Mohon tunggu...
nurhanifahrizky
nurhanifahrizky Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk menebar manfaat

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jika Doa Dalam Facebook Dikabulkan

16 Februari 2019   12:18 Diperbarui: 16 Februari 2019   13:13 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.ndtv.com


Buku tabungan masih kau pandang lekat-lekat sambil bergumam jumlahnya, kau yang duduk di sudut ruangan sekretariat. Aku tidak bisa paham gumamanmu. Aku pun bukan orang yang suka menerka-nerka pikiran seseorang, apalagi pikiran orang yang ku cintai. Ku datangi kau di sudut ruangan, dan aku duduk tepat di sampingmu tapi tetap tanpa menyentuhmu. Kau tutup buku itu, dan kau pejamkan matamu.

"Apa kau ada masalah dengan keuangan?", aku mencoba mencari tahu.

Kau hanya menjawab dengan desisan, tepatnya seperti berbicara pada diri sendiri, "Uang ini masih belum cukup, aku harus mengumpulkan lebih banyak lagi", kau pun bergegas pergi.

Aku mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang membuat hatimu gelisah, karena kau bukan orang yang mudah berbagi cerita di saat sulit. Biasanya setelah masalahmu selesai barulah kau akan cerita kepadaku. Lalu aku akan berkata seakan kau tahu bahwa aku benar-benar tidak bisa di andalkan untuk menyelesaikan masalahmu. Tapi kau selalu menjawab bahwa kau tidak ingin membuat aku kesulitan dengan masalahmu, cukuplah aku memikirkan diriku sendiri tanpa perlu memikirkan masalahmu.

Aneh, kau sungguh aneh. 6 tahun kita berkecimpung di organisasi mahasiswa (tak perlu ku sebut namanya) yang 5 tahunnya kau selalu mencoba berkomunikasi denganku dengan membawa-bawa alasan kepentingan organisasi. Mungkin bahasa anak-anak gaul itu modus belaka, tapi kau juga bukan sedang berdusta, dan aku tidak mau ke-geer-an sendiri. Maka aku berusaha seolah-olah bahwa urusan kita hanya sekedar kepentingan organisasi, tanpa ada unsur perasaan. Ada banyak motif yang membuat kau harus meneleponku, atau bertemu denganku karena harus mendiskusikan sesuatu.

Aku bukan perempuan yang suka memberi kode, tapi aku suka menguji seberapa besar eksistensiku pada hidupmu. Apakah kau akan lebih memilih aku atau organisasi ini. Aku atau teman-temanmu, dan aku atau agenda-agenda pertemuanmu dengan pejabat penting di kota ini. Tapi tentu saja aku tidak mau menjadi perempuan yang posesif, karena kau harus lebih mengutamakan aku dari pada urusanmu yang lain. Aku lebih senang melihatmu aktif dengan seabrek urusan-urusanmu yang akan menjadikanmu lebih besar. Sangking sibuknya kau, bisa dalam 4 bulan kita sama sekali tidak bertemu, tidak ada pesan, dan seperti tidak ada yang merasa kehilangan. Meskipun sebenarnya aku diam-diam mencari kehadiranmu di setiap kegiatan dan ku dengarkan kabarmu dari percakapan beberapa orang rekan-rekan, dengan sikapku yang seakan tidak peduli padamu.

Aku tidak punya alasan untuk menghubungimu, aku hanya bisa menunggu. Sampai suatu waktu kau akan meneleponku karena pertanyaan yang kau bisa temukan jawabannya di google. Tapi poin pentingnya adalah aku sudah senang mendengar suaramu.

Pernah suatu kali kau minta izin padaku untuk pergi lama, setahun kau tinggalkan aku. Seolah seperti sepasang kekasih ku minta kau untuk tetap disini, tapi kau bilang tidak bisa. Kau tidak akan bisa besar jika tidak merantau. Beberapa kali ku peringatkan bahwa suatu saat kau akan tertarik dengan wanita-wanita di kota yang baru, lalu kau lupa padaku, tapi kau jawab bahwa jika hanya mencari wanita tak perlu pergi jauh-jauh. Entah mengapa jawabanmu seolah kau telah memilih aku. Lalu ku tanya sebenarnya hatimu untuk siapa, kau jawab, "kita tidak tahu hati ini untuk siapa sampai kita menikah nanti", aku merasa kau sedang mempermainkan aku.

Aku pun sadar bukan siapa-siapamu hanya bisa mengizinkanmu, dan pernah sekali ku candakan, tentu saja candaan yang setengahnya adalah serius, bahwa aku rindu kehadiranmu. Tapi kau bilang, "jangan rindukan aku, dan jangan memikirkan aku". Betapa angkuhnya dirimu, tapi aku bisa apa, aku hanya perlu menunggu, sampai kau benar telah kembali. Dan kau benar kembali meskipun aku masih tidak tahu kembali untuk siapa.

Aku lalu berusaha mencari tahu masalah yang sedang kau hadapi, ku lihat kau berbincang-bincang dengan rekan-rekanmu membahas proposal. Ah, pasti mengenai dana kegiatan. Lalu kau keluar ruangan dan menelepon kesana kemari aku tidak jelas mendengar suaramu. Lalu ku coba membaca proposal, tertulis aksi dana, tapi langsung ditarik oleh si Hilma, dan pergi berlari keluar karena Rinto sudah menunggu di atas motor. Mungkin mereka sudah menemukan donatur untuk kegiatan. Tapi kenapa aku tidak tahu kegiatan apa yang akan mereka buat, padahal baru 2 hari saja aku tidak main-main ke sekretariat.

Semua orang telah pergi membawa proposal, dan hanya ada kau yang masih asyik menelepon ntah siapa. Aku masih penasaran dan ku coba melihat data yang ada di Komputer tua, benar-benar tua karena ini komputer pemberian pengurus-pengurus terdahulu, komputer dengan tingkatan Pentium. Aku tidak terlalu paham barang-barang elektronik, yang ku tahu komputer ini sangat berjasa disaat kami masih belum memiliki laptop dan sudah berapa banyak surat-surat dan proposal yang dibuat dengan komputer ini. Baru saja aku duduk di kursi, dan menatap layar, layar langsung hitam. Ah, sial, ternyata ada pemadaman listrik. Aku pun beranjak keluar menghirup udara sore, sekaligus cuci mata untuk menatapmu dalam-dalam, karena ku tahu kau sangat tidak suka untuk ku pandang. Aku baru saja duduk dibalai-balai pohon nangka, kau sudah masuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun