Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mempertanyakan apakah gaji guru sepenuhnya harus ditanggung negara, memantik gelombang reaksi dari masyarakat, khususnya kalangan pendidik.
Bagi para guru, ucapan itu terasa seperti mengaburkan hakikat profesi mereka sebagai pilar bangsa. Di balik seragam sederhana, banyak guru justru berkorban hingga merogoh kocek pribadi demi memastikan anak didiknya tetap mendapat pembelajaran bermakna.Â
Maka pertanyaan yang relevan bukanlah apakah guru beban negara, melainkan bagaimana negara menempatkan guru sebagai investasi masa depan.
Narasi yang Mengusik
Isu bermula dari sebuah potongan pernyataan Menkeu dalam forum publik. Video tersebut sempat dipelintir hingga menimbulkan hoaks bahwa Sri Mulyani menyebut guru sebagai beban negara.Â
Kementerian Keuangan kemudian meluruskan bahwa video itu hasil manipulasi. Sri Mulyani sendiri menegaskan, ia tidak pernah menyatakan guru sebagai beban negara.
Namun, sebagian isi pidato yang mempertanyakan apakah gaji guru harus sepenuhnya ditanggung negara tetap menimbulkan gelombang perasaan yang sulit ditepis.Â
Banyak guru merasa kata-kata itu menyakitkan. Bukan karena menolak keterlibatan masyarakat dalam pendidikan, tetapi karena seolah-olah keberadaan guru dapat ditawar-tawar kontribusinya.
Guru, Penopang Bangsa
Sejak lama guru ditempatkan pada posisi terhormat dalam budaya Indonesia. Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional, mewariskan falsafah: "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani." Guru adalah teladan di depan, penggerak di tengah, sekaligus penyemangat di belakang.
Dari tangan para guru lahirlah dokter, insinyur, wirausahawan, birokrat, bahkan pemimpin negara.Â
Guru adalah pintu pertama yang membuka jalan pengetahuan, membentuk karakter, dan menanamkan nilai-nilai moral. Tanpa guru, mustahil sebuah bangsa mencetak sumber daya manusia unggul.
Realita Lapangan: Guru dan Pengorbanannya
Namun di balik filosofi luhur itu, keseharian guru di lapangan jauh dari kata ideal. Tidak sedikit guru honorer yang sudah mengabdi belasan tahun dengan gaji jauh di bawah upah minimum.Â
Ada yang hanya menerima beberapa ratus ribu rupiah per bulan, jumlah yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar.
Keterbatasan fasilitas membuat banyak guru harus mengeluarkan dana pribadi. Dari membeli spidol, kertas fotokopi, hingga membiayai kuota internet saat pembelajaran jarak jauh.Â
Bahkan ada guru di pelosok yang rela menempuh perjalanan jauh setiap hari, atau memilih tinggal di sekolah sederhana demi memastikan murid tetap bisa belajar.
Semua pengorbanan itu dilakukan bukan karena guru tidak tahu menuntut hak, melainkan karena mereka memahami bahwa anak-anak adalah prioritas. Di sinilah terlihat jelas: guru bukan beban, melainkan tulang punggung peradaban.
Paradoks Anggaran Pendidikan
Dalam APBN 2025, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp724,3 triliun untuk sektor pendidikan, setara 20 persen dari total belanja negara. Angka ini menunjukkan komitmen yang besar.Â
Tetapi di sisi lain, realitas di lapangan masih menunjukkan kesenjangan. Guru honorer masih banyak yang belum sejahtera, dan berbagai kebijakan terkait kesejahteraan guru sering kali berjalan lambat.
Di titik ini, masyarakat mempertanyakan kembali arah kebijakan: rakyat sudah membayar pajak, bukankah itu wujud nyata partisipasi? Mengapa masih muncul pertanyaan tentang siapa yang harus menanggung gaji guru?
Mengapa Guru (Bukan) Beban Negara?
Jika ditilik lebih dalam, membiayai guru seharusnya tidak dipandang sebagai beban fiskal, melainkan sebagai investasi jangka panjang.Â
Negara-negara maju seperti Finlandia dan Jepang menempatkan guru dalam posisi sangat terhormat. Guru digaji dengan layak, dihargai secara sosial, dan diberikan dukungan penuh agar dapat fokus pada pembelajaran.
Indonesia pun tidak bisa mengabaikan kenyataan ini. Membiayai guru berarti membiayai masa depan bangsa.Â
Guru adalah pembentuk generasi pembayar pajak di masa depan. Tanpa guru yang kuat, sulit membayangkan bangsa ini melahirkan SDM yang tangguh dan berdaya saing.
Solusi dan Arah Kebijakan
Isu ini memberi pelajaran penting tentang komunikasi publik. Menteri atau pejabat negara perlu berhati-hati menyampaikan pernyataan yang menyentuh profesi strategis seperti guru.Â
Kata-kata yang terdengar teknokratis di ruang kebijakan bisa melukai mereka yang setiap hari berjuang di ruang kelas. Selain itu, pembenahan kesejahteraan guru, terutama honorer, tidak bisa ditunda.Â
Negara tetap memegang tanggung jawab utama, meski partisipasi masyarakat melalui CSR, dana abadi pendidikan, atau filantropi tentu dapat memperkuat sistem. Namun yang terpenting, jangan sampai ada kesan bahwa negara hendak melepaskan kewajiban dasarnya.
Investasi Bukan Beban
Guru bukan sekadar profesi, melainkan ruh dari keberlanjutan bangsa. Mereka yang mengorbankan waktu, tenaga, bahkan harta pribadi demi keberhasilan anak didik, layak ditempatkan sebagai aset negara, bukan beban.
Pertanyaan yang relevan bukanlah apakah gaji guru sepenuhnya ditanggung negara, melainkan sejauh mana negara berani berinvestasi untuk masa depannya sendiri melalui guru.Â
Sebab, ketika guru disejahterakan, bangsa pun sedang menyiapkan generasi emas yang akan mengangkat martabat Indonesia di mata dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI