Mohon tunggu...
Nur Patimah
Nur Patimah Mohon Tunggu... Mahasiswa S1

NIM: 43221120052 | Program Studi: Sarjana Akuntansi | Fakultas: Ekonomi dan Bisnis | Jurusan: Akuntansi | Universitas: Universitas Mercu Buana | Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram pada Upaya Pencegahan Korupsi dan Transformasi Memimpin Diri Sendiri

21 November 2024   23:03 Diperbarui: 21 November 2024   23:03 1608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Gambar Pribadi Nur Patimah
Gambar Pribadi Nur Patimah

Gambar Pribadi Nur Patimah
Gambar Pribadi Nur Patimah

Gambar Pribadi Nur Patimah
Gambar Pribadi Nur Patimah

Gambar Pribadi Nur Patimah
Gambar Pribadi Nur Patimah

Gambar Pribadi Nur Patimah
Gambar Pribadi Nur Patimah

Gambar Pribadi Nur Patimah
Gambar Pribadi Nur Patimah

Gambar Pribadi Nur Patimah
Gambar Pribadi Nur Patimah

Gambar Pribadi Nur Patimah
Gambar Pribadi Nur Patimah

Gambar Pribadi Nur Patimah
Gambar Pribadi Nur Patimah

Gambar Pribadi Nur Patimah
Gambar Pribadi Nur Patimah

Gambar Pribadi Nur Patimah
Gambar Pribadi Nur Patimah

Gambar Pribadi Nur Patimah
Gambar Pribadi Nur Patimah

Ki Ageng Suryomentaram adalah seorang tokoh Jawa yang lahir pada 20 Mei 1892 dan wafat pada 18 Maret 1962. Beliau merupakan putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandoyo. Sebagai seorang filsuf dan pemikir, gagasannya banyak berfokus pada aspek batiniah manusia.

 Salah satu ide utama yang beliau kembangkan adalah konsep "Mencari Manusia" serta usaha untuk mencapai kebahagiaan sejati, yang disebut sebagai bedjo. Dalam rangka membantu manusia memahami dan mengolah diri serta batin, Ki Ageng Suryomentaram menciptakan enam prinsip kehidupan yang disebut sebagai "SA". 

Keenam prinsip tersebut meliputi sa-butuhne (sebutuhnya), yaitu memenuhi kebutuhan secukupnya; sa-perlune (seperlunya), yakni menyesuaikan tindakan dengan keperluan; sa-cukupe (secukupnya), yang mengajarkan untuk merasa cukup atas apa yang dimiliki; sa-benere (sebenarnya), yaitu bertindak berdasarkan kebenaran; sa-mesthine (semestinya), yakni melakukan hal yang wajar dan pantas; serta sak-penake (seenaknya), yaitu bertindak sesuai kenyamanan pribadi selama tidak melampaui batas.

Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk membantu seseorang mencapai kedamaian batin, kebijaksanaan, dan kebahagiaan sejati melalui kehidupan yang sederhana dan harmonis. Prinsip-prinsip tersebut diselaraskan dengan dua jenis rasionalitas yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram. Pertama, Rasionalitas Reflektif, yaitu menggunakan akal budi, rasa, naluri, intuisi, dan insting untuk memahami suatu keadaan. 

Kedua, Rasionalitas Akomodatif, yang berarti menyesuaikan pemikiran dan tindakan terhadap situasi tertentu. Gabungan kedua jenis rasionalitas ini menghasilkan pemahaman yang bersifat situasional, yaitu kemampuan membaca konteks dan menyesuaikan tindakan sesuai keadaan, seperti metafora pedagang dan murid sekolah yang disesuaikan dengan peran masing-masing. 

Hal ini mencerminkan kebijaksanaan yang universal, sebagaimana diungkapkan dalam ungkapan "sadoyo agami sami mawon" (semua agama itu sama), yang menekankan toleransi dan kebijaksanaan dalam kehidupan. Prinsip ini mengajarkan harmoni dalam tindakan dan hubungan antarindividu.

Selain itu, Ki Ageng Suryomentaram memperkenalkan dua bentuk rasionalitas untuk mendukung penerapan prinsip-prinsip tersebut. Yang pertama adalah Rasionalitas Reflektif, yaitu kemampuan menggunakan akal budi, rasa, naluri, intuisi, dan insting untuk memahami suatu situasi secara mendalam. 

Dengan pendekatan ini, seseorang diharapkan dapat mengevaluasi keadaan dengan bijaksana dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Kedua, beliau mengajarkan Rasionalitas Akomodatif, yang menekankan pentingnya menyesuaikan pikiran dan tindakan dengan konteks atau situasi tertentu. 

Kombinasi dari kedua rasionalitas ini menghasilkan pemahaman yang situasional, yaitu kemampuan menyesuaikan diri secara fleksibel berdasarkan kondisi yang dihadapi. Contohnya dapat dilihat dalam hubungan antara pedagang dan murid sekolah, di mana masing-masing memahami perannya sesuai konteks.

Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram juga menekankan toleransi universal, sebagaimana tercermin dalam ungkapan "sadoyo agami sami mawon" (semua agama itu sama). Ungkapan ini tidak hanya menunjukkan penghormatan terhadap perbedaan, tetapi juga menggambarkan harmoni yang bisa dicapai melalui penerimaan dan kebijaksanaan. 

Melalui kombinasi prinsip "SA" dan konsep rasionalitas, Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan cara hidup yang sederhana, seimbang, dan penuh makna, sehingga setiap individu dapat mencapai kebahagiaan sejati dalam kehidupannya.

Dalam konsep Kawruh Jiwa, Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan pentingnya "meruhi awakipun piyambak", yaitu memahami diri sendiri secara tepat, benar, dan jujur. Ketika seseorang mampu mengenali dirinya secara mendalam, ia akan lebih mudah memahami orang lain tanpa bergantung pada tempat, waktu, maupun keadaan tertentu (mboten gumantung papan, wekdal, lan kawontenan). 

Dengan kata lain, pemahaman diri yang baik menghasilkan kepribadian yang stabil dan mandiri dalam menghadapi berbagai situasi. Hal ini juga sejalan dengan konsep Trait Theories of Leadership, yang menekankan pentingnya pengenalan watak atau karakter diri sebagai dasar kepemimpinan. Seorang pemimpin yang memahami dirinya akan mampu mengarahkan dan memahami orang lain dengan lebih bijaksana.

Keseluruhan gagasan ini menunjukkan bahwa Ki Ageng Suryomentaram tidak hanya menawarkan panduan batiniah untuk kehidupan pribadi, tetapi juga nilai-nilai yang relevan dalam pengembangan karakter kepemimpinan. Melalui prinsip "SA" dan Kawruh Jiwa, manusia diajarkan untuk hidup dengan introspeksi mendalam, mengelola batin, dan bertindak dengan bijaksana tanpa terikat oleh faktor eksternal. Hal ini menjadi landasan penting dalam membangun hubungan yang harmonis dengan diri sendiri dan lingkungan.

Konsep Kawruh Jiwa atau "meruhi awakipun piyambak" (memahami diri sendiri) adalah inti dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Ketika seseorang mampu memahami dirinya secara tepat, benar, dan jujur, ia akan memiliki kesadaran penuh atas batasan, kebutuhan, serta keinginannya. Kesadaran ini mencegah individu bertindak serakah atau mengambil keuntungan yang tidak semestinya.

Pemahaman diri yang baik juga memungkinkan seseorang untuk bertindak sesuai dengan kebenaran dan tidak tergantung pada keadaan eksternal, seperti waktu, tempat, atau situasi (mboten gumantung papan, wekdal, lan kawontenan). Ini menciptakan stabilitas batin yang penting dalam memimpin diri sendiri maupun orang lain.

Mempelajari Kawruh Jiwa menurut Ki Ageng Suryomentaram dimulai dengan memahami "rasa" yang ada dalam diri kita. Rasa ini, yang menjadi inti dari kehidupan manusia, bukan hanya merujuk pada perasaan yang kasat mata, tetapi juga mencakup emosi dan dorongan yang mendorong tindakan kita sehari-hari. Setiap perbuatan manusia berawal dari rasa. 

Misalnya, rasa lapar mendorong seseorang untuk mencari makanan, rasa kantuk mendorong orang untuk tidur, dan rasa ingin memiliki sesuatu mendorong orang untuk mencari kekayaan. Dengan demikian, rasa adalah esensi dari kehidupan, karena tanpa rasa, tubuh manusia hanya menjadi tubuh mati, seperti bangkai.

Dalam pandangan Ki Ageng Suryomentaram, mempelajari diri sendiri berarti memahami rasa tersebut. Pengetahuan tentang diri sendiri disebut dengan pangawikan pribadi, yaitu proses untuk "meruhi awak piyambak" atau memahami diri sendiri dengan lebih mendalam. 

Pangawikan pribadi ini bukan hanya sebatas melihat diri secara fisik, tetapi juga menyelami batin kita, mengerti perasaan dan dorongan dalam diri kita yang sering kali tak terucapkan. Proses ini dimulai dari saat ini (saiki), di tempat ini (kene), dan dalam keadaan yang sedang kita alami (ngene). Ini adalah langkah pertama untuk menyadari siapa kita sebenarnya, dengan segala kompleksitas rasa dan keinginan yang ada dalam diri.

Rasa keinginan atau karep merupakan rasa yang paling dominan dalam diri manusia. Semua tindakan yang kita lakukan pada dasarnya dipicu oleh keinginan atau hasrat tertentu. Misalnya, seseorang mungkin berusaha keras untuk mencari uang karena adanya rasa kebutuhan atau keinginan untuk memiliki lebih banyak. 

Namun, ketika seseorang tidak mampu mengendalikan rasa atau keinginan ini, hidupnya akan terombang-ambing, mengikuti keinginan yang tak terkendali dan sering kali berakhir dengan kekecewaan atau penderitaan. Rasa ingin memiliki, berkuasa, atau dihormati, yang disebut sebagai semat, derajat, dan kramat, menjadi sumber dorongan yang kuat dalam kehidupan manusia. Banyak orang yang berusaha mencapai ketiga hal ini dengan segala cara, bahkan jika itu merugikan orang lain.

Namun, bila ambisi ini tidak tercapai, dampaknya bisa sangat besar. Gagal memenuhi keinginan tersebut dapat menimbulkan gangguan fisik atau psikologis. Misalnya, seseorang yang gagal mencapai status sosial yang tinggi atau kekayaan yang diinginkan bisa merasakan stres berat atau depresi, bahkan bisa mengarah pada gangguan mental yang lebih serius.

Dengan kata lain, jika kita tidak bisa mengendalikan hasrat dan keinginan, kita berisiko kehilangan kendali atas diri kita sendiri. Maka, pengendalian karep sangat penting agar kita tidak terjerumus dalam tindakan yang hanya mementingkan kepuasan diri tanpa memperhatikan akibatnya.

Proses mengenali dan mengendalikan rasa serta keinginan ini, menurut Ki Ageng Suryomentaram, adalah inti dari pangawikan pribadi yang mendalam. Dengan memahami dan mengendalikan rasa, kita tidak hanya mengenal diri kita sendiri lebih baik, tetapi juga mampu menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan penuh makna, jauh dari godaan nafsu yang merugikan.

Konsep "Enam SA" dan "pangawikan pribadi" saling terkait erat. Pangawikan pribadi adalah proses memahami diri sendiri secara mendalam, termasuk mengenali sifat, karakter, dan keinginan-keinginan kita. Dengan memahami diri sendiri, kita dapat mengendalikan keinginan-keinginan yang tidak perlu dan hidup sesuai dengan nilai-nilai yang kita yakini.

