Seorang teman bertanya padaku beberapa waktu lalu: "Ngapain masih ke perpustakaan? Tinggal tanya ChatGPT, semua ada." Pertanyaan itu datang ketika aku bercerita habis dari perpustakaan kampus semasa kuliah dulu, untuk iseng-iseng karena rindu dan ingin baca buku.
Aku paham maksudnya. Di era ini, informasi tersedia dalam genggaman. Pertanyaan apa pun dijawab dalam sekejap. Mengapa repot menyusuri rak buku dan membuka halaman demi halaman, jika cukup mengetik satu kalimat di ChatGPT dan semua jawaban tersaji seketika.
Lalu, apakah perpustakaan masih relevan? Apakah tempat ini akan sepi, dan dilupakan, lalu di masa mendatang perpustakaan bisa mati fungsinya?
Jawabannya: tidak.
Pergeseran Cara Belajar, Bukan Kematian Perpustakaan
Era digital memang mengubah cara orang mencari informasi lebih cepat, lebih instan. Namun, perubahan ini bukan berarti perpustakaan kehilangan fungsi. Justru sebaliknya, perpustakaan tetap menjadi ruang yang dicari, bukan hanya untuk mencari referensi, tetapi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dalam: suasana belajar yang tenang, fokus, dan bermakna.
Banyak mahasiswa dan pembaca tetap datang. Bukan karena mereka tidak tahu soal ChatGPTÂ atau Google Scholar. Mereka datang karena perpustakaan menawarkan pengalaman yang berbeda pengalaman yang tidak bisa dihasilkan oleh layar.
Perpustakaan tidak bersaing dengan AI. Ia berevolusi dengan caranya sendiri. Fungsi perpustakaan bukan sekadar menyediakan data, tetapi membentuk kebiasaan berpikir yang lebih mendalam.
AI Memberi Jawaban, Perpustakaan Mengajarkan Pencarian
ChatGPT, Gemini dan sejenisnya memang luar biasa. Cepat, praktis, efisien. Butuh definisi? Tanya. Butuh rangkuman? Minta. Dalam hitungan detik, jawaban tersaji rapi.
Tapi ada yang hilang di sana: proses.
Di perpustakaan, kita tidak langsung mendapat jawaban. Kita mencari, membuka buku satu per satu, membandingkan berbagai sumber, menemukan perspektif yang berbeda. Proses inilah yang melatih kesabaran intelektual dan kemampuan berpikir kritis.