Konsep Kawruh Jiwa atau "meruhi awakipun piyambak" (memahami diri sendiri) adalah inti dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Ketika seseorang mampu memahami dirinya secara tepat, benar, dan jujur, ia akan memiliki kesadaran penuh atas batasan, kebutuhan, serta keinginannya. Kesadaran ini mencegah individu bertindak serakah atau mengambil keuntungan yang tidak semestinya.
Pemahaman diri yang baik juga memungkinkan seseorang untuk bertindak sesuai dengan kebenaran dan tidak tergantung pada keadaan eksternal, seperti waktu, tempat, atau situasi (mboten gumantung papan, wekdal, lan kawontenan). Ini menciptakan stabilitas batin yang penting dalam memimpin diri sendiri maupun orang lain.
Mempelajari Kawruh Jiwa menurut Ki Ageng Suryomentaram dimulai dengan memahami "rasa" yang ada dalam diri kita. Rasa ini, yang menjadi inti dari kehidupan manusia, bukan hanya merujuk pada perasaan yang kasat mata, tetapi juga mencakup emosi dan dorongan yang mendorong tindakan kita sehari-hari. Setiap perbuatan manusia berawal dari rasa.Â
Misalnya, rasa lapar mendorong seseorang untuk mencari makanan, rasa kantuk mendorong orang untuk tidur, dan rasa ingin memiliki sesuatu mendorong orang untuk mencari kekayaan. Dengan demikian, rasa adalah esensi dari kehidupan, karena tanpa rasa, tubuh manusia hanya menjadi tubuh mati, seperti bangkai.
Dalam pandangan Ki Ageng Suryomentaram, mempelajari diri sendiri berarti memahami rasa tersebut. Pengetahuan tentang diri sendiri disebut dengan pangawikan pribadi, yaitu proses untuk "meruhi awak piyambak" atau memahami diri sendiri dengan lebih mendalam.Â
Pangawikan pribadi ini bukan hanya sebatas melihat diri secara fisik, tetapi juga menyelami batin kita, mengerti perasaan dan dorongan dalam diri kita yang sering kali tak terucapkan. Proses ini dimulai dari saat ini (saiki), di tempat ini (kene), dan dalam keadaan yang sedang kita alami (ngene). Ini adalah langkah pertama untuk menyadari siapa kita sebenarnya, dengan segala kompleksitas rasa dan keinginan yang ada dalam diri.
Rasa keinginan atau karep merupakan rasa yang paling dominan dalam diri manusia. Semua tindakan yang kita lakukan pada dasarnya dipicu oleh keinginan atau hasrat tertentu. Misalnya, seseorang mungkin berusaha keras untuk mencari uang karena adanya rasa kebutuhan atau keinginan untuk memiliki lebih banyak.Â
Namun, ketika seseorang tidak mampu mengendalikan rasa atau keinginan ini, hidupnya akan terombang-ambing, mengikuti keinginan yang tak terkendali dan sering kali berakhir dengan kekecewaan atau penderitaan. Rasa ingin memiliki, berkuasa, atau dihormati, yang disebut sebagai semat, derajat, dan kramat, menjadi sumber dorongan yang kuat dalam kehidupan manusia. Banyak orang yang berusaha mencapai ketiga hal ini dengan segala cara, bahkan jika itu merugikan orang lain.
Namun, bila ambisi ini tidak tercapai, dampaknya bisa sangat besar. Gagal memenuhi keinginan tersebut dapat menimbulkan gangguan fisik atau psikologis. Misalnya, seseorang yang gagal mencapai status sosial yang tinggi atau kekayaan yang diinginkan bisa merasakan stres berat atau depresi, bahkan bisa mengarah pada gangguan mental yang lebih serius.
Dengan kata lain, jika kita tidak bisa mengendalikan hasrat dan keinginan, kita berisiko kehilangan kendali atas diri kita sendiri. Maka, pengendalian karep sangat penting agar kita tidak terjerumus dalam tindakan yang hanya mementingkan kepuasan diri tanpa memperhatikan akibatnya.
Proses mengenali dan mengendalikan rasa serta keinginan ini, menurut Ki Ageng Suryomentaram, adalah inti dari pangawikan pribadi yang mendalam. Dengan memahami dan mengendalikan rasa, kita tidak hanya mengenal diri kita sendiri lebih baik, tetapi juga mampu menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan penuh makna, jauh dari godaan nafsu yang merugikan.