Mohon tunggu...
E. Niama
E. Niama Mohon Tunggu... Psikologi dan Pendidikan | Tentor Akademik | Penulis Lepas | Pengamat Kehidupan dan Pendengar Cerita | Serta Seorang Intuitive Thinker

Pengamat kehidupan yang percaya pada kekuatan kata. Sebagai lulusan Psikologi dan tentor akademik, saya terbiasa membaca dinamika manusia dari berbagai sisi. Menulis bagi saya adalah ruang kontemplasi sekaligus cara berbagi makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Emas Ditengah Sawah: Bagaimana Pegadaian Selamatkan Petani Demak dari Jerat Pinjol Ilegal

25 September 2025   08:00 Diperbarui: 25 September 2025   08:23 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani di Demak, menuju sawah-modal tanam kini lebih mudah lewat gadai emas Pegadaian. Sumber: Dok Pribadi diedit dengan Snapedit

"Fajar menyingsing di Desa Mutih, Kabupaten Demak. Pak Suroso menggenggam erat kalung emas istrinya yang sudah menemani keluarga selama 15 tahun. Bukan untuk dijual, bukan pula untuk dipamerkan, melainkan untuk digadaikan ke Pegadaian sebagai modal tandur padi. "Kalau tidak ada Pegadaian, mungkin emas ini sudah terjual murah ke tengkulak, atau saya sudah terjerat pinjol," ujarnya sambil menatap hamparan sawah yang siap ditanami".

Di RT yang berbeda, Pak Jatmiko seorang petani pemaro yang menggarap sawah orang lain dengan system bagi hasil juga bersiap menggadaikan gelang dan cincin emas milik istrinya. Sebagai pemaro, akses modalnya jauh lebih terbatas dibanding petani pemilik seperti Pak Suroso. "Saya tidak punya agunan selain emas keluarga ini. Untung ada Pegadaian yang mau terima dengan proses yang jelas," katanya.

Kedua petani ini mewakili petani kecil di Indonesia yang bergantung pada akses modal. Namun, di balik kesederhanaan mereka, tersimpan kisah tentang bagaimana Bagaimana Pegadaian berhasil menjalankan misi ESG (Environmental, Social, Governance) yang sesungguhnya bukan sekadar istilah keren perusahaan, melainkan dampak nyata bagi masyarakat kecil.

Ancaman Nyata: Pinjol Ilegal Mengincar Desa

Pinjol ilegal bak jebakan tikus yang tersebar di banyak desa. Iming-imingnya sederhana: cair cepat, tanpa jaminan, tanpa ribet. Tapi di balik itu ada bunga mencekik dan cara penagihan yang kasar. Tak sedikit cerita petani yang awalnya pinjam Rp 6 juta, berakhir harus membayar belasan juta karena bunga yang terus menumpuk.

Pak Jatmiko pernah menjadi saksi teror penagihan pinjol ilegal. "Tetangga saya pinjam 6 juta untuk modal tanam, dalam  berbulan kemudian jadi 13 juta. Karena tidak bisa bayar, debt collector datang ke rumah, malah ancam mau sebar foto KTP ke media sosial," ceritanya.

Inilah yang disebut debt trap jebakan utang yang tidak ada habisnya. Utang lama belum lunas, sudah harus gali utang baru untuk menutupinya. Alih-alih panen membawa keuntungan, hasil sawah malah habis untuk membayar hutang berbunga tinggi.

Dua petani di Mutih yang saya kenal sempat hampir terjerat. Kebutuhan mendesak membuat mereka tergoda tawaran pinjol. Untungnya, ada jalan lain yang lebih aman dan legal yakni Pegadaian.

Pegadaian: Jalan Aman di Tengah Keresahan

Daripada masuk ke jeratan pinjol, para petani itu memilih memanfaatkan aset sederhana yang mereka punya: emas keluarga. Biasanya berupa cincin, kalung atau perhiasan kecil simpanan istri. Nilainya mungkin tidak seberapa di mata orang kota, tapi bagi petani, emas adalah tabungan paling nyata yang bisa diwariskan dari generasi ke generasi.

Di Pegadaian, emas tersebut digadaikan. Prosesnya cepat, jelas, dan transparan. Petani langsung tahu berapa pinjaman yang cair, berapa biaya sewanya, dan kapan jatuh tempo tebus. Tidak ada bunga tersembunyi, tidak ada ancaman penagihan. Yang ada hanyalah kepastian: emas tetap aman dititipkan, dan bisa ditebus kembali setelah panen.

Modal pun akhirnya bisa digunakan untuk membeli bibit, pupuk, dan obat tanaman. Musim tanam tetap jalan, tanpa harus merasa dikejar-kejar utang yang membelit.

Melindungi Petani dari Debt Trap

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun