Mohon tunggu...
Nur Halimah
Nur Halimah Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Diponegoro

Seorang mahasiswa Sastra Indonesia Univeritas Diponegoro. Aktif menulis dan sedang menyelesaikan skripsinya di semester 8.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengupas Misteri di Balik Makna Lagu Lir-Ilir

22 Februari 2025   10:00 Diperbarui: 21 Februari 2025   13:20 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia merupakan negara majemuk yang memilki berbagai ragam kekhasan budaya yang terdapat di berbagai wilayah Nusantara. Keragaman budaya Indonesia datang dari berbagai kebudayaan-kebudayaan lokal yang terus tumbuh dan berkembang di masyarakat. Salah satu kekhasan budaya Indonesia yaitu sastra lisan. Bangsa Indonesia sejak berabad-abad yang lalu telah memiliki pengalaman bersastra. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya cerita sastra lisan yang tersebar di masyarakat. 

Istilah sastra lisan sering dikaitkan dengan folklor dan tradisi lisan. Namun, istilah tersebut sebenarnya berbeda. Sastra lisan memang masuk bagian dari folklor dan tradisi lisan, tetapi tidak semua folklor atau tradisi lisan berisikan materi kesusasteraan. Hanya beberapa bagian dari tradisi lisan yang mengandung muatan berkaitan dengan sastra. Hal ini sependapat dengan Hutomo (1991), bahwa sastra lisan adalah kesusasteraan yang mencakup ekspresi yang disebarkan turun-temurun secara lisan. 

Berdasarkan uraian sekilas di atas, dapat ditarik kesimpulan mengenai ciri-ciri sastra lisan. Pertama, penyebarannya melalui lisan (dari mulut ke mulut). Kedua, lahir dalam masyarakat yang masih bercorak desa atau masyarakat yang belum mengenal aksara. Ketiga, menggambarkan ciri-ciri budaya sesuatu masyarakat. Keempat, bersifat anonim dan karena itu menjadi milik masyarakat. Kelima, bercorak puitis sehingga lebih menekankan pada aspek fantasi. Keenam, kadang-kadang disampaikan dalam bentuk yang tidak lengkap. 

Sastra lisan, khususnya nyanyian rakyat, memiliki peran penting dalam menyampaikan nilai-nilai sebagai sarana interaksi sosial yang dijunjung bersama oleh masyarakat. Menurut Danandjaja (2007: 141), nyanyian rakyat adalah salah satu bentuk sastra lisan yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang secara lisan dikembangkan di dalam kelompok tertentu. Jenis sastra lisan ini memiliki karakteristik tradisional dan bervariasi, dan menjadi bagian integral dari warisan tradisi lisan di Indonesia. 

Salah satu varian nyanyian rakyat yang dimaksud adalah lagu lir-ilir yang dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga. Lagu lir-ilir memang dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga, namun belum tahu pasti siapa pencipta asli dari lagu lir ilir tersebut. Hutomo (1991) mengatakan, tembang ilir-ilir sebagai tembang popular sastra lisan Jawa, tidak diketahui siapa penciptanya secara pasti, sehingga orang bebas untuk menafsirkan isinya. 

Dalam kalangan masyarakat saat ini, banyak yang beranggapan bahwa Sunan Kalijaga sebagai pencipta asli dari lagu lir-ilir ini. Padahal belum terdapat sumber secara pasti yang menyatakan bahwa lagu lir-ilir diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Masyarakat beranggapan Sunan Kalijaga sebagai pencipta asli lagu ini karena Sunan Kalijaga dikenal sebagai salah satu tokoh Walisongo yang paling berpengaruh terutama di daerah Jawa. Hal itu dikarenkan metode dakwah yang digunakan berbeda dari tokoh Walisongo yang lain, yaitu kerap kali memasukkan unsur budaya dan kesenian untuk menyebarkan agama Islam. 

Selain itu, terdapat sumber lain yang mengatakan bahwa Sunan Giri sebagai pencipta asli lagu lir-ilir. Solichin (dalam Rabimin, 2009), mengtakan bahwa pencipta asli lagi lir-ilir adalah Sunan Giri. Sunan Giri sebagai ahli pendidik, membuat beragam permainan yang berjiwa agama seperti, Jelungan, Jamuran, dan Gendhit Gerit. Selain itu, diajarkan pula nyanyian kanak-kanak yang berjiwa agama diantaranya tembang dolanan bocah yaitu lir-ilir. Baik Sunan Kalijaga maupun Sunan Giri belum bisa dikatakan secara pasti siapa pencipta asli lagu lir-ilir, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui siapa pencipta asli dari lagu lir-ilir ini. 

Pada pembahan kali ini, penulis akan memfokuskan mengenai makna dibalik lagu lir-ilir yang akan dilakukan menggunakan kajian teori semiotika dari Roland Barthes. Roland Barthes merupakan salah satu tokoh aliran strukturalis terkemuka yang termasuk dalam salah satu pengembang konsep semiolgoi Saussure dengan menggunakan model linguistik dan semiology Saussuraen (dalam Sobur, 2009: 63). Inti dari teori Barthes adalah gagasan mengenai dua tahap pemaknaan, yaitu makna denotasi dan makna konotasi, serta makna mitos untuk memahami signifikasi dari tanda. 

Simbol verbal berupa syair lagu lir-ilir mengandung makna denotatif yaitu menceritakan ajakan atau pesan untuk segera melakukan suatu hal kebaikan. Pada bait awal terdapat ajakan untuk segera bangun karena tanaman sudah bersemi. Tanaman sudah menghijau seperti pengantin baru. Anak gembala disuruh memanjat pohon belimbing. Meskipun pohon belimbing licin, tetaplah dipanjat untuk membasuh pakaian. Pakaian-pakainmu yang terkoyak pada bagian pinggir, jahitlah dan benahilah untuk digunakan nanti sore. Selagi bulan masih bersinar terang dan selagi masih banyak waktu luang. Ayo bersoraklah. Kurang lebih seperti itulah makna denotasi dari syair lagu lir-ilir. 

Kemudian makna konotasi atau makna kiasan dari lagu lir-ilir, jika ditinjau dari sisi religiusitas atau keagamaan bermakna sebagai pengingat kepada manusia untuk senantiasa meningkatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada lirik pertama, kata Lir-ilir, lir-ilir Tandure wis sumilir, dikonotasikan sebagai jiwa-jiwa manusia yang sudah bangun atau sadar akan keberadaan Tuhan. Kemudian pada lirik Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar, kata ijo atau hijau dikonotasikan sebagai simbol agama Islam dan agama Islam disini digambarkan seperti pengantin baru yang menarik hati siapapun yang melihatnya sehingga membawa kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya. 

Pada lirik selanjutnya yaitu Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi, Kata "cah angon" pada lirik tersebut diartikan sebagai seorang yang mampu membawa makmumnya atau seorang yang mampu "menggembalakan" makmumnya dalam jalan yang benar. Kenapa menggunakan konotasi kata "cah angon", karena cah angon atau anak gembala diartikan sebagai seseorang yang memiliki kesabaran lebih yang mampu menggembalakan dan menggiring hewan ternaknya yang berlarian kesana dan kemari. Selanjutnya penggunaan kata blimbing dikonotasikan sebagai rukun Islam yang berjumlah lima, karena buah blimbing memiliki bentuk seperti bintang dengan lima ujung. Jadi, meskipun pohon belimbing licin dan susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut dalam arti sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun