Mohon tunggu...
Nurhidayah SPd
Nurhidayah SPd Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 21 Bandung

Menulis bisa mengubah dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lihatlah kepada Kami!

19 Januari 2023   15:32 Diperbarui: 19 Januari 2023   15:32 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Yaah, inilah hidup kami. Walaupun berat aku ikhlas menerima takdir ini. Terkadang selain suamiku berjualan berkeliling, aku mencari uang tambahan dengan membantu tetanggaku yang bekerja sebagai penjahit baju. Aku membantu menjahit walaupun tanganku tidak terlalu pintar menggerakkan mesin jahit.

***

Perasaanku saat ini tidak enak, dan ternyata benar. Tadi pagi sesampainya aku di sekolah teman-teman seperjuanganku memberitahu hari ini akan ada demonstrasi besar-besaran di kantor pemerintah daerah. Dia menyebutkan bahwa rencana pemerintah yang akan memberikan insentif untuk kami kaum buruh pendidikan batal dilaksanakan. Mereka berdalih uang kas pemerintah daerah diprioritaskan untuk subsidi BBM, padahal kita semua tahu setiap tahun harga BBM kian mahal.

Lalu dengan perasaan tidak menentu aku pun ikut berdemonstrasi memperjuangkan nasib kami-kami sebagai buruh pendidikan. Spanduk-spanduk bernada menyindir pemerintah sudah kami tulis. Orator dengan siap sedia menyusun kata-kata agar pemerintah mau mendengar jeritan ahti kami. Minuman di botol kecil sudah kami persiapkan agar kami tidak kehausan.

Kami pun berjalan menyusuri jalan dengan berteriak-teriak meminta kebijaksanaan penghidupan dari pemerintah. Ketika kami berdemonstrasi terlihat orang-orang memerhatikan kami. Ada yang iku terharu melihat perjuangan kami, ada yang ikut memprovokasi, ada yang mendoakan agar kami berhasil, ada juga yang bersikap biasa-biasa saja. Semua itu tidak memengaruhi kami. Kami tetap berjalan walau matahari berada di atas ubun-ubun kepala kami.

Sesampainya di depan gedung DPRD, kami diterima oleh satpam dan polisi yang membentuk pagar betis. Tidak nampak batang hidung orang-orang yang berkata bahwa mereka adalah wakil rakyat, orang-orang   yang membela nasib rakyat, apalagi kami wong cilik. Mereka hanya diam di balik kursi kepemimpinan mereka. Polisi dan satpamlah yang terus menghalangi pertemuan kami dengan pemerintah daerah.

Tiba-tiba ada seseorang yang memberontak ingin masuk ke kantor DPRD, dan ternyata sikap seseorang tadi memicu kami yang tadinya tenang menjadi emosi. Kami pun memaksa masuk dengan membentuk barisan dan mencoba membuka pagar yang menghalanginya.

"Buka...buka...buka pagarnya...Kami ingin bertemu dengan Pak Gubernur!" Ucap salah satu temanku.

"Kalau tidak mau dibuka, kami akan merobohkan pagar ini!" Tambah temanku yang lain.

Melihat kami yang meronta, polisi buaknnya membukakan pintu, mereka malah mendorong-dorong kami.

"Apa yang salah dengan kami? Kami hanya ingin meminta keadilan. Kami ke sini bukan mau bikin onar. Kami hanya ingin bicara baik-baik dengan Pak Gubernur yang sudah memberikan janji kepada kami." Teriak salah satu temanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun