagaimana yang dikatakan Rocky Gerung (aktivis prodemokrasi pendiri Sekolah Ilmu Sosial di era 80-an dan juga mantan pengajar filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dalam kanal Youtube miliknya bahwa "ijazah itu tidak selalu bermakna bukti kemampuan berpikir; ijazah itu bukti pernah sekolah."

Dalam khazanah bahasa Inggris pun dibedakan antara "studying" (belajar formal di sekolah atau lembaga pendidikan) dan "learning" (belajar nonformal atau informal dalam pengertian yang lebih luas).

Di titik inilah aku teringat betapa besar peran almarhumah ibuku, Ulya binti Haji Sayuti, sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya, terutama aku sebagai anak kelima dari enam bersaudara.

Ibuku yang pendidikan formalnya hanya sampai kelas 5 Sekolah Rakyat (SR), sekarang SD, tidak pernah menganggap remeh pendidikan bagi anak-anaknya.

Barangkali ini juga pengaruh didikan ayahnya, Guru Sayuti, yang termasuk seorang guru agama berpengaruh saat itu.

Sebelum era 70-an, setiap guru agama di Jakarta, terutama di kalangan komunitas Betawi, disebut "Guru". Hingga kemudian tergusur dengan istilah "ustaz".

Sebagai anak ustaz, ibuku sangat menekankan pendidikan agama. Beliau pun menyusul jadwal rutin bagi kami, keenam anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun