Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Warkop Bernama Kompasiana

2 November 2020   00:50 Diperbarui: 2 November 2020   00:52 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover buku "Kompasiana Etalase Warga Biasa"/Dokpri: Nursalam AR

Contohnya, pada September 2020, saya dapat K-Rewards sebesar Rp280.470 dengan total pembaca (views) 18 ribuan (versi Google Analytics), sementara menurut versi hitungan di laman Kompasiana 28 ribuan. Itu artinya harganya hanya sekitar 15 perak untuk 1 view.

Jika bicara soal imbalan finansial, tentu akan lebih menguntungkan memonetisasi blog pribadi kita sendiri, baik dengan cara referral, Google Adsense, atau sistem iklan PPC (Pay Per Click) dll.

Namun, tidak selalu tujuan utama segala sesuatu adalah uang. Ada hal yang lebih besar daripada sekadar uang yang dapat dijadikan patokan dalam menulis.

Pak Tjiptadinata, atau sering juga disapa Opa Tjip, tegas menyebutkan bahwa tujuannya menulis adalah untuk terapi jiwa. Nah, bagaimana dengan Anda?

Dalam atmosfer Kompasiana era baru yang jauh lebih santun dan beradab dibandingkan sebelumnya, tujuan menulis untuk terapi jiwa jelas sangat dapat terpenuhi. Demikian juga untuk aktualisasi diri atau koleksi portofolio tulisan.

Apa buktinya?

Lihat saja transformasi Kompasioner Katedrarajawen.

Sependek ingatan saya, dulu Pak Katedra terkenal gahar dengan tulisan-tulisan sosial politiknya serta siap berdebat keras meladeni para komentator artikelnya. Tidak seperti segelintir Kompasioner penulis politik saat ini yang seringkali tidak menanggapi komentar-komentar yang mengkritisi tulisannya atau memilih menjawab normatif alih-alih beradu argumentasi.

Kini, di era baru, seorang Katedrarajawen tampak lebih adem dengan branding puisi-puisi kontemplatif penenang jiwa.

Quo Vadis, Kompasiana?

Selayaknya warkop dengan jati diri kerakyatan, Kompasiana awalnya dan sejatinya terbuka bagi semua kalangan tanpa memandang strata sosial ekonomi atau daerah domisili.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun