Di panggung politik kita, “asal bunyi” makin sering beredar seperti iklan sabun cuci piring: mencerahkan sesaat, meninggalkan residu lama. Dan anehnya, itu sering lolos dari hulu-parpol (struktur partai di tingkat paling bawah/akar rumput) yang pertama kali menyaring dan mengusulkan nama calon.
Kalau partai bisa test drive mobil sebelum dibeli, kenapa parpol tidak mewajibkan test drive komunikasi sebelum menyodorkan calon ke rakyat?
Bukan cuma paras dan gelar, tapi kecakapan berbahasa yang menunjukkan akal sehat, logika, dan tanggung jawab. Good explaining itu penting, bukan sekadar good looking.
Kenapa “kecerdasan linguistik” itu pantas jadi filter pertama?
Secara sederhana, kecerdasan linguistik adalah kemampuan memahami, menyusun, dan menyampaikan gagasan secara lisan maupun tulisan sehingga orang lain benar-benar paham apa yang kita maksud.
Dalam literatur pendidikan yang mempopulerkan konsep “multiple intelligences”, kecerdasan linguistik disebut sebagai kecakapan menganalisis informasi dan menghasilkan produk berbasis bahasa;pidato, tulisan, memo kebijakan. Ia bukan bakat mistis; ia bisa dilatih, diuji, dan diamati dari performa nyata.
Yang lebih penting: komunikasi politik bukan hiasan. Ia mempengaruhi perilaku pemilih dan kualitas tata kelola.
Riset lapangan tentang charismatic leadership tactics menunjukkan bahwa taktik bahasa tertentu; metafora konkret, cerita, seruan kolektif, bisa diajarkan, dan setelah dilatih, pemimpin dinilai lebih efektif serta timnya berkinerja lebih baik. Artinya, kecakapan verbal bukan hanya urusan gaya; dampaknya terukur.
Bahkan pada level mikro, sinkronisasi gaya bahasa antara kandidat dan audiens (linguistic style matching) berkorelasi dengan penilaian debat dan perolehan suara. Ini sinyal keras bahwa “cara berkata” ikut menentukan “cara dipercaya”.
Mengapa Indonesia butuh standar dari hulu (parpol)?