"Kami bangun pagi-pagi lalu apel. Dibawah pengawasan tentara, kami mencabuti rumput di sekeliling barak. Dilanjutkan dengan membuka areal hutan. Babat hutan memakai alat seadanya, pakai kapak dan gergaji, sering juga hanya dengan tangan. Teman-teman yang menolak akan disiksa oleh aparat keamanan. Dipukul atau ditendang sudah menjadi pemandangan biasa. Ratusan orang meninggal karena kelaparan, sakit atau bunuh diri akibat tekanan mental." Pak Dullah mengambil napas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan. Asap rokok yang keluar dari bibirnya membentuk bulatan-bulatan kecil lalu membesar kemudian pecah terbawa angin.
Aku tercenung, jadi teringat kepada almarhum bapak. Beliau purnawirawan tentara yang ikut menumpas pemberontakan G30S/PKI. Beliau bertaruh nyawa, rela meninggalkan keluarga demi membela negara dari rongrongan komunis. Beliau selalu mengatakan PKI itu musuh negara, orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak Pancasilais.
"Hanya ia yang kupunya sekarang," bisik Anya. Netranya menuju kepada Pak Dullah yang sedang berbincang dengan seorang teman lama.
"Mengapa tak kau ajak pulang? Bukankah beliau sudah menjadi orang bebas sekarang?"
"Pulang ke Jawa, maksudmu?"
Aku mengangguk.
"Bagi Bapak, disinilah tempatnya pulang," tandas Anya.
Sekitar tahun 1979, karena banyaknya tekanan internasional, pemerintah Orde Baru memberikan kebebasan kepada seluruh tahanan politik di Pulau Buru. Banyak diantara mereka yang memilih pulang, kembali ke daerah asalnya, namun tak sedikit yang memilih bertahan dan menetap di sini. Bahkan ada yang setelah pulang kemudian balik lagi dengan membawa keluarganya.
"Bapak sudah pulang, namun tak bisa lagi menemui keluarganya. Kami menganggap beliau meninggal sejak tidak pernah pulang dari kantor saat itu. Ibu sudah menikah lagi. Sedangkan aku tak bisa mengenalinya lagi."
Aku mengerti, memang keluarga eks tapol banyak yang menutup diri. Mereka memilih menyembunyikan identitas karena adanya diskriminasi dalam masyarakat. Anak-anak eks tapol tidak bisa bekerja dan menjadi pegawai negeri.
"Seorang teman pernah membuat bangunan di sekolah, dibuatnya lengkungan seperti joglo seperti rumah di Jawa. Ternyata oleh Babinsa ia dilaporkan katanya membuat simbol palu arit. Mungkin karena si Babinsa tidak pernah berkunjung ke Jawa." Pak Dullah terkekeh.