Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengungkap Predator Seksual Berkedok Pemuka Agama (Dari Bekasi Hingga Dunia)

26 September 2025   21:01 Diperbarui: 26 September 2025   21:01 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Predator Seksual (Sumber: freepik)

Di balik jubah kesalehan dan suara lembut penuh nasihat, sebagian pemuka agama justru menyimpan luka bagi orang-orang yang mereka bimbing. Kasus terbaru yang menyeret nama Kyai Masturo Rohili di Bekasi kembali membuka mata publik: predator seksual bisa bersembunyi di balik simbol keimanan. 

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia atau pada satu agama saja, tetapi telah menjadi persoalan global lintas keyakinan dan budaya. Sudah waktunya masyarakat lebih waspada dan korban berani bersuara sejak dini untuk memutus rantai kekerasan seksual yang sering tertutup oleh dinding kepercayaan dan rasa malu.

Luka di Balik Kepercayaan

Masturo Rohili dikenal publik sebagai tokoh agama dan pendidik yang kerap berdakwah tentang moral dan kebaikan. Namun publik terhenyak saat polisi menetapkannya sebagai tersangka dugaan pelecehan seksual terhadap anak angkat dan keponakan yang sudah diasuhnya sejak kecil.

Salah satu korban mengaku mengalami pelecehan sejak duduk di bangku SMP, bahkan SD. Hal tersebut terjadi berulang sampai mereka berada di bangku perkuliahan. Bahkan sang anak angkat kerap dipaksa mengirim video tak senonoh dengan iming-iming transfer biaya kuliah.

Bagi masyarakat, kasus ini bukan sekadar dugaan pidana, melainkan pengkhianatan terhadap kepercayaan. Sosok yang semestinya melindungi dan menuntun justru menjadi sumber luka. Proses hukum tengah berjalan, namun kisah korban telah menguak betapa rawannya kekuasaan yang tak diawasi.

Fenomena Global: Tak Terbatas Satu Agama

Apa yang terjadi di Bekasi hanyalah potret kecil dari persoalan besar. Sejarah mencatat, di banyak belahan dunia, predator seksual kerap menyamar di balik wibawa agama.

Di India, publik masih mengingat kasus Asaram Bapu, pemimpin spiritual yang dipuja jutaan pengikut namun akhirnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena memperkosa seorang remaja di ashramnya. Nama lain yang sempat ramai adalah Swami Chinmayanand, eks-menteri dan pemuka agama, yang ditangkap karena tuduhan pelecehan dan intimidasi terhadap mahasiswinya.

Di Eropa, skandal Gereja Katolik mengungkap fakta mengejutkan: penyelidikan independen di Prancis menemukan lebih dari 330.000 anak menjadi korban pelecehan oleh anggota klerus dan staf gereja antara 1950–2020. Di Spanyol, laporan resmi memperkirakan lebih dari 200.000 anak mengalami nasib serupa sejak 1940.

Rangkaian kasus ini menegaskan bahwa masalah bukanlah pada agama atau keyakinan, melainkan pada penyalahgunaan kekuasaan yang lahir dari relasi tidak seimbang antara “pemimpin” dan mereka yang dibimbing.

Mengapa Korban Sering Diam

Banyak korban memilih bungkam bertahun-tahun. Alasan utamanya adalah takut tidak dipercaya, rasa malu, stigma masyarakat, hingga ancaman dari pelaku. Relasi kuasa yang timpang membuat korban merasa tak berdaya menolak.

Dalam banyak komunitas, melaporkan tokoh agama sama saja dianggap menentang nilai suci. Akibatnya, predator terlindungi oleh kepercayaan dan korban menanggung beban trauma seorang diri: depresi, kehilangan rasa percaya diri, bahkan keinginan mengakhiri hidup.

Psikolog menyebut, pola ini umum terjadi: predator memanfaatkan status dan rasa hormat untuk mengontrol korban, menanamkan rasa bersalah, lalu memanipulasi agar korban tidak berani melapor.

Saat Korban Memilih Bersuara

Meski sulit, ada korban yang memilih keluar dari lingkaran diam. Korban kasus Masturo Rohili akhirnya mengadu ke polisi meskipun menghadapi risiko stigma dan tekanan. 

Di India, mahasiswi korban Swami Chinmayanand bertahan menghadapi intimidasi hingga kasusnya diusut.
Di Prancis dan Spanyol, ratusan ribu korban akhirnya berani memberikan kesaksian dalam komisi independen setelah puluhan tahun bungkam.

Keberanian mereka menjadi titik balik: membuktikan bahwa suara korban mampu membuka tabir kekerasan yang semula nyaris tak tersentuh.

Saatnya Publik Bertindak

Untuk memutus rantai predator berselimut agama, kita perlu langkah bersama:

  1. Perbaiki Sistem dan Kode Etik Lembaga Keagamaan.
    Lembaga keagamaan wajib memiliki aturan jelas tentang batasan interaksi, mekanisme laporan aman, dan pengawasan yang transparan.

  2. Tingkatkan Kesadaran Keluarga dan Komunitas.
    Orang tua dan masyarakat harus mengenali tanda-tanda pelecehan serta mengajarkan anak tentang hak tubuh dan cara meminta bantuan.

  3. Lindungi Korban dan Permudah Akses Hukum.
    Sediakan layanan psikologis, medis, dan hukum yang ramah korban. Hentikan stigma yang menyalahkan korban.

  4. Peran Media dan Tokoh Agama yang Bersih.
    Media perlu mengangkat kasus dengan etis agar korban terlindungi, sementara tokoh agama yang berintegritas harus tampil mendukung keberanian korban dan menyerukan nol toleransi terhadap predator.

Dengan langkah-langkah tersebut, kita dapat memutus rantai kejahatan yang selama ini bersembunyi di balik jubah kesalehan. Tidak ada lagi alasan untuk diam atau menutup mata, keamanan anak dan martabat perempuan harus menjadi prioritas. 

Melindungi korban berarti menjaga nilai kemanusiaan dan kehormatan iman itu sendiri. Bersama-sama, publik, keluarga, lembaga keagamaan, dan media dapat menjadi tembok pelindung agar predator berselimut agama tak lagi punya ruang untuk beraksi.

Mengembalikan Kesucian Iman

Agama dan iman semestinya menjadi sumber cahaya, bukan kedok bagi gelapnya kejahatan. Melawan predator berselimut kesalehan bukanlah menyerang agama, melainkan menjaga nilai suci yang sebenarnya.

Masyarakat berhak tahu, korban berhak bicara, dan keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Dengan membuka mata, menyuarakan keberanian, dan memperkuat perlindungan, kita bisa memutus rantai kejahatan yang terlalu lama tersembunyi di balik jubah kesalehan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun