Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Fenomena Manusia Nokturnal dalam Kacamata Sains dan Agama

13 September 2025   19:00 Diperbarui: 13 September 2025   17:39 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital, malam yang seharusnya menjadi waktu beristirahat justru bergeser menjadi panggung aktivitas. Dari bekerja lembur, scrolling media sosial, hingga bermain gim, manusia modern semakin betah hidup sebagai makhluk nokturnal. 

Namun, di balik gemerlap layar gawai dan produktivitas semu, gaya hidup ini menyimpan dampak serius. Sains menyoroti risiko kesehatan, psikologi mengingatkan kerentanan mental, filsafat mempertanyakan makna waktu, sementara agama menegaskan pentingnya keseimbangan hidup. 

Lalu, bagaimana seharusnya kita memaknai fenomena ini?

Fenomena Manusia Nokturnal di Era Digital

Begadang bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sudah menjadi gaya hidup banyak orang. Sebagian berdalih karena pekerjaan, sebagian lagi larut dalam hiburan digital. 

Menurut laporan DataReportal 2024, rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam per hari di depan layar, dengan puncaknya justru di malam hari.

Jika dahulu malam identik dengan keheningan, kini ia berubah menjadi waktu paling "hidup". Jalanan kota tetap ramai, notifikasi gawai berdenting tanpa henti, bahkan bisnis daring justru beroperasi 24 jam. 

Singkatnya, malam kian kehilangan makna alaminya: saat untuk istirahat.

Psikologi: Dampak pada Mental dan Emosi

Psikolog sepakat bahwa begadang terus-menerus berpotensi merusak kesehatan mental. Kurang tidur terbukti meningkatkan kadar hormon stres (kortisol) dan memicu kecemasan. 

Penelitian Harvard Medical School menunjukkan bahwa orang yang tidur kurang dari 6 jam per malam berisiko dua kali lipat mengalami depresi.

Selain itu, fenomena FOMO (fear of missing out) membuat banyak orang sulit berhenti scrolling, seolah takut tertinggal kabar terbaru. Akibatnya, mereka semakin sulit beristirahat dan makin rentan mengalami isolasi sosial.

Medis: Risiko Kesehatan Tubuh

Dari sisi medis, gaya hidup nokturnal punya dampak serius. Jam biologis manusia dirancang mengikuti ritme sirkadian, teratur tidur di malam hari dan aktif di siang hari. Saat pola ini terganggu, tubuh mengalami kekacauan.

Risiko yang sering muncul antara lain:

  • Obesitas dan diabetes akibat metabolisme terganggu.
  • Penyakit jantung dan hipertensi karena sistem kardiovaskular bekerja di luar ritme alami.
  • Gangguan otak, termasuk penurunan konsentrasi, memori, dan produktivitas.

Dokter bahkan memperingatkan jika kurang tidur kronis sama bahayanya dengan merokok, karena meningkatkan risiko kematian dini.

Filsafat: Waktu, Eksistensi, dan Makna Malam

Dalam kacamata filsafat, waktu bukan sekadar angka di jam, melainkan ruang eksistensi manusia. Siang diciptakan untuk bekerja dan berkarya, malam untuk hening dan beristirahat.

Filsuf kontemporer kerap menyoroti fenomena manusia modern yang "menggugat" makna malam. Alih-alih menggunakannya untuk refleksi atau kontemplasi, banyak orang justru mengisinya dengan distraksi. 

Pertanyaan pun muncul: apakah manusia benar-benar menguasai waktu, atau justru diperbudak olehnya?

Agama: Malam sebagai Waktu Ibadah dan Istirahat

Agama-agama besar menekankan pentingnya keseimbangan siang dan malam. Dalam Al-Qur'an (QS. Al-Furqan: 47), malam disebut sebagai "pakaian" untuk beristirahat, sementara siang untuk berusaha. Demikian pula dalam tradisi Kristen, malam sering dimaknai sebagai waktu doa dan keheningan batin.

Dalam Islam, malam punya kedudukan istimewa: selain untuk tidur, juga untuk ibadah sunyi seperti tahajud. Artinya, malam tidak dimaksudkan untuk terjaga tanpa arah, melainkan untuk pemulihan fisik dan spiritual.

Menemukan Keseimbangan: Solusi Nyata untuk Manusia Nokturnal

Mengkritisi gaya hidup nokturnal bukan berarti menolak dinamika modern. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan. Beberapa langkah sederhana bisa dilakukan:

  • Psikologi: Terapkan sleep hygiene, batasi screen time, dan biasakan tidur di jam yang konsisten.
  • Medis: Hindari kafein dan cahaya biru gawai menjelang tidur.
  • Spiritualitas: Gunakan sebagian malam untuk hening, refleksi, atau ibadah singkat.

Dengan langkah kecil ini, malam bisa kembali ke hakikatnya: ruang istirahat yang menyehatkan tubuh sekaligus menenangkan jiwa.

Fenomena manusia nokturnal adalah cermin perubahan zaman sekaligus peringatan. Malam bukan sekadar ruang kosong, tapi anugerah untuk istirahat, refleksi, dan mendekatkan diri pada Tuhan. 

Pertanyaan yang tersisa: apakah kita masih mampu memelihara makna malam, ataukah sudah membiarkannya tergadai oleh cahaya layar?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun