Pagi-pagi buta di Pasar Dadapsari, Semarang Utara, aktivitas sudah ramai. Di salah satu los ikan, seorang ibu muda bernama Mbak Ima (34 tahun) tampak sibuk membantu mertuanya berjualan. Dari tumpukan ikan segar yang harus ditata hingga tawar-menawar harga dengan pembeli, semua dilakukannya dengan cekatan.
Mbak Ima bukanlah sosok yang asing dengan pengelolaan keuangan. Sebagai ibu rumah tangga sekaligus pedagang ikan, dia sudah terbiasa mengatur keuangan harian dengan cermat. Namun, seperti kebanyakan perempuan di segmen ekonomi menengah bawah, konsep investasi masih terasa jauh dan rumit baginya.
"Sebenarnya aku sudah kepikiran untuk menyisihkan sedikit sehari minimal 10.000 untuk tabungan darurat," kata Mbak Ima saat kami mengobrol di rumahnya.
"Tapi gimana ya, suami kerja tak menentu dan kebutuhan semakin banyak. Jadi aku mensiasati dengan ikut arisan PKK, kalau butuh dana darurat bisa ambil giliran dulu."
Namun, seperti banyak perempuan lain, ia mengakui bahwa uang yang terkumpul dari arisan seringkali habis lagi untuk keperluan sehari-hari. Akibatnya, sulit sekali memiliki tabungan darurat yang benar-benar bisa bertahan jangka panjang.
Problem: Literasi Keuangan Perempuan Masih Rendah
Kisah Mbak Ima merefleksikan tantangan lebih besar dalam literasi keuangan perempuan Indonesia. Data terbaru Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 dari OJK menunjukkan meski Indeks Literasi Keuangan Nasional mencapai 66,46%, kesenjangan gender masih signifikan. Perempuan masih tertinggal dalam pemahaman produk dan layanan keuangan dibandingkan laki-laki, terutama di segmen ekonomi menengah bawah.
Artinya, banyak perempuan Indonesia belum memiliki pemahaman memadai soal cara mengelola, menabung, dan berinvestasi. Padahal, dalam praktik sehari-hari, justru perempuan yang sering menjadi pengatur keuangan keluarga: mulai dari belanja, membayar kebutuhan anak, hingga mengelola arisan.
"Investasi itu kan sejenis saham, tanah, beli rumah atau properti. Itu buat orang yang sudah punya uang lebih," ungkap Mbak Ima sederhana ketika saya tanyakan persepsinya tentang investasi.
Hal ini  menandakan ada persepsi yang keliru tentang investasi. Seperti Mbak Ima, kebanyakan perempuan menganggap investasi identik dengan pembelian saham, tanah, atau properti yang membutuhkan modal besar dan pemahaman teknis yang rumit.
Pertemuan di Semarang: Awal Mula Mencoba Tabungan Emas Pegadaian
Siang itu sampai sore saya bertemu dengan Mbak Ima di rumahnya. Obrolan kami ngalor-ngidul, sampai akhirnya menyentuh soal dana darurat.