AI memberi jawaban cepat, tapi sering tanpa konteks dan kedalaman. Perpustakaan menumbuhkan kebiasaan membaca, menelaah, dan memahami. Di AI, kita mendapatkan informasi. Di perpustakaan, kita menemukan pengetahuan.
Saat mencari sumber untuk membuat tugas, saya lebih memilih datang ke perpustakaan meski bisa mengakses jurnal digital atau bertanya pada ChatGPT.
Alasannya sederhana: tidak semua informasi dari buku tersedia dan ter-update di internet atau AI. Ada buku-buku jadul dan klasik, atau kajian mendalam yang hanya bisa ditemukan di perpustakaan. Belum semua buku apalagi yang transkrip-transkrip jadul atau buku kuno didigitalkan.
Lebih dari itu, perpustakaan memungkinkan saya membandingkan berbagai sumber dengan topik yang sama. Lima buku dengan sudut pandang berbeda bisa saya buka sekaligus di meja perpustakaan. Itu yang mempertajam analisis pikiran, bukan sekadar menerima satu jawaban jadi dari AI.
Perpustakaan bukan hanya gudang data. Ia adalah ruang refleksi yang membentuk karakter berpikir.
Pengalaman Fisik yang Tidak Bisa Digantikan
Saya pribadi lebih suka membaca buku fisik ketimbang e-book atau referensi digital. Alasannya bukan nostalgia, tapi praktis: membaca digital lebih mudah bikin jenuh, mata cepat lelah, dan yang paling mengganggu saya sering terdistraksi oleh notifikasi aplikasi lain.
Buku fisik berbeda. Saya bisa menstabilo bagian penting, memberi pembatas di halaman yang perlu dibaca ulang, dan menangkap isi buku lebih cepat. Tidak ada notifikasi yang mengganggu. Tidak ada godaan membuka tab lain. Bahkan aroma bukunya pun memberikan pengalaman yang berbeda.
Suasana di perpustakaan juga tidak bisa digantikan. Tugas memang bisa dikerjakan di kafe, di rumah, atau di mana saja dengan akses digital dan bantuan AI. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan suasana tenang perpustakaan: memilih buku berjam-jam di rak-rak, mencari kursi atau sudut favorit setelah menemukan buku yang tepat, lalu membaca sambil membayangkan isi bacaan di sudut yang nyaman.
Lebih dari itu, perpustakaan adalah ruang diskusi intelektual. Berdiskusi dengan teman di perpustakaan memberikan dimensi baru yang tidak bisa dihasilkan oleh chat dengan AI. Ada pertukaran gagasan, debat ringan, atau sekadar berbagi rekomendasi bacaan hal-hal kecil yang membentuk pengalaman belajar yang utuh.
Kolaborasi, Bukan KompetisiÂ
Kita tidak harus menolak AI untuk mempertahankan perpustakaan.
Sebaliknya, keduanya bisa saling melengkapi. AI mempermudah akses pengetahuan, sementara perpustakaan menjaga kedalaman dan konteksnya.
Yang akan mati bukan perpustakaannya. Yang akan mati adalah kebiasaan manusianya jika kita berhenti mencari makna di balik pengetahuan, jika kita hanya puas dengan jawaban instan tanpa proses, jika kita lupa bahwa belajar bukan hanya soal mendapatkan informasi, tapi juga soal merasakan perjalanan untuk menemukannya.