Enam SA berperan sebagai pedoman dalam mengendalikan keinginan-keinginan tersebut. Prinsip-prinsip seperti "sebutuhnya", "seperlunya", dan "secukupnya" mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam keinginan materi yang berlebihan. Sedangkan prinsip "sebenarnya", "semestinya", dan "seenaknya" membantu kita untuk hidup lebih jujur, bertanggung jawab, dan sesuai dengan kodrat kita.

Dengan kata lain, pangawikan pribadi menjadi landasan untuk menerapkan "Enam SA" dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita sudah memahami diri sendiri, kita akan lebih mudah mengenali mana keinginan yang sebenarnya perlu dan mana yang hanya sekedar nafsu belaka.

Tiga Kategori Keinginan Menurut Ki Ageng Suryomentaram

Ki Ageng Suryomentaram membagi keinginan manusia menjadi tiga kategori utama:

  1. Semat: Keinginan yang berkaitan dengan kenikmatan fisik dan indra. Contohnya: keinginan akan makanan enak, minuman segar, atau kenikmatan seksual. Keinginan semat ini bersifat sementara dan tidak dapat memuaskan kita secara jangka panjang.
  2. Derajat: Keinginan akan status sosial, kekuasaan, dan pengakuan dari orang lain. Contohnya: keinginan untuk menjadi orang kaya, terkenal, atau memiliki jabatan tinggi. Keinginan derajat ini seringkali mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji demi mencapai tujuannya.
  3. Kramat: Keinginan untuk dianggap sakral, istimewa, atau memiliki kekuatan supranatural. Contohnya: keinginan untuk menjadi dukun, paranormal, atau memiliki kemampuan magis. Keinginan kramat ini seringkali dikaitkan dengan kepercayaan terhadap hal-hal gaib.

Dalam kehidupan, manusia sering kali terjebak dalam dinamika keinginan yang terus berubah, yang dapat digambarkan melalui konsep "mulur" dan "mungkret". Mulur menggambarkan situasi di mana seseorang mengalami peningkatan keinginan dan ambisi. 

Ketika seseorang mencapai suatu jabatan, kekuasaan, atau kepuasan tertentu, keinginan itu cenderung terus bertambah tanpa batas, bahkan sering kali disertai rasa serakah. Misalnya, seseorang yang mendapatkan jabatan tinggi mungkin merasa puas sesaat, tetapi tidak lama kemudian ia ingin mencapai kedudukan yang lebih tinggi lagi. 

Sebaliknya, mungkret menggambarkan kondisi di mana keinginan seseorang menyusut akibat kegagalan dalam mencapai harapannya. Ketika ambisi tidak tercapai, seseorang dapat merasa kecewa, putus asa, bahkan frustasi. Kedua situasi ini menunjukkan betapa fluktuatifnya keinginan manusia dan betapa rapuhnya kebahagiaan yang bergantung pada pencapaian materi atau status.

Konsep mulur dan mungkret mengajarkan bahwa segala hal dalam hidup ini bersifat sementara. Baik kesuksesan yang membawa kebanggaan maupun kegagalan yang menimbulkan rasa kecewa adalah pengalaman yang tidak kekal. Oleh karena itu, penting bagi manusia untuk memiliki kesadaran bahwa apa pun yang mereka kejar di dunia ini hanyalah bagian dari proses hidup yang terus berubah. 

Kesadaran ini dapat membantu seseorang menerima situasi apa pun dengan bijaksana, baik dalam keadaan "mulur" saat berhasil maupun "mungkret" saat gagal. Dengan memahami sifat sementara dari segala sesuatu, manusia dapat mencegah diri dari terjebak dalam ambisi yang tidak sehat atau rasa putus asa yang merusak.

Untuk menghadapi dinamika ini, konsep 6 SA versi Ki Ageng Suryomentaram menawarkan panduan praktis dalam mengelola keinginan dan perasaan. Prinsip Sa-butuhne (sebutuhnya) mengajarkan seseorang untuk hanya mengejar apa yang benar-benar dibutuhkan, sehingga mencegah sikap berlebihan dalam memenuhi ambisi. Sa-perlune (seperlunya) membantu manusia bertindak sesuai keperluan tanpa melampaui batas wajar.

Prinsip ini sangat relevan dalam mencegah keinginan yang terus "mulur." Selanjutnya, Sa-cukupe (secukupnya) mengajarkan rasa syukur atas apa yang dimiliki, sehingga seseorang tidak mudah merasa kekurangan meskipun menghadapi kegagalan. Sementara itu, Sa-benere (sebenarnya) mengingatkan pentingnya bertindak sesuai dengan nilai-nilai kebenaran, yang melindungi seseorang dari tindakan melampaui batas demi ambisi pribadi. 

Prinsip Sa-mesthine (semestinya) membantu manusia menerima situasi hidup sebagaimana adanya, baik dalam keberhasilan maupun kegagalan, sebagai bagian dari perjalanan hidup yang wajar. Terakhir, Sak-penake (seenaknya) memberikan ruang bagi manusia untuk menemukan kenyamanan dalam hidup tanpa melanggar norma atau aturan.

Dalam menghadapi situasi "mulur" atau "mungkret," manusia juga membutuhkan olah rasa dan kemampuan adaptasi diri. Olah rasa adalah kemampuan untuk menyadari dan mengelola perasaan, baik saat berada di puncak keberhasilan maupun di titik kegagalan. Kemampuan ini membantu seseorang tetap tenang dan tidak terbawa oleh rasa serakah saat sukses atau rasa putus asa saat gagal. 

Sedangkan adaptasi diri adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan situasi dan menerima kenyataan hidup tanpa kehilangan keseimbangan batin. Olah rasa juga mengajarkan bahwa semua manusia memiliki pengalaman emosi yang serupa dalam menghadapi keberhasilan maupun kegagalan. Rasa bahagia atau kecewa adalah bagian dari kehidupan yang universal, sehingga manusia seharusnya tidak merasa sendirian dalam menghadapi tantangan.

konsep mulur dan mungkret mengingatkan manusia akan sifat sementara dari segala hal dalam hidup. Dengan menerapkan prinsip 6 SA, manusia dapat menemukan keseimbangan dalam mengelola keinginan dan perasaannya. 

Olah rasa dan adaptasi diri memperkuat kemampuan seseorang untuk menerima keadaan hidup dengan bijaksana, baik saat menghadapi keberhasilan maupun kegagalan. Hal ini tidak hanya mencegah manusia terjebak dalam ambisi yang berlebihan atau rasa kecewa yang mendalam, tetapi juga membantu mereka menjalani hidup dengan lebih harmonis dan bermakna

Manusia sering kali dihadapkan pada godaan sifat buruk yang berakar dari kelemahan batin, seperti meri (iri hati), pambegan (sombong), getun (kecewa pada keadaan yang terjadi), dan sumelang (kekhawatiran terhadap hal yang belum terjadi). Sifat-sifat ini adalah hambatan utama dalam mencapai ketenangan batin dan menjadi pemimpin yang bijaksana, karena mereka melukai hati dan mengarahkan manusia pada kesengsaraan batin. 

Ketika seseorang terjebak dalam iri hati, ia sulit bersyukur atas apa yang dimilikinya dan cenderung ingin merebut hak orang lain. Sombong menyebabkan manusia mengabaikan nilai-nilai moral demi memuaskan egonya, sementara kekecewaan dan kekhawatiran menciptakan rasa gelisah yang terus-menerus, mengganggu pikiran dan tindakan.

Akibat dari sifat buruk ini adalah munculnya raos tatu (rasa luka) dalam diri, yang merujuk pada ketidakpuasan, ketidakbahagiaan, atau bahkan penderitaan. Jika tidak dikelola, sifat-sifat ini dapat membawa ciloko peduwung (celaka yang berkelanjutan), di mana manusia terus-menerus berada dalam lingkaran konflik batin, membuat keputusan yang buruk, dan merusak relasi sosial. Untuk mengatasi hal ini, manusia perlu mengembangkan sikap tabah, yang merupakan nilai kebajikan serupa dengan Stoicisme, di mana seseorang menerima kenyataan tanpa keluhan, mengendalikan keinginan berlebihan, dan tidak terjebak dalam ketakutan akan masa depan atau kekecewaan atas masa lalu.

Ki Ageng Suryomentaram melalui ajarannya tentang 6 SA menawarkan panduan praktis untuk mencegah sifat buruk tersebut dan mengelola diri menuju transformasi yang lebih baik, terutama dalam konteks kepemimpinan dan pencegahan korupsi:

  1. Sa-butuhne (sebutuhnya): Prinsip ini membantu manusia untuk hanya mengejar apa yang benar-benar dibutuhkan, sehingga mencegah munculnya sifat meri (iri hati) karena manusia tidak akan terobsesi pada kepemilikan atau kelebihan orang lain.
  2. Sa-perlune (seperlunya): Dengan prinsip ini, manusia diajarkan untuk bersikap wajar dan tidak melampaui batas dalam mengejar sesuatu. Ini dapat mencegah pambegan (sombong) karena manusia memahami bahwa tindakan atau status berlebihan tidak memiliki makna hakiki.
  3. Sa-cukupe (secukupnya): Prinsip ini mengajarkan rasa cukup dan syukur, sehingga manusia tidak mudah merasa getun (kecewa) pada keadaan yang tidak sesuai harapannya. Dengan rasa cukup, seseorang dapat menerima kenyataan hidup tanpa terlalu terikat pada hasil.
  4. Sa-benere (sebenarnya): Prinsip ini membantu manusia untuk selalu bertindak sesuai kebenaran, bukan dengan motif iri hati atau kesombongan. Ketika manusia memahami hakikat kebenaran, ia mampu menilai situasi tanpa kemelekatan yang merusak.
  5. Sa-mesthine (semestinya): Prinsip ini mengajarkan penerimaan terhadap apa yang sudah semestinya terjadi. Ini relevan dalam mengatasi sumelang (kekhawatiran) karena manusia memahami bahwa banyak hal di luar kendalinya dan hanya perlu dilakukan yang terbaik sesuai kapasitas.
  6. Sak-penake (seenaknya): Dengan prinsip ini, manusia diajarkan untuk menjalani hidup dengan sederhana dan nyaman tanpa menambah beban yang tidak perlu, sehingga batin tetap tenang, bebas dari kekhawatiran atau penyesalan yang berlebihan.

Ajaran "Meruhi Gagasane Dewe" dalam kebatinan Ki Ageng Suryomentaram menekankan pentingnya memahami pikiran dan perasaan sendiri dengan jernih. Melalui kesadaran ini, manusia mampu memisahkan keinginannya dari realitas, tanpa terjebak dalam kemelekatan pada jabatan, status, atau pencapaian duniawi.

 Konsep ini sejalan dengan gagasan "menungso tanpo tenger" (manusia tanpa ciri), yang berarti seseorang tidak lagi terikat pada label, status, atau ego pribadi. Dalam konteks ini, manusia memimpin dirinya sendiri dengan rendah hati, tanpa ambisi yang merugikan orang lain atau sikap sombong yang memisahkan dirinya dari sesama.

Ketika seseorang mampu memahami pikirannya sendiri, ia tidak akan terjerat dalam sifat buruk seperti iri hati, sombong, kecewa, atau khawatir. Sebaliknya, ia menjadi individu yang mampu mengelola dirinya dengan bijaksana, tidak mudah tergoda oleh godaan korupsi atau keputusan yang melanggar nilai-nilai moral.

Dalam kaitannya dengan pencegahan korupsi, ajaran ini relevan untuk membentuk pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab. Korupsi sering kali bermula dari sifat buruk seperti iri hati terhadap kekayaan orang lain, kesombongan akan jabatan, atau kekhawatiran berlebihan tentang masa depan yang mendorong seseorang untuk mengambil jalan pintas. 

Prinsip 6 SA membantu seseorang menemukan keseimbangan batin sehingga ia tidak mudah tergoda untuk melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Sebagai upaya transformasi diri, pengendalian sifat buruk melalui olah rasa dan penerapan prinsip 6 SA membantu manusia menjadi pemimpin yang mampu menata dirinya sebelum memimpin orang lain. Dengan memahami bahwa semua sifat buruk bersumber dari ketidakseimbangan batin, seseorang yang menerapkan ajaran ini dapat menjadi pemimpin yang adil, bijaksana, dan bebas dari godaan korupsi.

Mawas diri adalah inti dari pengendalian diri dan pengembangan karakter dalam ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Proses ini mencakup tiga tahapan utama: nyowong karep (mengosongkan keinginan), memandu karep (mengarahkan keinginan), dan membebaskan karep (melepas keinginan). Konsep ini mengajarkan manusia untuk mengenali, mengelola, dan pada akhirnya melepaskan diri dari keinginan-keinginan yang mengikat, sehingga mampu mencapai kebahagiaan sejati dan kepemimpinan yang bebas dari ego.

  1. Nyowong Karep (Mengosongkan Keinginan)
    Tahap pertama ini menekankan pada usaha mengenali keinginan dalam diri. "Karep" (keinginan) sering kali menjadi akar dari konflik batin, seperti rasa iri, sombong, kecewa, dan khawatir. Dalam proses nyowong karep, manusia diajak untuk mengosongkan pikiran dari obsesi terhadap pencapaian material atau ambisi pribadi. Ini bukan berarti meniadakan kebutuhan dasar, tetapi lebih kepada mengurangi keinginan yang tidak perlu, yang sering kali hanya memperberat batin. Dalam konteks 6 SA, prinsip sa-butuhne (sebutuhnya) dan sa-perlune (seperlunya) membantu manusia untuk membedakan antara kebutuhan nyata dan keinginan berlebihan.
  2. Memandu Karep (Mengarahkan Keinginan)
    Setelah mengenali dan mengosongkan keinginan yang tidak perlu, langkah berikutnya adalah memandu karep, yaitu mengarahkan keinginan pada hal-hal yang bermakna dan sesuai dengan kebenaran. Dalam tahap ini, manusia belajar memanfaatkan keinginannya untuk tujuan yang selaras dengan nilai moral dan manfaat bagi sesama. Prinsip sa-benere (sebenarnya) dan sa-mesthine (semestinya) relevan dalam proses ini, karena manusia diajak untuk bertindak sesuai kebenaran dan hukum alam, tanpa memaksakan kehendak yang bertentangan dengan kenyataan.
  3. Membebaskan Karep (Melepas Keinginan)
    Tahap terakhir adalah membebaskan karep, yang berarti melepaskan diri dari keterikatan pada keinginan. Ini tidak hanya mengacu pada keinginan material, tetapi juga pada ego, ambisi, dan rasa keterpaksaan yang mengendalikan diri. Dalam kebatinan Ki Ageng Suryomentaram, ini berkaitan dengan meruhi gagasane dewe (memahami pikiran sendiri), di mana manusia menyadari bahwa semua keinginan hanyalah sementara dan tidak seharusnya menjadi pusat kebahagiaan. Dengan membebaskan karep, manusia mencapai kebebasan batin, hidup tanpa kemelekatan, dan mampu menjalani kehidupan dengan sederhana, sesuai dengan prinsip sak-penake (seenaknya).

Proses nyowong karep, memandu karep, dan membebaskan karep menjadi relevan dalam konteks pencegahan korupsi dan transformasi kepemimpinan. Korupsi sering kali berakar dari keinginan berlebihan---baik itu harta, jabatan, atau kekuasaan---yang tidak terkontrol. Dengan nyowong karep, seorang pemimpin mampu mengenali bahwa keinginannya sering kali bersifat sementara dan tidak seharusnya mendominasi tindakan. 

Selanjutnya, memandu karep memungkinkan seorang pemimpin untuk mengarahkan aspirasinya ke arah yang positif, seperti pengabdian kepada masyarakat dan upaya menciptakan kesejahteraan bersama. Pada akhirnya, membebaskan karep membantu seorang pemimpin untuk tidak terikat pada ego atau ambisi pribadi, sehingga ia dapat memimpin dengan integritas, keadilan, dan kebijaksanaan.

Ajaran ini juga membantu individu mengelola sifat buruk, seperti iri hati, sombong, kecewa, dan khawatir, yang menjadi penghalang utama dalam membangun kepemimpinan yang kuat dan berkarakter. Dengan membebaskan diri dari keterikatan pada "karep", manusia mampu menjadi "menungso tanpo tenger", yaitu manusia yang tidak terikat pada status, ego, atau keinginan material, melainkan memimpin dirinya sendiri dengan kesadaran penuh.

Ajaran Ki Ageng Suryomentaram, terutama melalui konsep "6 SA" dan "Kawruh Jiwa," menawarkan nilai-nilai yang sangat relevan dalam menghadapi tantangan kehidupan modern. Prinsip-prinsip yang diajarkan oleh beliau tidak hanya menjadi panduan praktis dalam menjalani kehidupan sehari-hari, tetapi juga memberikan kerangka berpikir yang mendalam untuk membangun karakter, kepemimpinan, serta budaya yang bebas dari korupsi.

Pertama, ajaran ini menyediakan panduan praktis untuk menghadapi kompleksitas kehidupan modern. Konsep "6 SA," yang mencakup enam aspek utama dalam kehidupan manusia, memberikan pedoman untuk mengelola keinginan, emosi, dan tindakan. Dalam situasi yang penuh tekanan dan godaan, memahami dan menerapkan prinsip ini dapat membantu seseorang mengambil keputusan dengan bijak dan bertanggung jawab.

Lebih jauh, ajaran Ki Ageng Suryomentaram menekankan pentingnya pembentukan karakter. Dengan memahami diri sendiri dan mengendalikan keinginan melalui konsep "nyowong karep" (memanusiakan keinginan) dan "memandu karep" (mengarahkan keinginan), individu dapat mengembangkan sifat jujur, rendah hati, dan bertanggung jawab. Karakter semacam ini menjadi fondasi penting dalam membangun integritas pribadi maupun sosial.

Konsep-konsep tersebut juga memiliki relevansi yang tinggi dalam pencegahan korupsi. Korupsi sering kali berakar pada keinginan yang tidak terkendali dan pemuasan ego. Dengan memahami akar dari dorongan-dorongan negatif ini, seseorang dapat membangun kesadaran untuk menghindari tindakan yang merugikan orang lain. Dalam konteks organisasi dan pemerintahan, penerapan ajaran ini dapat menciptakan sistem yang lebih transparan dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan.

Ajaran Ki Ageng Suryomentaram juga memberikan kontribusi besar dalam membangun kepemimpinan yang berintegritas. Pemimpin yang mampu mengenali dan mengendalikan emosinya serta bertindak berdasarkan nilai-nilai moral cenderung lebih bijaksana dalam pengambilan keputusan. Pemimpin semacam ini tidak hanya mampu memotivasi orang-orang di sekitarnya, tetapi juga menjadi teladan dalam membangun kepercayaan dan kolaborasi.

Selain itu, ajaran ini memberikan solusi untuk mencapai keseimbangan hidup. Dalam era modern yang sering kali penuh dengan tuntutan dan tekanan, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan nilai-nilai luhur dapat membantu individu menemukan kebahagiaan dan ketenangan batin. Praktik ini memungkinkan seseorang untuk hidup lebih harmonis dengan dirinya sendiri dan lingkungannya.

Meskipun berakar dari budaya Jawa, ajaran Ki Ageng Suryomentaram memiliki nilai-nilai universal yang relevan di berbagai budaya dan agama. Nilai-nilai ini menekankan aspek kemanusiaan yang dapat diterapkan oleh siapa saja tanpa memandang latar belakang. Dengan demikian, ajaran ini memiliki potensi untuk menyatukan perbedaan dan memperkuat solidaritas di tengah keberagaman masyarakat modern.

Secara lebih luas, ajaran ini berkontribusi pada pembentukan karakter bangsa yang berintegritas dan saling menghormati. Dengan menanamkan nilai-nilai luhur yang diajarkan Ki Ageng Suryomentaram, bangsa Indonesia dapat mewujudkan masyarakat yang lebih jujur dan bebas dari korupsi. Selain itu, penerapan prinsip-prinsip tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup individu dengan membantu mereka menemukan kesejahteraan batin dan makna hidup yang lebih dalam.

Pelestarian ajaran Ki Ageng Suryomentaram juga menjadi langkah penting dalam menjaga warisan budaya yang sarat dengan kearifan lokal. Dalam era globalisasi, nilai-nilai ini dapat terus dikembangkan agar tetap relevan dengan perubahan zaman. Dengan demikian, ajaran beliau tidak hanya menjadi warisan, tetapi juga solusi bagi tantangan kehidupan modern.

Dalam konteks kepemimpinan dan pencegahan korupsi, ajaran Ki Ageng Suryomentaram menjadi inspirasi untuk menciptakan individu dan masyarakat yang berintegritas, harmonis, dan berkontribusi positif terhadap kemajuan bangsa. Ajaran ini mengingatkan kita bahwa perubahan besar dimulai dari perubahan diri, dan pemimpin sejati adalah mereka yang mampu memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain.

Ajaran Ki Ageng Suryomentaram dalam konteks kebatinan mengajarkan konsep-konsep penting yang tidak hanya berfokus pada pengendalian diri pribadi, tetapi juga pada transformasi kepemimpinan yang lebih baik serta pencegahan perilaku koruptif. Tiga konsep utama dalam ajaran beliau yang perlu dicermati adalah Pangawikan Pribadi, Mulur, dan Mungkret. Ketiganya memiliki relevansi yang sangat tinggi dalam menciptakan individu dan pemimpin yang berintegritas serta mampu menciptakan perubahan positif di masyarakat.

1. Pangawikan Pribadi: Menemukan Kesadaran Diri yang Mendalam

Pangawikan Pribadi merujuk pada proses pengenalan dan pemahaman diri secara mendalam. Dalam ajaran Ki Ageng Suryomentaram, kesadaran diri adalah dasar dari segala tindakan yang benar dan bijaksana. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang siapa diri kita, keinginan dan emosi kita akan lebih mudah dikendalikan oleh nafsu dan ego.

Relevansi dalam Pencegahan Korupsi:
Pengenalan terhadap diri sendiri membantu seseorang menyadari dorongan-dorongan negatif yang bisa menyebabkan perilaku korupsi. Seseorang yang memahami kelemahannya dan pengendalian diri yang dimilikinya akan lebih mampu menahan godaan untuk bertindak demi kepentingan pribadi yang merugikan orang lain. Pemimpin yang memiliki Pangawikan Pribadi cenderung lebih adil dan objektif dalam mengambil keputusan, tidak terbawa oleh kepentingan pribadi atau tekanan dari luar.

Implementasi:

  • Refleksi diri secara berkala: Melakukan evaluasi diri untuk melihat apakah kita bertindak berdasarkan prinsip atau hanya berdasarkan keinginan semata.
  • Pengembangan karakter: Membangun kesadaran dan kebijaksanaan melalui meditasi, diskusi, atau bimbingan spiritual untuk memperkuat pemahaman tentang diri sendiri.

2. Mulur: Mengembangkan Diri secara Bertahap dan Tidak Terburu-Buru

Mulur dalam kebatinan Ki Ageng Suryomentaram berarti mengembangkan diri secara bertahap dan tidak terburu-buru dalam mencapai tujuan. Konsep ini mengajarkan bahwa segala hal membutuhkan proses dan waktu untuk berkembang dengan baik. Terlalu terburu-buru dapat membawa seseorang pada tindakan yang tidak bijaksana, atau bahkan pada tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Relevansi dalam Pencegahan Korupsi:
Mulur membantu menghindari sikap serakah atau terburu-buru dalam meraih kekuasaan atau materi. Dalam konteks pencegahan korupsi, konsep ini mengingatkan kita bahwa kesuksesan dan pencapaian yang instan sering kali disertai dengan risiko dan ketidaksustasian. 

Proses yang panjang dan penuh pertimbangan cenderung lebih stabil dan membawa hasil yang lebih jujur dan bertanggung jawab. Pemimpin yang menjalankan Mulur tidak terburu-buru mengambil keputusan, melainkan memperhitungkan dampaknya secara mendalam.

Implementasi:

  • Pendekatan bertahap dalam karier atau organisasi: Menghindari keinginan untuk memperoleh jabatan atau kekayaan dengan cara yang tidak jujur.
  • Kesabaran dalam kepemimpinan: Pemimpin yang mengutamakan proses dan pertimbangan yang matang akan menghindari tindakan gegabah dan lebih bijaksana dalam setiap keputusan.

3. Mungkret: Mengatasi dan Menjaga Diri dari Penyimpangan

Mungkret mengajarkan untuk menahan diri dari penyimpangan atau kemerosotan moral. Mungkret bukan hanya tentang menghindari hal-hal negatif, tetapi juga tentang menjaga agar tindakan kita tetap berada pada jalur yang benar, tidak terpengaruh oleh dorongan-dorongan sesaat yang dapat membawa pada penyimpangan atau kerusakan.

Relevansi dalam Pencegahan Korupsi:
Mungkret sangat relevan dalam pencegahan korupsi karena mengajarkan kita untuk tidak mudah terjerumus dalam godaan, meskipun situasi atau lingkungan sekitar mengarah pada perilaku yang tidak etis. 

Dalam dunia yang penuh dengan godaan materialistis, Mungkret mengingatkan bahwa kita harus tetap berada pada jalur moral dan etis, tidak tergoda oleh keuntungan sesaat yang merugikan banyak orang. Pemimpin yang mengamalkan prinsip Mungkret adalah pemimpin yang konsisten dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi, meskipun dihadapkan pada tekanan atau tantangan besar.

Implementasi:

  • Penguatan integritas pribadi: Secara aktif memeriksa diri untuk melihat apakah tindakan kita sudah selaras dengan nilai-nilai etika yang tinggi.
  • Kepemimpinan yang berpegang teguh pada moralitas: Memimpin dengan keteladanan dan menghindari tindakan yang dapat merusak reputasi dan integritas, baik secara pribadi maupun institusional.

Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram menawarkan wawasan yang dalam mengenai pencegahan korupsi dan transformasi dalam memimpin diri sendiri, yang sangat relevan dalam konteks kehidupan modern, terutama dalam upaya membangun karakter yang kuat dan integritas pribadi. 

Ajaran beliau memberikan dasar yang kokoh bagi siapa saja yang ingin memahami cara mengelola kehidupan batin secara bijaksana, menghindari perilaku negatif seperti korupsi, serta membentuk kepemimpinan yang penuh tanggung jawab.

1. Pengendalian Keinginan (Karep) untuk Mencegah Korupsi

Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa karep (keinginan) adalah kekuatan yang menggerakkan manusia, dan jika tidak terkendali, dapat menyebabkan penderitaan serta membawa seseorang pada perilaku yang tidak etis. Dalam konteks korupsi, karep yang tidak terkelola dengan baik bisa mendorong seseorang untuk mengejar kekayaan (semat), kehormatan (derajat), dan kekuasaan (keramat) dengan cara yang tidak jujur, termasuk melalui korupsi.

Ajaran ini mengajarkan pentingnya nyawang (melihat) atau kesadaran diri terhadap keinginan kita. Seorang individu yang tidak dapat melihat dan mengendalikan karep-nya akan mudah terhanyut dalam ambisi pribadi yang mementingkan keuntungan sesaat, yang sering kali mengarah pada perilaku korup. 

Dalam hal ini, pangawikan pribadi---pengetahuan mendalam tentang diri sendiri---menjadi kunci untuk menghindari godaan-godaan duniawi yang bisa menjerumuskan seseorang pada korupsi. Dengan memahami dan mengelola karep dengan bijaksana, seseorang dapat bertindak dengan integritas dan mengutamakan kepentingan orang banyak, bukan hanya kepentingan pribadi.

2. Kepemimpinan yang Berintegritas Melalui Pengendalian Diri

Dalam ajaran Ki Ageng Suryomentaram, transformasi dalam memimpin diri sendiri dimulai dengan pemahaman mendalam tentang karep dan rasa. Seorang pemimpin yang baik harus mampu mengendalikan keinginan dan emosi pribadinya, serta bertindak dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. 

Kawruh Jiwa mengajarkan pentingnya kemampuan untuk melihat keinginan diri (nyawang karep), serta tidak membiarkan diri terjebak dalam keinginan yang bisa merusak keseimbangan batin dan moral.

Pemimpin yang bisa nyawang keinginannya dengan bijaksana akan lebih mampu membuat keputusan yang adil dan penuh pertimbangan, mengutamakan kebaikan bersama daripada kepentingan pribadi. 

Kepemimpinan seperti ini berlandaskan pada integritas, kejujuran, dan pengendalian diri yang kuat, yang merupakan cerminan dari ajaran pangawikan pribadi. Seorang pemimpin yang mengenal dirinya sendiri akan lebih cenderung untuk menghindari tindakan yang merugikan orang lain dan lebih fokus pada pencapaian tujuan yang lebih besar.

3. Menghindari Kekhawatiran yang Mendasari Korupsi

Sebagai manusia, kita seringkali terjebak dalam kekhawatiran dan ketakutan yang timbul ketika keinginan kita tidak tercapai. Kekhawatiran ini, menurut Ki Ageng Suryomentaram, bisa membawa seseorang pada perasaan tertekan, cemas, bahkan marah, yang bisa mendorong individu untuk melakukan hal-hal yang tidak etis. Dalam konteks pencegahan korupsi, kekhawatiran yang berlebihan---terutama mengenai status sosial, materi, dan kekuasaan---dapat menjadi pendorong tindakan yang menyimpang.

Namun, ajaran beliau mengajarkan bagaimana cara untuk mengelola kekhawatiran ini. Dengan mengendalikan karep dan nyawang diri secara lebih dalam, seseorang bisa mengurangi kecemasan yang tidak perlu dan lebih fokus pada tujuan hidup yang lebih mulia. 

Pemimpin yang tidak terperangkap dalam kekhawatiran tentang kedudukan atau harta benda akan lebih mampu bertindak dengan keadilan dan keseimbangan, serta tidak mudah tergoda untuk melakukan korupsi.

4. Pentingnya Keseimbangan Batin dalam Kepemimpinan

Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram juga mengajarkan tentang pentingnya keseimbangan batin dalam menjalani kehidupan. Kepemimpinan yang sukses tidak hanya bergantung pada kecakapan teknis atau kekuatan fisik, tetapi juga pada kemampuan untuk menjaga keseimbangan batin. Pemimpin yang mampu mengendalikan dirinya sendiri, yang tidak terbawa oleh keinginan pribadi yang tak terkendali, akan lebih mampu memimpin dengan bijaksana, menciptakan lingkungan yang harmonis, dan menghindari kesalahan moral, termasuk korupsi.

Dengan mempraktikkan ajaran pangawikan pribadi dan kawruh jiwa, seorang pemimpin dapat membentuk karakter yang kokoh, yang tidak mudah terpengaruh oleh godaan duniawi. Pemimpin seperti ini tidak akan memperjualbelikan integritasnya untuk keuntungan pribadi, dan akan berfokus pada kepentingan bersama, serta memberi contoh yang baik bagi masyarakat.

Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram sangat relevan dalam pencegahan korupsi dan transformasi dalam memimpin diri sendiri, karena ajaran-ajaran beliau menekankan pada pengendalian batin dan kesadaran diri yang mendalam. Salah satu aspek penting dalam ajaran beliau adalah pengelolaan karep atau keinginan. 

Keinginan manusia, jika tidak dikelola dengan bijaksana, dapat berkembang menjadi ambisi yang tak terkendali dan akhirnya menjerumuskan pada tindakan yang tidak etis, seperti korupsi. Dalam konteks ini, pangawikan pribadi menjadi kunci utama untuk mengenali dan mengendalikan keinginan diri yang mungkin tidak sehat, yang dapat menyebabkan ketamakan, keserakahan, dan tindakan yang merugikan orang lain.

Keinginan yang tidak terkendali ini sering kali muncul dalam bentuk semat (kekayaan), derajat (kehormatan), dan keramat (kekuasaan). Dalam ajaran Ki Ageng Suryomentaram, keinginan untuk mengejar harta, status, atau kekuasaan tanpa kontrol dapat menurunkan moralitas seseorang. Pemimpin yang terjebak dalam karep untuk mendapatkan semat atau derajat lebih tinggi, misalnya, akan cenderung mengabaikan etika dan integritas, bahkan melakukan praktik korupsi demi memenuhi ambisinya.

Untuk itu, dalam ajaran beliau, sangat penting bagi individu, terutama pemimpin, untuk memiliki kesadaran terhadap nyawang karep---kemampuan untuk memandang dan merenungkan keinginannya dengan jernih. 

Dengan kesadaran tersebut, seseorang bisa memilih untuk tidak terjebak dalam pola pikir yang sempit, yang hanya mengedepankan kepentingan pribadi atau sesaat, dan lebih fokus pada tujuan hidup yang lebih besar dan mulia. Kawruh Jiwa juga mengajarkan pentingnya keseimbangan batin yang memungkinkan seseorang untuk tetap tenang dan bijaksana dalam menghadapi tekanan hidup atau godaan duniawi.

Pemimpin yang memahami dirinya sendiri dan mampu mengelola karep dengan bijaksana akan menjadi pemimpin yang berintegritas, yang tidak mudah tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi. 

Ia akan mengedepankan kepentingan bersama, keadilan, dan kesejahteraan rakyat, menciptakan lingkungan yang bebas dari korupsi dan penuh dengan nilai-nilai luhur yang mengedepankan kejujuran dan moralitas. Dengan demikian, ajaran Ki Ageng Suryomentaram menjadi fondasi yang kuat dalam upaya pencegahan korupsi dan transformasi dalam kepemimpinan yang baik.

Daftar Pustaka 

Zharifa, F. S., Magistravia, E. G. R., Febrianti, R. A., Jati, R. P. K. A., & Maharani, S. D. (2023). Dinamika quarter life crisis dalam perspektif kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Jurnal Filsafat Indonesia, 6(3) 

Syarifah, A. N., (2020). LAMAN JUDUL PEMIKIRAN KI AGENG SURYOMENTARAM TENTANG KAWRUH JIWA (RELEVANSINYA DENGAN KONSELING ISLAM). TESIS  "UIN WALISONGO SEMARANG.

Suryomentaram, Ajaran-Ajaran Ki Ageng Suryomentaram Jilid III. Jakarta: Inti Idayu Press, 1986 

Fikriono, Muhaji. Kawruh Jiwa Warisan Spiritual Ki Ageng Suryomentaram. Banten: Javanica. 2018. 

Bandura, A. Theories Of Personality, Sixt edition Social cognitive theory. The Mc Graw Hill companies. 2005.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun