Mohon tunggu...
Nuriah Muyassaroh
Nuriah Muyassaroh Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Penulis adalah mahasiswa Universitas Negeri Malang jurusan akuntansi yang menekuni dunia kepenulisan baik fiksi maupun non fiksi. Penulis juga berpengalaman menjadi penulis freelance di salah satu media online.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangisan Bapak

3 Januari 2019   21:00 Diperbarui: 3 Januari 2019   21:02 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kenapa Bapak memberikan makanan Bapak pada pengemis itu? Kan Bapak sendiri belum makan?" Tanyaku yang berhenti melahap makanan ketika melihat Bapak menyerahkan miliknya pada orang lain.

Bapak hanya tersenyum. Lalu mengelus rambutku yang kusam karena terlalu sering terkena debu jalanan.

"Pengemis itu jauh lebih lapar, Sayang, Bisa jadi dia belum makan tiga hari dan nggak bisa menahan lagi. Nanti kalau pengemis itu sakit nggak bisa kerja gimana? Bapak kan masih kuat?"

Aku mengangguk dan berusaha mencerna maksud Bapak. "Ini Bapak makan sama Raya aja, nanti Bapak lapar," bujukku. Jujur, Aku merasa iba dengan Bapak yang berhari-hari jarang sekali makan. Jika membeli hanya satu bungkus untukku. Kadang dua bungkus jika koran Bapak terjual lebih banyak seperti hari ini.

Yang membuatku selalu kagum, Bapak lebih mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. Padahal, kondisi Bapak sebenarnya tak jauh beda dengan mereka. Hanya saja, Bapak selalu mengaku lebih baik dari mereka.

"Kamu makan saja, Sayang. Bapak masih sedikit kenyang," Ujarnya sekali lagi dengan tersenyum. Yang membuatku heran adalah mengapa Bapak selalu tersenyum? Padahal kehidupan Bapak menderita dan sengsara. Bapak sedang tak punya uang sepeser pun sekarang. Uangnya habis untuk membeli dua bungkus makanan tadi. Mengapa masih sempat memberikannya untuk orang lain?

Aku menatapnya dari samping beberapa menit sembari mengunyah makanan yang terpaksa harus kumakan sendiri karena Bapak menolak kuajak berbagi. Wajahnya peluh oleh cucuran keringat yang mengalir deras. Berlari ke sepanjang jalan raya di bawah terik matahari yang sangat panas untuk menjajakan koran.

Ia begitu kuat berteriak melawan keramaian jalan raya. Belum lagi ketika ia harus menghadapi lebih banyak penolakan dari para pengendara yang tidak berminat memberi korannya. Semua itu ia lakukan demi aku. Demi ibu di rumah yang sedang sakit.

Yah, ibu sakit akhir-akhir ini. Entahlah, aku juga tak mengerti sakit apa. Ibu selalu menolak untuk dibawa ke dokter. Dan tadi pagi, ibu beralasan sudah membaik sehingga memperbolehkanku untuk ikut Bapak bekerja.

Salah !! Aku tidak ikut bekerja, Bapak melarangku. Aku hanya duduk di bawah pohon yang rindang bersama pemilik kios koran yang dijajakan Bapak. Aku hanya memandang Bapak yang sedang berlarian kesana kemari di jalan raya. Aku tak bisa berbuat apapun selain ingin menitikkan air mata.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun