Skincare Aja Nggak Cukup: Self-Care untuk Bertahan di Era Lelah Kolektif
Oleh: Nurma Afifa
Di tengah derasnya arus informasi, self-care tak lagi sekadar rutinitas pribadi. Ia telah bertransformasi menjadi komoditas komersial yang semakin kehilangan makna asli, dengan bukti 'perawatan diri' kini diukur lewat konsumsi.
Self-care menjelma menjadi istilah populer yang identik dengan skincare, me-time, dan ritual perawatan tubuh lainnya. Di media sosial, self-care kerap kali dikemas dalam bentuk lilin aromaterapi, staycation, coffe break di tempat mewah. Namun, pemahaman ini terlalu sempit. Makna merawat diri tak sesederhana itu. Self-care direduksi menjadi aktivitas konsumtif yang mudah dipasarkan, sementara aspek yang lebih krusial---seperti kesehatan mental, regulasi emosi, dan kebutuhan akan istirahat yang sehat---justru terabaikan.
Self-care semestinya mencakup dimensi yang lebih utuh. Dalam jurnal American Psychologist, Dr. Roger Walsh (2011) menyebutkan bahwa perubahan gaya hidup terapeutik---seperti tidur cukup, olahraga rutin, hubungan sosial yang sehat, dan perhatian terhadap kondisi psikologis---berperan besar dalam meningkatkan kesejahteraan mental. Ini adalah pendekatan yang lebih mendalam dibanding sekadar rutinitas konsumtif. Self-care tidak melulu tentang memanjakan diri tetapi juga keberanian untuk memenuhi kebutuhan psikologis secara jujur.
Di tengah tekanan budaya produktivitas yang intens, penting untuk menyadari bahwa merawat diri tak cukup hanya dari penampilan luarnya. Seharusnya mencakup perawatan yang utuh: fisik, mental, dan emosional.
Self-care di Tengah Tekanan Budaya Produktif
Kita hidup di zaman di mana memaknai produktivitas menjadi status simbol yang melekat. Semakin padat pekerjaanmu, semakin bernilai hidupmu di mata orang lain. Hustle culture mendorong kita untuk selalu bergerak, bahkan ketika tubuh dan pikiran dalam keadaaan sedang tidak baik-baik saja. Saat ini, menjadi produktif bukan lagi soal pilihan, tetapi kewajiban yang tersembunyi di balik layar kehidupan. Sebuah survei dari Katadata Insight Center (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen Gen Z di Indonesia mengalami stres karena tekanan akademik dan tuntutan sosial untuk "menjadi sesuatu" secepat mungkin. Dampak dari hustle culture, seperti burnout, kecemasan, depresi, bukan lagi fenomena langka, melainkan telah menjadi bagian dari realitas kolektif.
Self-Care yang Lebih dari Sekadar Skincare
Skincare menjadi ritual simbolis dalam budaya modern. Di tengah tekanan budaya visual yang mendominasi ruang publik, standar kecantikan dan perawatan diri semakin diperkenalkan sebagai tolak ukur kesuksesan pribadi. Ia bukan lagi sekadar menjaga kebersihan kulit atau merawat diri secara fungsional, melainkan perlahan menjelma menjadi cermin di mata publik: bukan tentang kulit yang terawat, tetapi juga tentang bagaimana kita secara halus tunduk pada versi industri. Padahal, self-care tidak hanya terbatas pada penampilan luar, seperti seberapa mulus kulit wajah kita atau seberapa sehat rambut kita. Merawat diri seharusnya mencakup perawatan mental dan emosional yang jauh lebih mendalam. Mengandalkan skincare semata hanya menciptakan ilusi kesejahteraan, sementara sisi internal kita---stres, kecemasan, dan kelelahan---seringkali terabaikan.