Mohon tunggu...
Nurmawan Pakaja
Nurmawan Pakaja Mohon Tunggu... Pekerja swasta

Pekerja kantoran swasta. Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca BRICS Dengan Kacamata Marx

8 Juli 2025   14:51 Diperbarui: 8 Juli 2025   18:43 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto bersama jajaran Presiden Negara-Negara BRICS
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto bersama jajaran Presiden Negara-Negara BRICS
Salah satu ilustrasi penting dari komitmen historis Indonesia terhadap tatanan dunia yang adil adalah Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung. Diprakarsai oleh Presiden Soekarno, konferensi ini mempertemukan negara-negara bekas koloni untuk menyuarakan perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan imperialisme baru. Seruan solidaritas dari Bandung yang kemudian menjadi fondasi Gerakan Non-Blok---merupakan cerminan dari semangat emansipasi global yang juga menjadi ruh BRICS hari ini.

Indonesia juga memiliki keunggulan demografis, kekayaan sumber daya alam, serta posisi geografis yang strategis. Namun lebih dari itu, Indonesia membawa sejarah panjang solidaritas global yang berbasis pada  keadilan sosial. Jika dikelola dengan visi politik yang kuat dan progresif, kehadiran Indonesia dalam BRICS dapat menjadi katalisator bagi terbentuknya poros Global South yang tidak hanya menantang Barat, tetapi juga menolak bentuk baru imperialisme yang terselubung.

Namun Indonesia juga harus waspada. Tanpa posisi tawar ideologis yang jelas, keterlibatan dalam BRICS bisa berubah menjadi sekadar manuver pragmatis yang memperkuat elite, bukan rakyat. Maka tugas Indonesia adalah memastikan bahwa suara Global South bukan hanya terdengar, tetapi juga memuat kepentingan kelas pekerja, petani, dan rakyat kecil di seluruh dunia.

Harapan dari Selatan

Membaca BRICS dengan kacamata Marx berarti melihatnya bukan hanya sebagai blok geopolitik, tetapi sebagai arena pertempuran kelas dalam skala global. Ini adalah momentum di mana negara-negara semi-pinggiran mulai menyuarakan ketimpangan dalam sistem produksi dan distribusi global.

Jika mereka berhasil memperkuat solidaritas global selatan tanpa terjebak dalam logika dominasi baru, maka BRICS bisa menjadi alat emansipasi. Tetapi jika tidak, maka Marx akan tetap benar: sejarah memang bergerak lewat konflik, tetapi tak selalu menuju keadilan.

Dan di tengah semua itu, suara Indonesia menjadi penting bukan hanya karena kekuatannya, tapi juga karena sejarahnya yang pernah memimpikan dunia tanpa blok dan tatanan dunia yang berpihak pada rakyat banyak.

Merdeka!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun