Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Liberalisasi dan Rezim RI Laksana Koin Dua Sisi

21 Juni 2020   23:56 Diperbarui: 22 Juni 2020   00:04 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemerintahan liberal/Sumber: medium.com

Di Indonesia, salah satu beban berat anggaran pemerintah adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik kepada masyarakat. Seiring dengan memburuknya neraca pemerintah maka subsidi harus dikurangi secara amat signifikan. Pada titik itu, buruknya neraca pemerintah segera menjalar pada neraca rumah tangga yang diakibatkan oleh memburuknya daya beli akibat pengurangan subsidi (Prasetyantoko: 2008).

Kenaikan harga BBM sebenarnya dapat dihindari jika pemerintah mampu mengelola dan menerapkan strategi perminyakan dan gas nasional dengan benar. Negara ini telah merdeka puluhan tahun tetapi mayoritas pertambangan migas dikuasai asing.

Pertamina, BUMN yang seharusnya jadi alat negara untuk mengontrol cadangan dan produksi migas nasional, hanya menguasai tidak lebih dari 10 persen dari 275 wilayah kerja pertambangan migas.

Sejak pemberlakuan UU Migas, pemerintah hampir tiap tahun melanggar UU karena produksi minyak siap jual (lifting) sebagaimana ditetapkan UU APBN tak pernah mencapai target. Anjloknya  lifting berarti lonjakan impor dan subsidi yang membebani keuangan negara.

Tidak hanya itu. Gelombang liberalisasi juga merasuki bidang hukum di negeri ini.

Produk undang-undang yang berpihak pada kapitalisme (pro-bisnis) dan tidak pro-rakyat kecil atau wong cilik serta maraknya kasus koruptor yang dibebaskan di pengadilan atau dikenakan vonis hukuman ringan atau kejahatan-kejahatan perdata dan pidana lainnya yang menguntungkan kalangan berada (the haves) dan cenderung menghukum berat kalangan papa atau proletar (the have not) adalah fakta bahwa liberalisasi telah lama menggerogoti tiang hukum kita.

Termasuk dalam hal ini, di era saat ini, disahkannya revisi UU KPK yang dinilai melemahkan kinerja dan integritas lembaga anti-rasuah tersebut dalam memerangi korupsi sebagai musuh laten bangsa ini.

Selain itu, fakta penolakan publik terhadap draf Omnibus Law dan berbagai produk legislasi lainnya yang dinilai kelewat pro-taipan dan merugikan kaum buruh adalah realitas yang tidak bisa diremehkan dalam menakar keadilan sosial di negeri ini.

Menurut Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH dalam Sisi-Sisi Lain Hukum di Indonesia, sistem hukum modern menjadi seperti sekarang ini karena tuntutan industrialisasi yang kapitalistis akan adanya suatu tatanan normatif yang mampu mendukung pola kerjanya yang rasional. Dan, sistem normatif (baca: hukum) yang dibutuhkan oleh suatu sistem yang juga mampu memberikan rasionalitas dan prediktabilitas dalam kehidupan ekonomi.

Kita telah lama melihat terjadinya sentralisme hukum negara dan tergusurnya jenis hukum, seperti hukum adat dan kebiasaan lainnya. Kalau toh jenis-jenis hukum itu masih berlaku di sana-sini maka itu semua terjadi karena "kebaikan hati" hukum negara (by the grace of state law).

Gabungan antara moralitas dan struktur dari sistem hukum yang demikian itulah yang diwariskan kepada dunia, oleh karena sistem tersebut sudah menyebar ke seantero dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun