Di dunia yang ditandai oleh ketimpangan struktural dan dominasi modal, keberadaan BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) menghadirkan dinamika baru dalam tatanan global. Forum ini semakin berkembang dengan keterlibatan negara-negara Global South lainnya dan kini kian menunjukkan bahwa sistem dunia yang selama ini dikendalikan oleh pusat-pusat kapitalisme global mulai menghadapi resistensi kolektif. Namun, apa sesungguhnya makna BRICS jika dibaca melalui kacamata Karl Marx?
Kapitalisme Global dan Logika Akumulasi
Marx menyebut bahwa hukum utama kapitalisme adalah akumulasi tanpa henti. Dalam Das Kapital (Vol.1), ia menulis: "Accumulate, accumulate! That is Moses and the prophets!" Akumulasi kapital bukan hanya ciri ekonomi, tetapi nadi ideologis sistem dunia modern. Negara-negara kapitalis besar membangun struktur internasional yang menopang siklus ini mulai dari perdagangan bebas yang timpang, sistem pinjaman global, hingga dominasi mata uang tertentu.
Dan BRICS muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi tersebut. Mereka menantang struktur Bretton Woods yang melahirkan institusi-institusi seperti IMF dan Bank Dunia, yang selama puluhan tahun menjadi alat hegemonik negara-negara pusat dalam mengendalikan negara pinggiran.
Negara Semi-Pinggiran yang Bangkit
Dalam teori sistem dunia Immanuel Wallerstein yang masih satu garis dengan analisis Marxian menyebut bahwa negara-negara dibagi menjadi tiga bagian yaitu: pusat, semi-pinggiran, dan pinggiran. BRICS merupakan kumpulan negara semi-pinggiran itu sendiri yang memiliki kapasitas untuk menantang tatanan global namun masih rentan terhadap intervensi kapital global. Mereka bukan proletariat global dalam pengertian klasik, tetapi adalah agen perubahan dalam medan pertarungan kapital dan kontrol nilai lebih.
Dengan membentuk institusi finansial alternatif seperti New Development Bank dan mendorong penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan, BRICS menciptakan celah dalam sistem nilai global yang selama ini ditentukan oleh dolar AS. Ini bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan bentuk perjuangan ideologis melawan sentralisasi kapital.
Hegemoni AS dan Taktik Defensif
Tatkala Amerika Serikat merespon dengan ancaman tarif tambahan 10% bagi Negra-negara BRICS dapat dibaca sebagai reaksi borjuis global terhadap upaya redistribusi kekuatan. Kebijakan tarif, sanksi ekonomi, hingga narasi ancaman keamanan, semuanya merupakan bentuk "pertahanan kelas" dalam skala global. Dengan kata lain jika borjuasi nasional akan mempertahankan kepemilikannya atas alat produksi melalui hukum dan represi, maka borjuasi global melakukannya lewat regulasi dagang internasional dan kontrol finansial.
Dalam konteks ini, BRICS bukan sekadar kerjasama ekonomi antar negara selatan. Ia adalah bentuk perlawanan kolektif terhadap tatanan produksi dan distribusi nilai yang eksploitatif. Ini dapat dimaknai sebuah pertarungan ideologi yang samar, tetapi sangat nyata.
Solidaritas atau Reproduksi Kuasa Baru?
Namun Marx juga mengingatkan: tidak semua yang menentang kapitalisme akan bebas dari logikanya. Tantangan BRICS ke depan adalah memastikan bahwa resistensi terhadap dominasi kapitalisme Barat tidak menjelma menjadi bentuk dominasi baru. Risiko reproduksi kuasa oleh elite baru tetap terbuka, apalagi ketika internal BRICS masih sarat dengan kontradiksi politik dan ketimpangan domestik.
Pertanyaannya bukan hanya apakah BRICS bisa menyaingi Barat, tetapi apakah ia mampu menciptakan tatanan alternatif yang lebih adil, lebih egaliter, dan bebas dari logika akumulasi yang eksploitatif. Tanpa transformasi mendasar, BRICS bisa menjadi kekuatan baru yang tetap bermain dalam aturan lama.
Posisi Indonesia: Di Simpang Jalan Global
Sebagai salah satu negara yang telah berstatus keanggotaan penuh BRICS, posisi Indonesia cukup strategis. Secara historis, Indonesia memiliki tradisi politik luar negeri yang bebas aktif dan merupakan motor awal gerakan negara-negara Non-Blok. Dalam konteks BRICS, Indonesia bisa memainkan peran sebagai penghubung antara negara-negara semi-pinggiran dan negara pinggiran lain yang masih terjebak dalam lingkaran utang dan dominasi perdagangan global.
Indonesia juga memiliki keunggulan demografis, kekayaan sumber daya alam, serta posisi geografis yang strategis. Namun lebih dari itu, Indonesia membawa sejarah panjang solidaritas global yang berbasis pada  keadilan sosial. Jika dikelola dengan visi politik yang kuat dan progresif, kehadiran Indonesia dalam BRICS dapat menjadi katalisator bagi terbentuknya poros Global South yang tidak hanya menantang Barat, tetapi juga menolak bentuk baru imperialisme yang terselubung.
Namun Indonesia juga harus waspada. Tanpa posisi tawar ideologis yang jelas, keterlibatan dalam BRICS bisa berubah menjadi sekadar manuver pragmatis yang memperkuat elite, bukan rakyat. Maka tugas Indonesia adalah memastikan bahwa suara Global South bukan hanya terdengar, tetapi juga memuat kepentingan kelas pekerja, petani, dan rakyat kecil di seluruh dunia.
Harapan dari Selatan
Membaca BRICS dengan kacamata Marx berarti melihatnya bukan hanya sebagai blok geopolitik, tetapi sebagai arena pertempuran kelas dalam skala global. Ini adalah momentum di mana negara-negara semi-pinggiran mulai menyuarakan ketimpangan dalam sistem produksi dan distribusi global.
Jika mereka berhasil memperkuat solidaritas global selatan tanpa terjebak dalam logika dominasi baru, maka BRICS bisa menjadi alat emansipasi. Tetapi jika tidak, maka Marx akan tetap benar: sejarah memang bergerak lewat konflik, tetapi tak selalu menuju keadilan.
Dan di tengah semua itu, suara Indonesia menjadi penting bukan hanya karena kekuatannya, tapi juga karena sejarahnya yang pernah memimpikan dunia tanpa blok dan tatanan dunia yang berpihak pada rakyat banyak.
Merdeka!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI