Kami tiba di Dermaga lama di Namlea, ibu kota Kabupaten Buru dalam beberapa menit saja. Hamparan laut biru tampak tenang sejauh mata memandang, sedang tepiannya mengeliat dengan hilir mudik anak manusia. Beberapa kapal nelayan sedang berlabuh menunggu dengan tenang.Tidak ada yang bisa menduga tempat ini dulu pernah menjadi tempat pembuangan tahanan politik yang mengerikan.
"Dulu, kami berlayar cukup lama, kira-kira dua minggu, dari Surabaya ke sini. Kapalnya sudah tua, milik Angkatan Darat. Kapalnya bocor juga jadi para tahanan harus memperbaiki kapal dan membuang air yang berada di dalam kapal." Pak Dullah memulai ceritanya. Ia berjalan menuju dermaga tempat kapal nelayan berlabuh.
"Di sini kapal berlabuh." Lelaki renta itu seperti berbicara dengan dirinya sendiri sementara netranya memandang jauh ke tengah laut. "Bulan Agustus 1969," tambahnya. Lalu ia bersandar pada salah satu tiang sedang netranya masih memandang laut yang sama.
"Bapak dianggap simpatisan PKI yang mengadakan makar pada Gestapu atau Gerakan 30 September dalam dokumen resmi pemerintah. Bapak dituduh terlibat karena aktivitasnya dalam serikat buruh di PJKA. Ia ditangkap ketika masih berada di kantor, lalu dibuang di sini bersama kelompok pertama dengan kapal ADRI XV yang berlayar dari Nusakambangan," jelas Anya.
Kekasihku itu pernah mengatakan hal yang sama pada pertemuan kami yang kedua, setahun yang lalu. Ketika itu aku menyatakan rasa kepadanya. Ia tak menolak, tapi tak juga menerima. Latar belakang keluarganya yang menjadi sebab.
Peristiwa Gerakan 30 September menjadi catatan hitam dalam sejarah Indonesia. Peristiwa yang menyebabkan enam jenderal terbunuh, antara lain : Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Raden Suprapto, Mayjen TNI MT Haryono, Mayhen TNI S.Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, dan Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo. Jenderal TNI AH Nasution yang menjadi sasaran utama justru selamat dari upaya pembunuhan tersebut, namun putrinya Ade Irma Suryani dan ajudannya, Lettu Pierre A. Tendesan tewas. Korban yang lain adalah Bripka Karel Satsuit Tubun, Kolonel Katamso Darmokusumo dan Letkol Sugiyono Mangunwiyoto.
Para korban tersebut dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarata yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965.
Setelah kegagalan kudeta yang dilakukan oleh PKI tersebut, timbul peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis, yang terjadi diantara tahun 1965 sampai dengan tahun 1966. Sebagian sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai.
Penangkapan dan penahanan berlanjut sampai sepuluh tahun setelah pembantaian. Sekitar satu juta kader PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan. Mereka ditahan tanpa adanya proses pengadilan. Mereka yang ditahan termasuk politisi, artis, petani, tentara dan penulis misalnya Pramodya Ananta Toer.
"Jaman sudah berubah. Dulu kebanyakan rumah beratap daun sagu kering, dan pelepahnya yang bernama gaba-gaba dijadikan dinding . Sekarang rumah beratap seng bahkan genteng terlihat dimana-mana. Seng adalah simbol kemewahan di jamanku semasa menjadi tahanan politik. Atap seng dan dinding papan cuma milik pejabat dan petinggi militer." Pak Dullah mulai berjalan. Anya menggandeng lengannya sedang aku mengikuti dari belakang.
"Ada sekitar 12 ribu orang," jawab Pak Dullah ketika kutanya berapa jumlah orang yang dibuang di pulau ini.