Filsafat berperan sebagai fondasi konseptual yang memberikan arah, makna, dan dasar pemikiran dalam pengelolaan pendidikan. Melalui filsafat, pendidikan tidak hanya dipandang sebagai proses transfer ilmu, tetapi juga sebagai upaya membentuk manusia seutuhnya yang berorientasi pada dimensi intelektual, moral, dan sosial. Pandangan filosofis memungkinkan para pendidik dan pengelola sekolah memahami esensi pendidikan, menimbang tujuan yang hendak dicapai, serta memilih metode yang relevan sesuai konteks masyarakat dan perkembangan zaman. Dengan demikian, filsafat berfungsi sebagai pemandu normatif sekaligus reflektif bagi seluruh praktik pendidikan
Pendidikan merupakan proses multidimensional yang tidak hanya berfokus pada pencapaian akademik, tetapi juga pada pembentukan kepribadian, nilai, dan moral peserta didik. Dalam konteks ini, filsafat dan manajemen pendidikan memiliki keterkaitan yang erat. Filsafat memberikan landasan konseptual berupa nilai, tujuan, dan arah pendidikan, sedangkan manajemen pendidikan mengoperasionalkan nilai-nilai tersebut melalui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Dewey (1938) menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pengalaman yang berkesinambungan, yang menuntut relevansi dengan kehidupan nyata. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen pendidikan tidak dapat dilepaskan dari dasar filosofis yang kokoh. Dengan demikian, integrasi filsafat dan manajemen pendidikan menjadi kebutuhan esensial dalam upaya meningkatkan mutu sekolah secara holistik.
Filsafat pendidikan membantu menentukan arah tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Misalnya, menurut Ki Hajar Dewantara (1936), tujuan pendidikan adalah "menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya." Pemikiran ini mempertegas bahwa manajemen pendidikan harus selaras dengan nilai-nilai filosofis yang menghargai perkembangan potensi peserta didik secara utuh, bukan hanya berfokus pada capaian akademik.
Integrasi filsafat dan manajemen pendidikan dapat terlihat dalam penyusunan visi dan misi sekolah. Sergiovanni (1991) menyatakan bahwa manajemen pendidikan yang efektif harus berlandaskan pada nilai dan keyakinan yang diyakini bersama, bukan semata-mata aturan teknis. Dengan demikian, sekolah yang mengadopsi filsafat humanisme akan menempatkan peserta didik sebagai pusat dari kegiatan belajar, sementara manajemen sekolah diarahkan untuk menciptakan iklim belajar yang demokratis, partisipatif, dan berkeadilan. filsafat juga memberi arah dalam pengambilan keputusan manajerial yang menyangkut etika dan moral. Menurut Hoy & Miskel (2013), manajemen pendidikan yang baik bukan hanya mengelola sumber daya, tetapi juga memperhatikan aspek moralitas dan keadilan. Dalam praktiknya, manajemen sering dihadapkan pada persoalan distribusi anggaran atau kebijakan evaluasi siswa. Filsafat etika berperan penting agar keputusan-keputusan tersebut tetap mencerminkan nilai keadilan, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Lebih jauh, integrasi filsafat dan manajemen pendidikan berpengaruh langsung terhadap peningkatan mutu sekolah. Menurut Edward Sallis (2002), mutu pendidikan tidak hanya diukur melalui hasil ujian, melainkan juga melalui kualitas proses pembelajaran, kepemimpinan, dan budaya sekolah. Dengan menjadikan filsafat sebagai dasar, manajemen pendidikan mampu menyusun kebijakan yang berorientasi pada pengembangan kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang. Hal ini sejalan dengan pandangan Paulo Freire (1970) yang menekankan bahwa pendidikan harus membebaskan, bukan membatasi potensi manusia. integrasi filsafat dan manajemen pendidikan berpengaruh langsung terhadap peningkatan mutu sekolah. Menurut Edward Sallis (2002), mutu pendidikan tidak hanya diukur melalui hasil ujian, melainkan juga melalui kualitas proses pembelajaran, kepemimpinan, dan budaya sekolah. Dengan menjadikan filsafat sebagai dasar, manajemen pendidikan mampu menyusun kebijakan yang berorientasi pada pengembangan kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang. Hal ini sejalan dengan pandangan Paulo Freire (1970) yang menekankan bahwa pendidikan harus membebaskan, bukan membatasi potensi manusia.
 PEMBAHASANÂ
Filsafat sebagai Landasan Pendidikan. Filsafat pendidikan memberikan kerangka berpikir normatif dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan. Ki Hajar Dewantara (1936) menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat anak agar berkembang secara optimal, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Hal ini menjadi pijakan bahwa manajemen pendidikan tidak boleh semata-mata administratif, melainkan juga harus memperhatikan perkembangan potensi manusia secara utuh.
Manajemen Pendidikan sebagai Instrumen Operasional Manajemen pendidikan berfungsi menerjemahkan nilai-nilai filosofis ke dalam kebijakan, strategi, dan tindakan nyata. Sergiovanni (1991) menyatakan bahwa manajemen pendidikan yang efektif harus berlandaskan pada nilai bersama yang diyakini, bukan sekadar aturan teknis. Oleh karena itu, visi dan misi sekolah yang dilandasi filsafat humanisme, misalnya, akan menciptakan iklim belajar yang demokratis dan menghargai keberagaman potensi siswa.
Integrasi Filsafat dan Etika dalam Pengambilan Keputusan Dalam praktik manajerial, pengambilan keputusan sering kali menyangkut persoalan moral, seperti alokasi sumber daya dan evaluasi siswa. Hoy & Miskel (2013) menegaskan bahwa manajemen pendidikan yang baik harus memperhatikan keadilan dan etika. Filsafat etika berperan penting agar setiap kebijakan tetap berpijak pada nilai kemanusiaan dan tanggung jawab moral
Dampak Integrasi terhadap Mutu Sekolah Integrasi filsafat dan manajemen pendidikan berkontribusi pada peningkatan mutu sekolah yang menyeluruh. Menurut Sallis (2002), mutu pendidikan tidak hanya ditentukan oleh hasil ujian, tetapi juga oleh kualitas proses pembelajaran, kepemimpinan, dan budaya sekolah. Pandangan ini sejalan dengan Freire (1970), yang menekankan bahwa pendidikan harus bersifat membebaskan, bukan membatasi. Dengan demikian, sekolah yang mengintegrasikan filsafat dalam manajemennya akan menghasilkan lulusan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan sosial.
Integrasi filsafat dan manajemen pendidikan dalam meningkatkan mutu sekolah menjadi hal yang sangat relevan di era sekarang. Sekolah bukan lagi sekadar lembaga yang menyampaikan ilmu pengetahuan, tetapi juga institusi yang bertanggung jawab membentuk manusia seutuhnya.
Filsafat pendidikan berperan memberikan arah dan dasar nilai. Misalnya, filsafat humanisme menekankan pentingnya memanusiakan manusia, sehingga pendidikan tidak boleh hanya berfokus pada capaian akademik semata. Nilai-nilai seperti kejujuran, kerja sama, empati, dan tanggung jawab sosial menjadi bagian dari tujuan pendidikan. Dengan landasan filosofis yang jelas, sekolah memiliki visi yang lebih luas daripada sekadar pencapaian kurikulum. Â filsafat saja tidak cukup. Untuk mewujudkan gagasan ideal tersebut, sekolah memerlukan sistem yang rapi. Di sinilah manajemen pendidikan hadir. Melalui manajemen yang baik, sekolah dapat menyusun perencanaan program, mengatur sumber daya manusia, memanfaatkan fasilitas secara optimal, serta melakukan evaluasi berkelanjutan. Kepala sekolah, guru, dan staf manajemen berperan penting sebagai motor penggerak agar nilai-nilai filosofis bisa terimplementasi dalam praktik sehari-hari. Integrasi keduanya memungkinkan terciptanya keseimbangan antara idealisme dan realitas. Filsafat memberikan panduan "apa" dan "mengapa", sementara manajemen menyediakan "bagaimana" mencapainya. Sekolah yang mampu memadukan keduanya akan lebih mudah meningkatkan mutu, baik dari sisi akademik, pembentukan karakter, maupun pengelolaan lingkungan belajar yang kondusif.