Perubahan aktivitas sering kali menjadi tantangan besar bagi anak dengan autisme. Suasana yang tiba-tiba berubah bisa memicu kecemasan, tantrum, atau penolakan.
Di sinilah seni mengajarkan transisi berperan penting, sebuah keterampilan yang bukan hanya membantu anak menyesuaikan diri, tetapi juga membangun kemandirian, rasa aman, dan kepercayaan diri dalam menghadapi setiap perubahan kecil maupun besar dalam hidupnya.
Dengan pendekatan yang tepat dan dukungan konsisten dari orang tua dan guru, transisi bisa menjadi jembatan menuju kehidupan yang lebih teratur dan tenang bagi anak serta bagi lingkungannya.
Mengapa Transisi Sulit bagi Anak dengan Autisme
Bagi anak dengan autisme, dunia yang stabil dan dapat diprediksi memberi rasa aman. Setiap perubahan dalam rutinitas, sekecil apa pun, dapat mengganggu rasa kontrol tersebut dan memicu reaksi emosional.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, anak autisme kerap mengalami kesulitan memproses instruksi verbal. Kalimat sederhana seperti “sebentar lagi kita selesai bermain” bisa tidak cukup jelas tanpa adanya dukungan visual.
Kedua, tantangan dalam fungsi eksekutif membuat mereka sulit merencanakan, mengatur diri, dan berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Ketiga, sensitivitas sensorik turut memperparah keadaan; suara bising, cahaya terang, atau tekstur baru bisa membuat perubahan terasa lebih menegangkan.
Di kelas reguler, misalnya, seorang anak bisa tampak gelisah ketika jam pelajaran berganti menjadi jam istirahat. Bagi guru dan teman-teman, perubahan ini hal biasa. Namun bagi anak autisme, tanpa petunjuk atau aba-aba, ia merasa kehilangan arah.
Reaksinya bisa berupa diam, menolak, hingga tantrum. Fenomena ini menunjukkan bahwa kesulitan transisi bukanlah sikap keras kepala, melainkan respons alami akibat keterbatasan dalam mengelola perubahan.
Pentingnya Mengajarkan Transisi Sejak Dini