Mohon tunggu...
Nurhidayah SPd
Nurhidayah SPd Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 21 Bandung

Menulis bisa mengubah dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lihatlah kepada Kami!

19 Januari 2023   15:32 Diperbarui: 19 Januari 2023   15:32 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Wuih..belum juga seleasai aku memikirkan darimana aku mendapatkan uang untuk pembayaran buku anakku, sekarang aku harus membaca berita keterpurukkan nasib guru. Lelah rasanya menghadapi ini semua." Bisikku dalam hati.

Tet...tet...tet... Suara bel memanggil-manggil memekakkan telinga. Aku pun bersiap-siap untuk masuk kelas. Hari ini di kelas siswa tampak semangat belajar, apalagi materi hari ini adalah tentang periode sastra. Aku pun menjelaskan tentang sastrawan-sastrawan Indonesia yang telah berjasa menghasilkan karya sastra. Anak-anak terlihat sangat antusias dengan memerhatikan dan bertanya seputar biografi para sastrawan.

Jam di tangaku menunjukkan pukul 14.00. Itu tandanya aku sudah boleh pulang. Sebelum pulang biasanya aku memberikan waktu dalam hidupku untuk bercengkrama dengan teman-teman seperjuangan. Topik pembicaraan kali ini adalah rencana pemerintah yang akan memberikan insentif pada kami kaum guru honorer. Mendengar berita itu terasa udara semilir meniup wajahku, sangat sejuk.

Tapi di akhir pembicaraan salah seorang temanku berkata, "Apabila rencana ini tidak terealisasi, rencananya kita guru-guru honorer akan mengadakan demo besar-besaran" Ucapnya sambil berapi-api.

"Kita memang harus melakukan hal itu, karena selama ini kita sudah cukup bersabar menghadapi pemerintah yang kerjanya Cuma mengobral janji. Padahal pada pemilihan walikota tahun kemarin, mereka berjanji akan mengangkat kita menjadi PNS, tapi kenyataannya sampai sekarang, mana?" Ucap salah satu rekanku sambil emosi.

                "Giliran sudah di atas kursi kepemimpinan, eeh..mereka lupa sama kita yang sudah milih mereka!" Seloroh temanku menambahkan.

Kami pun langsung menghentikan pembicaraan dan langsung pulang.

***

Kulihat halaman rumah yang tidak tertata dengan rapi. Cat rumah yang sudah mulai usang diterpa angin dan hujan. Pintu yang sudah terbuka tripleknya, jendela yang salah satu lacanya pecah terkena tendangan bola oleh anakku. Kalau ada peribahasa "Rumahku, Istanaku" itulah yang selalu aku tanamkan pada anak-anakku. Pada mereka aku selalu mengajarkan untuk selalu bersyukur pada apa yang telah diberikan Allah kepada kami, dan untungnya anak-anakku selalu mengerti dan memahami akan kekurangan orang tuanya.

Pernah suatu waktu aku membaca buku harian salah satu anakku. Dalam bukunya dia berkata, "Aku bangga sekali memiliki orang tua yang selalu berjuang untuk kami anaknya. Mereka tak pernah lelah untuk menyekolahkan kami dalam segala keterbatasan mereka. Ya Allah, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami. Peliharalah mereka sebagaimana mereka telah memelihara kami dari kecil hingga dewasa, aamiin." Melihat tulisan itu tiba-tiba air keluar dari kedua pelupuk mataku.

Hari ini hari Minggu, berarti waktunya aku liburan. Tapi hal ini tidak berlaku dalam kamus hidupku. Di hari ini aku membantu suamiku untuk mempersiapkan kue-kue yang akan dijual oleh suamiku. Suamiku berjualan "Kue Pancong". Awalnya kami pusing untuk mencari uang tambahan. Tapi karena suamiku pintar membuat kue akhirnya dia berjualan keliling. Alhamdulillah uang hasil jualan bisa membantu menopang hidup kami yang serba kekurangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun