Masyarakat dayak sendiri ketakutan apabila hutan yang mereka miliki akan hilang dan dialih fungsikan menjadi perumahan dan bangunan baru yang nantinya akan mengambil lahan mereka yang selama ini mereka gunakan untuk menopang hidup mereka. Yang artinya, warga Dayak Paser kembali berpotensi kehilangan hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka, dari pangan, papan, hingga persembahan untuk ritual sakral adat. Mereka berfikir jika ibukota dipindahkan di Pulau mereka mereka akan tetap melarat dengan kondisinya sekarang tanpa ada perubahan yang signifikan pada keadaan mereka.
Bagaimanapun pelepasan lahan adat tak ditentang seluruh warga Dayak Paser. Regulasi yang dibuat kepala daerah itu merupakan salah satu syarat penetapan hutan adat oleh menteri lingkungan hidup dan kehutanan. Menyatakan bahwa akan melindungi wilayah yang ditinggali warga Dayak Paser akan tetapi itu tidak cukup bukti karena tidak ada bukti fisik yang dapat dijadikan kekuatan hukum.
Deputi Pengembangan Regional Bappenas, Rudy Prawiradinata, mengklaim mayoritas lahan ibu kota baru itu milik negara dan tak akan bermasalah dengan pihak manapun. Lahan yang digunakan oleh pemerintah merupakan lahan yang tidak mempunyai sertifikat
Wilayah sebesar 30 ribu hektare di pusat pemerintahan baru itu akan dijadikan permukiman. Bappenas saat ini tengah membentuk rencana induk pembangungan ibu kota baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara. Dokumen itu ditargetkan selesai pada tahun 2020. Ibu kota baru diperkirakan akan dibangun bertahap hingga 10 tahun ke depan, begitu pula pemindahan sekitar 900 ribu pegawai badan pemerintah pusat beserta keluarga mereka.