Di era digital, malam yang seharusnya menjadi waktu beristirahat justru bergeser menjadi panggung aktivitas. Dari bekerja lembur, scrolling media sosial, hingga bermain gim, manusia modern semakin betah hidup sebagai makhluk nokturnal.Â
Namun, di balik gemerlap layar gawai dan produktivitas semu, gaya hidup ini menyimpan dampak serius. Sains menyoroti risiko kesehatan, psikologi mengingatkan kerentanan mental, filsafat mempertanyakan makna waktu, sementara agama menegaskan pentingnya keseimbangan hidup.Â
Lalu, bagaimana seharusnya kita memaknai fenomena ini?
Fenomena Manusia Nokturnal di Era Digital
Begadang bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sudah menjadi gaya hidup banyak orang. Sebagian berdalih karena pekerjaan, sebagian lagi larut dalam hiburan digital.Â
Menurut laporan DataReportal 2024, rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam per hari di depan layar, dengan puncaknya justru di malam hari.
Jika dahulu malam identik dengan keheningan, kini ia berubah menjadi waktu paling "hidup". Jalanan kota tetap ramai, notifikasi gawai berdenting tanpa henti, bahkan bisnis daring justru beroperasi 24 jam.Â
Singkatnya, malam kian kehilangan makna alaminya: saat untuk istirahat.
Psikologi: Dampak pada Mental dan Emosi
Psikolog sepakat bahwa begadang terus-menerus berpotensi merusak kesehatan mental. Kurang tidur terbukti meningkatkan kadar hormon stres (kortisol) dan memicu kecemasan.Â