Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Warkop Bernama Kompasiana

2 November 2020   00:50 Diperbarui: 2 November 2020   00:52 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover buku "Kompasiana Etalase Warga Biasa"/Dokpri: Nursalam AR

Dalam rangka Hari Inovasi Indonesia (HII) yang diperingati setiap 1 November, sebagaimana diulas dengan apik oleh Kompasioner Kris Banarto, izinkan saya menyampaikan refleksi dan renungan tentang serangkaian peristiwa penting selama bulan Oktober yang baru saja berlalu.

Kompasiana berulang tahun ke-12 pada 22 Oktober dan Hari Blog Nasional ke-13 jatuh pada 27 Oktober. Sementara itu, Hari Sumpah Pemuda ke-98 (yang salah satu butirnya adalah tentang bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia) diperingati setiap 28 Oktober, yang juga menjadi dasar acuan ditetapkannya bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Ketiganya bertalian dan bertautan dalam kerangka besar inovasi anak bangsa.

Sebagai pelopor blog sosial atau blog kolektif (dalam bahasa populernya disebut "blog keroyokan"), Kompasiana adalah komunitas bloger atau narablog (blogger) yang paling awal berdiri setelah ditetapkannya Hari Blog Nasional (Harblognas) pada 27 Oktober 2007 oleh Mendikbud M. Nuh di masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dan sebagai komunitas narablog di Indonesia, Kompasiana juga pelopor komunitas narablog berbahasa Indonesia terbesar di Nusantara. Ini tentunya dengan tidak mengesampingkan para Kompasioner yang rutin menulis artikel berbahasa Inggris di Kompasiana. Hal ini terkait dengan variasi gaya atau bahasa ngeblog di Kompasiana yang sangat "indonesia banget" (baca: beragam).

Warkop Kompasiana

"Berkah" keberagaman di Kompasiana itu juga yang menjadikan Kompasiana merakyat laksana warung kopi (warkop) atau kedai kopi atau kopi tiam yang tersebar di pelbagai penjuru Indonesia. Ia tidak hanya terbuka untuk segmen kalangan tertentu dari kalangan strata sosial ekonomi tertentu sebagaimana halnya konsumen kedai kopi waralaba jenama (brand) internasional yang cenderung hanya populer di kalangan urban atau perkotaan di Indonesia.

Di Kompasiana, bukan hanya ada artikel-artikel seputar berita metropolitan atau masyarakat urban, tetapi juga ada laporan jurnalisme warga (citizen journalism) dari pelosok perdesaaan atau penjuru perbatasan Nusantara yang dituliskan para Kompasioner, seperti misalnya Kompasioner Ozy V. Alandika (Bengkulu), Kartika Eka Hendarwanto (Banjarmasin), Yafeth Tinangon (Toraja), Iwan Musyri Syam (Kalimantan) dan Fauji Yamin (Maluku).

Nostalgia Kompasiana era "Sharing and Connecting"

Sebagai tamu Warkop Kompasiana, saya tergolong pendatang awal berdasarkan waktu kedatangan, yakni pada 8 Desember 2010. Sedasawarsa sudah. Bahkan lebih "senior" daripada pasutri Kompasioner Pak Tjiptadinata Effendi dan Bu Roselina Effendi yang baru bergabung pada sekitar 2012.

Namun dari aspek produktivitas menulis, dan kepangkatan di Kompasiana (sistem kepangkatan ini baru ada di era "beyond blogging" atau K-Rewards), saya masih tergolong yunior.

Saat ini "pangkat" saya baru Taruna dengan poin 5000-an, meskipun sudah centang biru pada medio September 2020.

Pencapaian poin saya masih kalah dibandingkan Kompasioner Meirri Alfianto yang baru belakangan bergabung, dan bahkan hanya berselisih tipis dari Kompasioner Indra Rahadian yang sukses menggondol 4000-an poin kendati baru bergabung pada Agustus 2020.

Dalam sedekade di Kompasiana, praktis tahun produktif saya hanya sekitar 4 tahun, yakni di era 2010-2014, terutama ketika Kompasiana masih mengusung tagline atau semboyan "sharing and connecting". Selebihnya saya vakum menulis di Kompasiana atau lebih menikmati sebagai pembaca senyap (silent reader) saja.

Terlebih lagi saat itu, selain disibukkan aktivitas kerja kantoran, aktivis berkompasiana juga beririsan dengan aktivitas blogging di Multiply (sebelum platform itu tutup), berkegiatan sebagai aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) dan komunitas menulis Sekolah Kehidupan.

Di era Kompasiana lama, jika boleh disebut demikian, masa produktif itu sedemikian intens. Terutama karena waktu itu masih ada kategori Agama, yang sayangnya kerap menjadi hotspot (titik panas) pertarungan atau perdebatan.

Tidak jarang kategori Agama disesaki juga dengan artikel-artikel para penganjur Atheisme atau yang berbau anti-structured religion (anti-agama terstruktur). Alhasil, dapat Anda bayangkan panasnya "perang jihad" saat itu.

Kala itu, ada Kompasioner kondang bernama Erianto Anas (entah itu nama asli atau bukan, karena saat itu tidak ada kewajiban verifikasi identitas diri) yang kerap menulis artikel-artikel kontroversial seputar agama dan politik dengan paham agnostistik sekuler radikalnya. Pengikutnya pun tidak kurang-kurang banyaknya dan sangat militan.

Pernah juga saya berpolemik dengan salah satu punggawa barisan EA, bernama Radix WP, selama sekian bulan tentang peranan Islam dan agama-agama di Nusantara dalam pembangunan bangsa.

Itulah salah satu debat tertulis yang paling panjang dan paling melelahkan bagi saya. Namun, blessing in disguise (baca: hikmahnya), saya jadi banyak belajar (karena jadi harus membaca lebih banyak literatur guna mempertahankan argumen) dan lebih terlatih untuk modal pertarungan ide di pelbagai palagan yang lain.

Jika sebagian Kompasioner saat ini "mengeluhkan" peran Tim Admin yang dianggap minimalis, itu sebetulnya tidak seberapa dibandingkan "ideologi" Tim Admin Kompasiana lama yang lebih liberal, teramat toleran terhadap segenap perdebatan.

Di sisi lain, di era Kompasiana lama juga, saya melihat Ketua DPR Marzuki Alie "dikeroyok" beramai-ramai karena artikel-artikelnya. Kolom komentar artikelnya di Kompasiana senantiasa padat sesak beragam komentar kecaman.

Hebatnya, sebagai Kompasioner, Marzuki Alie menanggapinya satu per satu, termasuk komentar-komentar dengan kecaman pedas bahkan tidak beradab.

Hebatnya lagi, tidak ada satu pun Kompasioner yang dilaporkan karena UU ITE atau delik "perbuatan yang tidak menyenangkan" maupun delik hukum lainnya.

Saat ini saya agak sulit membayangkan seorang Puan Maharani yang juga ketua DPR bersedia melakukannya. Lagipula toh Puan bukanlah Kompasioner.

Karena, sependek pengetahuan saya, jika pun Puan tercatat sebagai Kompasioner, ia tidak aktif menulis saat itu. Tidak seperti Chappy Hakim (mantan KSAU dan juga mantan komut PT Freeport Indonesia), Profesor Yusril Ihza Mahendra (advokat senior ini juga tidak segan berbagi wawasan hukum, termasuk tidak sungkan berdebat di kolom komentar), Faisal Basri, Jusuf Kalla, dan sekian banyak tokoh beken lainnya.

Daftar sebagian Kompasioner awal berdasarkan buku KEWB/Dokpri: Nursalam AR
Daftar sebagian Kompasioner awal berdasarkan buku KEWB/Dokpri: Nursalam AR

Kang Pepih Nugraha sendiri menuangkan idenya seputar Kompasiana dan kenangannya dengan para tokoh beken yang juga barisan Kompasioner awal atau pendahulu tersebut dalam sebuah buku berjudul Kompasiana Etalase Warga Biasa (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012).

Intensitas perdebatan di era Kompasiana lama semakin terpusat pada perdebatan di kategori Politik dan semakin terpolarisasi ketika pada 2012, Jokowi memasuki kancah pilkada DKI Jakarta dan bertarung dengan gubernur petahana Fauzi Bowo atau karib dipanggil Foke.

Terlebih lagi setelah Jokowi, yang belum tuntas kerjanya sebagai DKI 1, didorong berbagai pihak untuk berlaga di pilpres 2014.

Di situlah saya, yang mulai penat dengan polarisasi yang terjadi, mulai menjaga jarak dengan Kompasiana. Lebih-lebih setelah banyak Kompasioner yang mendeklarasikan diri sebagai pendukung fulan dan pendukung polan, dan bergerilya dukungan bagi kandidatnya masing-masing.

Realitas Kompasiana era "Beyond Blogging"

Kompasiana yang awalnya masuk top of mind saya perlahan-lahan teralihkan dengan keasyikan berkecimpung di platform menulis yang lain.

Namun berita insiden para pendukung capres jelang pilpres 2019 yang membawa-bawa nama Kompasioner Ninoy Karundeng melontarkan kembali memori masa lalu ke hadapan saya. Ditambah lagi dengan kabar merapatnya pendiri Kompasiana Kang Pepih Nugraha ke barisan tim media presiden petahana.

Belakangan saya baru tahu bahwa Bang Isjet (Iskandar Zulkarnain), yang asli Betawi, suksesor Kang Pepih, juga sudah tidak aktif di Kompasiana.

Singkat cerita, bertekadlah saya untuk kembali menengok rumah lama, warkop tempat tongkrongan lama, yakni Kompasiana.

Nah, di awal aktif menulis di Kompasiana era baru atau era "beyond blogging" ada pengalaman tidak terlupakan bagi saya.

Setelah menjalani verifikasi administratif dan disahkan sebagai centang hijau, pangkat saya adalah Penjelajah dengan 16 ribuan poin. Namun, anehnya, setelah beberapa kali posting tulisan, mendadak poin dan pangkat saya anjlok. Poin yang belasan ribu ambles, tersisa hanya ratusan poin, dan saya terdegradasi dari Penjelajah menjadi Junior.

Lantas apa artinya puluhan artikel saya selama ini?

Sebagai bentuk protes, banyak artikel lama yang saya bumihanguskan. Dihapus, terutama yang tidak berlabel Pilihan.

Di kemudian hari saya dengar kabarnya ada semacam "proses penyesuaian poin" sehingga kenahasan tersebut menimpa saya dan sekian banyak Kompasioner lainnya.  Tampaknya ada transisi dari era Kompasiana lama ke era Kompasiana baru.

Tertarik iming-iming Kompasiana Rewards?

Ini juga faktor pemikat yang efektif, yang merupakan hal berbeda di Kompasiana era baru. Kendati setelah beberapa kali mendapatkan K-Rewards, hemat saya, nominalnya tidak bisa dibilang setimpal.

Contohnya, pada September 2020, saya dapat K-Rewards sebesar Rp280.470 dengan total pembaca (views) 18 ribuan (versi Google Analytics), sementara menurut versi hitungan di laman Kompasiana 28 ribuan. Itu artinya harganya hanya sekitar 15 perak untuk 1 view.

Jika bicara soal imbalan finansial, tentu akan lebih menguntungkan memonetisasi blog pribadi kita sendiri, baik dengan cara referral, Google Adsense, atau sistem iklan PPC (Pay Per Click) dll.

Namun, tidak selalu tujuan utama segala sesuatu adalah uang. Ada hal yang lebih besar daripada sekadar uang yang dapat dijadikan patokan dalam menulis.

Pak Tjiptadinata, atau sering juga disapa Opa Tjip, tegas menyebutkan bahwa tujuannya menulis adalah untuk terapi jiwa. Nah, bagaimana dengan Anda?

Dalam atmosfer Kompasiana era baru yang jauh lebih santun dan beradab dibandingkan sebelumnya, tujuan menulis untuk terapi jiwa jelas sangat dapat terpenuhi. Demikian juga untuk aktualisasi diri atau koleksi portofolio tulisan.

Apa buktinya?

Lihat saja transformasi Kompasioner Katedrarajawen.

Sependek ingatan saya, dulu Pak Katedra terkenal gahar dengan tulisan-tulisan sosial politiknya serta siap berdebat keras meladeni para komentator artikelnya. Tidak seperti segelintir Kompasioner penulis politik saat ini yang seringkali tidak menanggapi komentar-komentar yang mengkritisi tulisannya atau memilih menjawab normatif alih-alih beradu argumentasi.

Kini, di era baru, seorang Katedrarajawen tampak lebih adem dengan branding puisi-puisi kontemplatif penenang jiwa.

Quo Vadis, Kompasiana?

Selayaknya warkop dengan jati diri kerakyatan, Kompasiana awalnya dan sejatinya terbuka bagi semua kalangan tanpa memandang strata sosial ekonomi atau daerah domisili.

Namun belakangan ada fitur Premium yang berekses membeda-bedakan Kompasioner berdasarkan koceknya. Yang sanggup atau siap bayar (Rp25 ribu sebulan atau Rp69 ribu untuk paket 3 bulan atau sekian ratus ribu untuk paket setahun) dapat kemudahan akses lebih cepat,sementara yang tidak mampu atau tidak bersedia membayar haruslah banyak bersabar dengan persoalan akses dan "gangguan" tampilan iklan.

Nah, ultah Kompasiana yang dikemas dengan label "12 Tahun Kompasiana" yang menjadikan Kompasiana blog sosial tertua di Indonesia semestinya menjadi titik tolak bagi pihak manajemen Kompasiana dan Tim Admin untuk menengok akar Kompasiana sekaligus mengantisipasi peluang dan tantangan ke depan, terutama di era Adaptasi Kebiasaan Awal (AKB) atau New Normal dan era digital 4.0.

Quo vadis, Kompasiana?

Atau dalam bahasa kaum milenial, "mau dibawa kemana Kompasiana ini?"

Untuk melangkah bersama, sebagai pemangku kepentingan (stakeholder), patutlah suara Kompasioner turut didengar pula oleh pihak manajemen Kompasiana dan Tim Admin Kompasiana.

Ada sedemikian banyak usulan kreatif dan konstruktif dari para Kompasioner.

Seperti misalnya, penghapusan fitur rating "Tidak Menarik" yang dikhawatirkan berdampak merusak hubungan harmonis Kompasioner. Juga usulan diberikannya akses bagi Kompasioner untuk dapat mengetahui poin dan kalkulasi Google Analytics untuk tiap artikel yang ditulisnya.

Contoh usulan lainnya, sebagaimana yang pernah disoalkan oleh Kompasioner Steven Chaniago, juga perlu dipertimbangkan adanya seksi atau bagian khusus Kompasiana untuk artikel-artikel berbahasa Inggris agar juga mendapat tempat sebagai Artikel Pilihan atau bahkan Artikel Utama (AU) atau Headline.

Dengan pertimbangan langkah Kompasiana go international atau menyigi ceruk pasar internasional, usulan tersebut sebetulnya usulan yang menarik secara komersial dan finansial.

Lagipula bukankah itu juga selaras dengan jargon Kompasiana saat ini yang berbunyi "beyond blogging"?

Dan banyak lagi usulan menarik lainnya yang dapat digali dan tergali sepanjang ada upaya untuk mendengarkan, dan bukan hanya mendengar, apalagi sekadar terdengar. Lebih buruk lagi, jika diabaikan begitu saja.

Namun saya haqqul yakin pihak manajemen dan Tim Admin Kompasiana tidaklah demikian dan tidak akan berlaku demikian.

Akhirul kalam, viva Kompasiana!

Jakarta, 1 November 2020

Baca Juga: https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f9e7356d541df610e4cb5c5/wahai-nabi-yang-tak-minta-dibela

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun