Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ibu Guru Spesial dan Murid Malin Kundang

25 November 2020   20:11 Diperbarui: 25 November 2020   20:16 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru dan murid/Foto: shutterstock.com

"Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali amal kebaikan." (Hadis Riwayat Ahmad, Nasa'i dan Ibnu Majah)

Di Hari Guru Nasional ini, 25 November, aku teringat hadis Rasulullah tersebut saat mengenang seseorang yang spesial dalam hidupku. Aku teringat pertemuan dengannya kala itu.

"Berangkat, Bu?" sapaku pada seorang ibu tua berjilbab yang sedang berjalan tertatih-tatih menuju halte bus. Ia menggunakan tangkai payung panjang sebagai tongkat.

Wajah tuanya terperangah. Kacamata minusnya masih seperti dulu. Hanya bertambah tebal. 

Di tengah kebingungannya berusaha mengenaliku, aku menjumput lengan keriputnya dan mencium tangannya. Penghormatan untuk guruku. Ibu guru spesialku.

Keberkahan dan panjangnya umur, itulah yang aku mohonkan kepada Allah untuk ibu yang satu ini. Di manapun ia berada saat ini. Ia bukan ibuku. Bukan juga saudara atau kerabatku. Namun ia, dalam salah satu fase perjalanan hidupku, sangat berarti.

Dan tidaklah hidupku yang sekarang ini lengkap, atau bahkan mungkin aku tidak akan seperti sekarang ini, jika tanpa amal kebaikannya untukku saat aku masih di bangku Sekolah Dasar (SD).

Bu Satimah, demikian kami memanggilnya. Ia guru kelas satu SD. Ialah orang pertama yang mengajariku baca tulis. Tentu itu memang tugas setiap guru kelas satu, setidaknya di angkatan SD era 80-an, yang barangkali terasa wajar dan tidak istimewa. Barangkali demikian.

Dan memang amal kebaikan Bu Satimah, tanpa mengecilkan jasanya yang satu itu, yang teramat istimewa padaku bukanlah saat ia memposisikan diri khusus sebagai guru. Justru ketika ia memposisikan diri sebagai ibu, sebagai manusia yang punya kepekaan dan nurani, di situlah ia menjadi sangat berarti dan tak tertandingi.

Sewaktu kecil, aku menderita penyakit kencing batu sejak usia 4 tahun. Konon sebabnya karena aku terlalu banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang manis-manis. Sakitku itu terus berlanjut ke tahun-tahun berikutnya hingga sukses mengubahku yang semula bayi montok yang aktif menjadi balita yang kuyu dan penyakitan. 

Hingga saat kelas satu SD, dan jelang ujian akhir sekolah (UAS), saat itu lazim disebut "testing", sakitku bertambah parah dan terpaksa absen sekolah. Di saat itulah, sebagai guruku, Bu Satimah menunjukkan pendirian dan kepeduliannya.

"Kamu harus tetap sekolah," ujarnya padaku. "Salam harus ikut testing," ia tegaskan itu di depanku dan ibuku serta di hadapan guru-guru lain di ruang kepala sekolah. "Meskipun testingnya di rumah."

"Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang bisa jamin?" tanya seorang guru perempuan, dengan nada sinis.

Bu Satimah menatap tegar. "Saya yang jamin. Saya yang bertanggung jawab."

Dukungan yang diberikan Bu Satimah dengan tegas untuk kelanjutan sekolahku memapas pelecehan dan pesimisme pihak sekolah. 

Meskipun aku tahu beberapa guru seakan bersungut-sungut, tapi sang malaikat penyelamat itu, dengan rambut ikal pendek dan kacamata minusnya, bersiteguh dengan argumentasinya yang cerdas.

Wajah Bu Satimah memang terkesan keras. Konon ia berdarah Jawa Timur. Namun hari itu ia menunjukkan kelembutan sayap-sayap hatinya.

Bukan itu saja yang membuatku kian salut kepadanya. Setelah perjuangannya yang keras di depanku, ia memberikan kepercayaan yang besar kepadaku dan keluargaku.

Semestinya, dengan saran kepala sekolah, Bu Satimah harus selalu mengawasi aku ketika sedang mengerjakan soal testing di rumah. Namun ia sepenuhnya mempercayakan pengawasan itu kepada kedua orangtuaku.

Selama pekan testing, ia hanya mengantarkan bahan testing ke rumahku dan mengambilnya selepas jam sekolah.

"Saya percaya kok bapak ibu orang jujur. Salam juga anak jujur. Jadi saya percaya saja," demikian jelasnya.

Kedua orangtuaku yang terharu dengan kepercayaan tersebut menjaga betul amanah tersebut. Bahkan ayahku tak segan-segan menjewer salah satu kakakku yang mencoba membantuku mengerjakan soal testing. Kepercayaan memang barang mahal.

Alhamdulillah, dengan prosedur testing yang 'di luar kebiasaan' tersebut, aku dinyatakan berhak naik kelas ke kelas dua.

Namun sakitku yang bertambah parah, dan ketiadaan dana orangtuaku, aku pun cuti dari sekolah. Bedrest. Lagi-lagi di luar kebiasaan.

Setahun kemudian, setelah menjalani operasi pada 1984 dengan biaya pinjaman dari kerabat, aku melanjutkan ke kelas dua. Teman-teman seangkatanku sendiri sudah berada di kelas tiga.

Bu Satimah juga yang mengusulkan gagasan cuti tersebut.

Dan, lagi-lagi, dengan gemilang ia membelaku di hadapan para rekan sejawatnya. Sungguh, bagiku, ia malaikat.

Sayang tahun-tahun berlalu membawa sekaligus melipat segala kenangan termasuk kebaikan. Waktu memang paling ampuh memusnahkan segalanya.

Ditakar dengan besarnya jasa Bu Satimah, balasanku atas kebaikannya sangat tidak sepadan.

Aku hanya satu dua kali berkunjung ke rumahnya. Itu pun semasa aku masih bersekolah di SD.

Selepas SD, aku sama sekali melupakannya.

Kendati ibuku, yang merasa amat berutang budi budi kepada Bu Satimah, selalu memintaku mengunjungi sang ibu guru yang hidup sederhana di bantaran Kali Ciliwung yang selalu kebanjiran dari tahun ke tahun.

Yang aku tahu, untuk beberapa belas tahun kemudian, Bu Satimah masih mengajar kelas satu di SD almamaterku itu. Dengan penampilan fisik yang menua dan gaya jalan yang tidak lagi gagah dan cepat seperti dulu.

Tapi, lagi-lagi hanya berdasarkan kabar, di usia menjelang pensiun ia masih melanjutkan kuliah S-1 di IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Guru-guru SD seangkatannya, dan yang menjadi para guruku di SD, memang lulusan SPG, sebuah sekolah pendidikan guru tingkat menengah yang telah dibubarkan pemerintah Orde Baru.

Hingga terjadilah pertemuan saat itu antara si Malin Kundang ini dengan sang malaikat penyelamatnya, yang ironisnya telah dilupakannya bertahun-tahun.

"Sudah SMP kamu, Lam?" Bu Satimah akhirnya mengenaliku.

Pandangannya menelisik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku yang masih kelas tiga SMP saat itu merasa risih juga dengan bulu kakiku yang mulai tumbuh lebat.

"Makin jangkung aja!" Ia tersenyum. "Belajar yang bener ya!" Ia menepuk-nepuk bahuku yang kini jauh lebih tinggi darinya.

Malaikat berhati emas ini memang berukuran tak seberapa tinggi namun, dalam kenanganku, nyalinya dan kepeduliannya jauh melebihi tinggi fisik tubuhnya.

Teramat sayang saat pertemuan itu, mungkin karena gumpalan perasaan yang campur baur di hatiku, aku tidak banyak berkata-kata.

Bertemu dengannya, setelah aku lama melupakannya, bagaikan bertemu dengan seorang pemberi utang budi yang sama sekali tak menagih utang budi dan bersikap seakan-akan kita tidak punya utang budi kepadanya.

Hanya saja sang pengutang, dalam hal ini aku,  yang merasa kikuk bukan kepalang.

Di akhir pertemuan singkat itu, Bu Satimah menawariku berkunjung ke rumahnya.

Dengan gaya polos ABG, aku jawab,"Iya, Bu, kapan-kapan."

Aku lupa mengucapkan "Insya Allah".

Dan memang bertahun-tahun setelahnya aku tidak pernah mampir ke rumah Bu Satimah yang terletak di daerah Cawang Pulo, Jakarta Timur. Hanya beberapa kilometer dari rumahku. Hanya dibatasi Kali Ciliwung yang kecokelatan airnya.

Sewaktu kuliah, aku pun mendapat kabar Bu Satimah tidak lagi tinggal di tempat itu. Tidak seorang pun di sekitar rumah lamanya itu yang tahu kemana sang malaikat itu berada.

Aku kian merasa ia ibu guru spesial dan aku murid Malin Kundang. Bahkan hingga saat ini, detik ini.

Jakarta, 25 November 2020

Baca Juga:

1. satu

2. dua

3. tiga

4. empat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun