Mohon tunggu...
Nuri Nura
Nuri Nura Mohon Tunggu... lainnya -

Ceritakan padaku tentang Ayah, hujan, pulang, buku, dan makan. Aku senang dengan semua letupan rasa yang ditimbulkannya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(MPK) Mencari Daeng

11 Juni 2011   16:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:36 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_116017" align="aligncenter" width="681" caption="tiga kursi. senja. pantai. suatu hari nanti. dari Google."][/caption]  

Nura tertawa, vodka tersisa setengah di gelasnya. Dia tertawa, menenggak seteguk, tertawa lagi.

“Nov, seharusnya gelas ini berisi teh. Teh Italia. Kau tahu,kan?”

“Kau mabuk, Nura”

“Ooooo...tidak. Ehem, belum”

“Kau terus meracau dan tertawa tak jelas begitu”

“Belum tentu mabuk, bukan?”

Nova menerawang, menghitung bintang di antara kelelahan.Telah dua hari mereka berjalan. Menelusuri keberadaan orang yang sama ingin mereka temukan. Tanpa alamat, hanya jejak-jejak samar yang direka-reka lewat beberapa tulisan yang mereka yakini kebenarannya.

“Eh, coba liat yang ini. Cerpen ini seperti peta. Kamu kenal nama-nama jalan ini, kan?” tanya Nova sambil terus menelisik beberapa kalimat di hadapannya. Nura menenggak lagi isi gelasnya, tersisa sedikit. “Nama jalannya nyata, tapi jalurnya masih kabur”. Nova menggigit tepi bibirnya. Nura kembali tertawa, lebih terdengar lelah sebenarnya. “Aku lebih khawatir lagi kalau tulisan itu ternyata reportase fiktif yang dibuat seolah-olah nyata. Dia kan ahlinya”.

Nura masih asyik dengan minumannya, sedang Nova berusaha terlelap dalam balutan kantong tidur yang membungkus tubuhnya setelah membereskan beberapa lembar kertas yang jadi rujukan perjalanan mereka nantinya. Debur ombak menghepas karang sedikit kasar. Kepak kelelewar laut yang keluar dari gua karang di sisi tempat mereka berbaring makin memunculkan resah. Nova dan Nura bukan teman yang cocok untuk berjalan berdua tanpa tujuan jelas. Mereka terbiasa hidup dengan segala keteraturan dan jadwal yang pasti.

Entah pengaruh apa yang merasuki mereka hingga senekad sekarang. Mengunjungi beberapa daerah hanya berpegang pada insting kehilangan. Nura dan Nova bukan hanya nekad tapi juga goblok. Buta membaca peta namun berniat mengunjungi tempat yang mereka anggap bisa menjadi petunjuk keberadaan orang yang sama-sama mereka cari. Cari. Bukan kata yang tepat. Buru. Cocok!

“Nur, pernah kepikiran kalau kita tidak akan bisa menemukan dia?” Nova yang sama sekali tidak bisa terpejam, melontarkan tanya pada Nura.

“Kita harus optimis, Nov! Sama seperti minuman ini. Aku sangat optimis bisa menghabiskannya dalam sekali tengguk lagi.” Nura tertawa. Jawabannya sama sekali tak membantu. Malah menambah resah pada Nova yang memang tidak terlalu suka pada minuman apapun yang membuat teler.

Bagaimana tidak resah, jika mencari orang saja mereka hanya berdua dan tidak tahu sama sekali akan kemana. Ditambah lagi dengan Nura yang lebih mementingkan minuman. Nova tahu Nura juga tak kalah kalutnya. Nova mengenal Nura seperti mengenal diri sendiri. Hanya saja, Nova sadar bahwa dia lebih pengecut dari Nura. Nura punya senjata agar lebih kuat, miuman. Nura dan minumannya tak lebih mirip dari ikan dan air. Mutlak harus selalu sejalan.

“Harusnya kau mencoba sesekali, Nov. Hidup itu indah, nikmati saja. Lagipun, ini tak akan membuatmu mati mendadak.” Nura pernah mencemooh keantian Nova pada minumannya.

“Teh Italia itu memang enak. Tapi jangan salah, minuman ini juga tak kalah mahal dan nikmat dari teh kesukaanmu itu.” Nura mengguncang-guncang minuman di gelasnya yang hampir habis.

“Terserah apa katamu, Nur. Yang jelas, itu tak cocok untukku. Bikin muntah dan panas di lidah.” Nova mengelak. Dia lebih fokus pada bacaannya. Mengulang bacaan beberapa kali pada paragraf yang dianggapnya menguatkan petunjuk arah yang akan mereka lalui nanti.

Nova ingat betul, itu percakapan mereka dua hari lalu sebelum memutuskan tersesat di pinggir pantai seperti malam ini.

***

Angin lalut menghembus agak kencang, ditariknya restleting kantong tidurnya hingga batas leher. Dingin makin menggigit.

“Kau istirahat sajalah. Sekarang biar vodka-ku yang bekerja”

“Minuman bau itu bisa apa?”

“Wangsit akan datang saat aku terlelap”

Bulsyit

“Justru ini bukti, bahwa meski lelah kita tidak benar-benar  berhenti mencari, bukan”

 “Terserah kau sajalah” Nova berbalik memunggungi Nura. Malas mencium aroma napasnya.

***

“Kau di mana , Daeng. Tak kangenkah?”

“Kangen”

“Beri kami tanda agar kau bisa kutemukan”

“Aku ada di dekat kalian. Selalu”

Nura bangkit. Matanya tertuju pada sebuah tugu yang berbentuk layar kapal di ujung sebuah dermaga batu. “Kita ke situ” serunya pada Nova yang ternyata juga telah terjaga. Ombak tak sesantun biasanya. Gemuruh angin juga terasa lebih pacu, seperti berkejaran dengan degup jantung yang keras meninju paru-paru. “Tunggu, bisa kambuh sesakku”, keluh Nova yang berusaha mengejar Nuri. Langkahnya tertinggal 10 meter di belakang. “Setelah ini kau harus belajar minum,” Nura masih sempat tertawa sebelum merangkul bahu Nova dan menanggung sepertiga berat tubuhnya. Mereka berjalan beriringan dalam dingin. 

“Aku sesak, Nura”

“Kau bawa obatmu?”

“Tertinggal di kantung tidur”

 “Kau masih ingat cara relaksasi yang kuajarkan dulu, kan? Lakukan itu”

Nova meluruskan dua kaki, bersandar tegak pada batang kayu kering yang teronggok di atas pasir. Ruas antara jempol dan telunjuk kaki kanannya terasa dipijat Nura. Katanya ada urat syaraf paru-paru disitu. Sambil menutup mata, Nova berusaha mengatur napasnya perlahan.

Feeling better?”. Tidak ada jawaban yang pasti dari Nova.

“Oke, aku akan berlari mengambil obatmu. Kamu harus tetap seperti ini sampai aku kembali. Tetap tenang dan atur napasmu. Janji ?”,Nova mengangguk.

“Aku akan terus berteriak, jadi kau bisa terus mendengar suaraku. Oke?”, lagi, Nova mengangguk.

Nura berlari. Sesekali menoleh memastikan Nova masih bergerak, sambil berharap bayangan laki-laki di ujung dermaga itu belum pergi.

Seratus meter kepergian Nura menuju tempat mereka bermalam, Nova melambung-lambungkan inhaler di tangan. Aktingnya berhasil. Nura meninggalkannya, seperti yang dia harapkan.

Sorry, Nur. Aku terpaksa.” Desisnya

Berhari-hari sudah mereka menjalankan rencana pencarian mereka. Hasilnya? Nihil. Petunjuk mereka samar. Sebenarnya Nova ingin mereka menyudahi saja semuanya dan akan mulai lagi jika keadaaan serta petunjuk sedikit lebih lengkap. Tadi dia terlalu sungkan mengutarakannya pada Nura. Dia tak ingin mematahkan semangat Nura, juga semangatnya. Dia terlalu lama memperolok-olok dirinya dengan harapan palsu akan pertemuan mereka bertiga kelak. Dalam bayangan Nova, berkumpulnya mereka bertiga akan ada tawa, ceria, cerita yang tak kunjung usai, cela-celaan, dan diskusi yang berkualitas. Orang yang mereka carilah yang punya kunci menjadikan semuanya menjadi nyata. Tanpa orang tersebut, Nova dan Nura hanya melakukan semua kegiatan apapun menjadi hambar.

Satu hal yang paling mereka khawatirkan adalah tentang keadaan orang-yangtakbolehdisebutnamanya-tadi. Apa dia sehat? Kenapa dia mendadak menghindar dari mereka? Melenyapkan semua jejak yang pernah dia bangun. Inilah yang membuat mereka bingung. 

Berkali-kali Nova gagal memisahkan diri dari Nura, tapi kini harus berhasil. Bayangan Nura makin mengecil dan suara teriakannya makin jauh. Pelan Nova menjatuhkan kertas kecil yang ditulisnya semalam, beberapa kalimat permintaan maaf karena tak sanggup meneruskan pencarian yang dia tahu hanya akan gagal. Nova selalu menjadi paling pengecut. Bukan! Nova bukan pengecut, dia hanya mencoba berpikir realistis. Semoga Nura memaafkannya dan mengerti.

Dengan berat hati Nova beranjak dari tempat. Tujuannya juga tak kalah tak pastinya. Satu-satunya tempat yang harus dia tuju dalam keadaan di pinggir pantai yang lengang seperti ini adalah mencari mercusuar. Setidaknya ada satu orang penjaga menara mercusuar yang bisa ditemuinya. Meminta air putih atau sebatang rokok. 

Mungkin di menara mercusuar nanti dia bisa melihat kapal lewat tembakan cahaya atau meminta tolong pada satu dua petugas mercu untuk menghentikan kapal agar bisa menumpang pulang. Sesudah itu, dia akan mengabari Nura. Dia tak ingin Nura juga hilang kabar seperti orang yang mereka cari. Nova menendang butiran pasir pantai yang lembut. Beberapa pasir masuk dalam sepatunya. Sementara di tempat Nova berdiri tadi, Nura terpaku. Beku.

Bersama sengal nafas yang tersendat, Nura menemukan sobekan kertas yang ditinggalkan Nova. Membacanya dalam kaku yang tergugu. Nura hampir limbung. Dia menekan air mata agar tak sampai jatuh dari pelupuknya. Nova sudah menentukan pilihannya. Sedang Nura? Dia tak pernah sesedih ini. Tak pernah serapuh ini. Dia juga tak menyalahkan Nova sepenuhnya.  

Bagi Nura sendiri, jauh sebelum Nova meninggalkannya, linglung dan ragu menelusup dalam hatinya. Tapi Nura terlalu mahir menyembunyikan raut wajahnya lewat tetesan vodka dan bau alkohol di mulut.

Nura menghapus semua rasa yang berkecamuk dalam hatinya, dia menggeleng kuat-kuat. Yang paling diinginkannya adalah mencari tempat untuk merenung, menyendiri. Angin laut berhembus kencang memainkan anak rambutnya. Sengit amis garam menguar keras lewat hidung, memenuhi paru-parunya. Bau bacin kerang dan siput yang mengering di pinggiran pantai menusuk tajam hingga ulu hatinya. 

Nura mengkhawatirkan Nova, dia tak ingin sahabatnya itu ikut hilang seperti orang yang mereka cari sebelumnya. Nura menguatkan diri dan mengusir takut yang merasuki pikirannya. Teringat percakapan mereka saat semua masih indah untuk dilewatkan. Saat dia, Nova dan orang yang mereka cari masih duduk di gerai kopi dan memesan minum berbeda dengan satu gelas kosong tambahan.

“Kopi dan teh yang kita campur ini rasanya tak enak, bukan? Seperti itulah hidup, kawan. Meski terasa manis, namun tetap saja aneh di lidah. Enak itu tergantung pada kita, yang mencicipi. Terbiasa atau tidak.” Itu suara lelaki yang dia dan Nova cari. Sosok dewasa yang membuat mereka nyaman. 

Dia teringat adegan selanjutnya. Nova yang tergelak mengejek lelaki disamping mereka,”Tahu apa yang paling aku suka duduk di gerai ini? Karena ramai. Banyak orang berlalu lalang. Aroma kopi, campuran parfum, musik, dan percakapan cerdas seperti inilah yang bikin aku betah berlama-lama. Kita jadi lebih tahu peradaban terkini. Hebat, kan?”

Nura dan lelaki yang mereka anggap kakak serentak mencibir. Dasar anak muda! Suka sekali keramaian dan tatapan kagum dari orang sekeliling. Anak muda? Nura meringis. Dia juga masih muda, cuma terpaut dua atau tiga tahun lebin tua saja dari Nova. Sedang lelaki yang ditengah mereka terdiam, tersipu. Untuk urusan tua dan dewasa, dia lah pemenangnya.  

Nura merasa ada yang menjalar pada celana jean-nya. Dia tersadar. Hari semakin meninggi. Dia harus mencari tempat lagi untuk bermalam yang aman. Pelan dia melangkahkan kaki. Lalu tersenyum. Dia yakin sekali bahwa mereka bertiga akan kembali berkumpul seperti dulu. Tertawa, bercanda, bertanya kabar, saling mencela dan membagi semangat. Meski harus suatu saat.

Nura yakin semua akan baik saja. Mungkin sekarang yang mereka bertiga butuhkan adalah ruang untuk menata diri. Menyelesaikan apa yang mereka mulai. Mereka bersahabat memang, namun tak lantas harus mencapuri urusan terdalam dari masing-masing mereka. 

Setiap orang punya hati yang akan menuntun untuk kembali ke tujuan yang telah mereka pilih. Hati selalu membawa pada jalan yang benar-benar yakin tak akan tersesat. Hati yang akan menyatukan yang tercerai, mengumpulkan yang terserak, membangun yang rubuh. Nura tertawa. Mereka bertiga masih punya hati. Hati yang sama. Nura melangkah ringan. Bersenandung riang.

 ***

 Prosa Kolaborasi Santy Novaria dan Nuri Nura (No. 114)

Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini   Hasil Karya Malam Prosa Kompasiana 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun