Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa Pun Kondisinya, Respons Kita adalah Pembedanya

30 Agustus 2020   21:26 Diperbarui: 30 Agustus 2020   21:18 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Mati Ketawa Cara Rusia" versi bahasa Indonesia/Sumber: Goodreads.com

Sebagai penglaju (commuter) KRL commuter line Jabodetabek jurusan Lenteng Agung-Sudirman sejak 2010, saya mengalami berbagai situasi kondisi kepadatan transportasi umum tersebut.

Sejak era KRL odong-odong (baca: KRL Ekonomi) yang full music (baca: ramai pengamen) dan pengasong jajanan hingga era tapping in-out (penggunaan kartu kereta di gerbang masuk dan keluar) yang relatif lebih teratur dan tertib.Termasuk juga kepadatan penumpang di era sebelum PSBB COVID-19 dan di era AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru).

Di saat era AKB atau "New Normal", ketika diberlakukan protokol COVID-19 dengan pembatasan jumlah kursi yang dapat diduduki, kewajiban memakai masker dan larangan ngobrol langsung atau via ponsel di dalam kereta, kepadatan memang relatif berkurang. Namun ketika memasuki era PSBB Transisi, dengan sederetan sekuelnya, dan perkantoran Jakarta ramai dibuka kembali, berangsur-angsur kondisinya nyaris normal kembali. Alias kepadatannya nyaris menyamai kepadatan di era sebelum pandemi COVID-19.

Namun, sebagai penumpang, kami (saya dan para "anker" alias "anak kereta") memang harus banyak bersyukur.

Saya teringat salah satu humor dalam buku Mati Ketawa Cara Rusia karya Zhanna Dolgopolova (yang versi bahasa Indonesianya diberikan kata pengantar oleh mendiang Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) terbitan Gramedia tahun 1980-an. Dulu saya pernah membacanya sewaktu SMP di awal 90-an.

"Mati Ketawa Cara Rusia" versi bahasa Rusia/Sumber: Goodreads.com

Humor itu berkisah tentang seorang Yahudi Rusia yang datang mengeluh ke seorang terapis karena merasa rumahnya tak nyaman, dan ia merasa tak betah sama sekali.

Pada kunjungan pertama, sang terapis memintanya memasukkan seekor kambing ke rumahnya, dan memintanya datang seminggu kemudian. Meski heran, si Yahudi menuruti dan memelihara kambing itu dalam rumahnya.

Seminggu kemudian, ketika ia kembali datang, sang terapis bertanya,"Bagaimana kondisi rumahmu?"

"Parah. Rumah saya berantakan. Bagaimana ini??" jawab si Yahudi muram.

Sang terapis tersenyum, dan kembali menyarankan si Yahudi untuk memasukkan dua ekor kambing lagi ke dalam rumah, dan kembali memintanya datang seminggu kemudian. Lagi-lagi si Yahudi, meski melotot, tetap menurut.

Seminggu berlalu. Sang terapis kembali bertanya,"Dengan tiga ekor kambing di rumahmu, bagaimana kondisi rumahmu?"

"Duh, Pak, ampun deh," si Yahudi terlihat nelangsa." Rumah saya amburadul, lebih parah daripada kapal pecah. Saya sudah tidak tahan lagi."

"Baiklah, kalau begitu masukkan lagi dua ekor kambing. Jangan lupa seminggu lagi kembali ke sini," pesan sang terapis.

Si Yahudi nyaris mati pingsan mendengar "advis gila" terapisnya. Namun, ia kembali menurut, kendati dengan bersungut-sungut.

Saat kunjungan ketiga, seminggu kemudian, si Yahudi meratap bersujud di depan sang terapis. "Tolonglah, Pak, rumah saya sudah seperti neraka! Lima ekor kambing itu benar-benar membuat saya gila!"

"Baiklah. Keluarkan tiga ekor kambing dari rumahmu," pesan sang terapis. "Kita lihat perkembangannya seminggu lagi."

Dengan senang hati, si Yahudi menurutinya.

Seminggu kemudian, saat sang terapis menanyakan kondisinya, si Yahudi mulai menjawab dengan tersenyum,"Membaik, Pak. Tidak separah sebelumnya. Saya bisa lebih tenang sekarang."

Kemudian sang terapis meminta si Yahudi mengeluarkan dua ekor kambing yang tersisa.

Seminggu kemudian, sambil bersiul-siul saat ditanya, si Yahudi menjawab,"Luar biasa! Kambing-kambing itu tidak ada lagi sekarang. Sekarang rumah saya bagai surga! Terima kasih, Pak!"

Si Yahudi senang, sang terapis pun senang.

Namun, apakah kondisi sebenarnya berubah? Apa pun kondisinya, respons kita adalah pembedanya.

Yang berubah, dan mesti berubah, adalah respons atau tanggapan atau sikap mental kita terhadap suatu masalah, yang secara wujud sebenarnya sama saja.

Jakarta, Agustus 2020

Baca Juga: Inilah Alasan Kenapa Giring Nekat Nyapres dan Menikah Itu Bertukar Budaya, Bukan Hanya Cinta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun