Rangkaian kasus ini menegaskan bahwa masalah bukanlah pada agama atau keyakinan, melainkan pada penyalahgunaan kekuasaan yang lahir dari relasi tidak seimbang antara “pemimpin” dan mereka yang dibimbing.
Mengapa Korban Sering Diam
Banyak korban memilih bungkam bertahun-tahun. Alasan utamanya adalah takut tidak dipercaya, rasa malu, stigma masyarakat, hingga ancaman dari pelaku. Relasi kuasa yang timpang membuat korban merasa tak berdaya menolak.
Dalam banyak komunitas, melaporkan tokoh agama sama saja dianggap menentang nilai suci. Akibatnya, predator terlindungi oleh kepercayaan dan korban menanggung beban trauma seorang diri: depresi, kehilangan rasa percaya diri, bahkan keinginan mengakhiri hidup.
Psikolog menyebut, pola ini umum terjadi: predator memanfaatkan status dan rasa hormat untuk mengontrol korban, menanamkan rasa bersalah, lalu memanipulasi agar korban tidak berani melapor.
Saat Korban Memilih Bersuara
Meski sulit, ada korban yang memilih keluar dari lingkaran diam. Korban kasus Masturo Rohili akhirnya mengadu ke polisi meskipun menghadapi risiko stigma dan tekanan.
Di India, mahasiswi korban Swami Chinmayanand bertahan menghadapi intimidasi hingga kasusnya diusut.
Di Prancis dan Spanyol, ratusan ribu korban akhirnya berani memberikan kesaksian dalam komisi independen setelah puluhan tahun bungkam.
Keberanian mereka menjadi titik balik: membuktikan bahwa suara korban mampu membuka tabir kekerasan yang semula nyaris tak tersentuh.
Saatnya Publik Bertindak
Untuk memutus rantai predator berselimut agama, kita perlu langkah bersama: